Senin, 30 Maret 2009

Belajar di Holland: Kenal Masyarakat Dunia Bukan Impian Lagi


Mengimpikan berjalan santai di tengah kota bersih dan indah, yang dilengkapi dengan suguhan rumah rumah cantik, cafe-cafe di dekat trotoar dengan kanopi di depan jendelanya, kanal-kanal cantik yang beriringan dengan trotoar khusus pejalan kaki, dan sajian ribuan tulip berbagai warna di taman kiekenhof yang indah mengesankan, tentu hanya akan didapat jika bertandang ke Holland.

Disamping dikenal sebagai gudangnya para seniman, masyarakat dunia mengenal negeri kincir angin ini juga sebagai salah satu negara mahal dunia. Namun meski begitu, negeri yang dipimpin oleh Ratu Beatrix ini tidak pernah mengesampingkan pentingnya pendidikan sebagai salah satu pilar utama transformasi masyarakat pada taraf yang lebih maju.

Berbicara mengenai dunia pendidikan di belanda, tentu saja bahasannya tak akan jauh-jauh dari prestasi-prestasi gilang gemilang dan berbagai kemajuan yang telah dicapainya. Sekedar menyebutkan, Utrecht University yang mampu menduduki tangga ke-9 sebagai universitas terbaik di eropa pada tahun 2008 dan di urutan 47 di seluruh dunia pada the Shanghai’s Academic Ranking of The world Universities. Bahkan 90% universitas di Holland berjejer anggun pada 200 universitas terbaik dunia.

Menilaik prestasi-prestasi yang telah dikantonginya, tentu jika dicari asal muasalnya bertumpu pada satu hal; baiknya sistem pendidikan yang ada. Misalnya sistem spesialisasi pada salah satu bidang keilmuan untuk menciptakan peserta didik yang mumpuni dalam suatu disiplin ilmu, sebagai salah satu bekal penciptaan peserta didik yang profesional. Atau penekanan pada orientasi praktek yang difasilitasi dengan adanya program magang. Dengan keberadaan program ini, diharapkan peserta didik mempunyai bekal yang cukup untuk memasuki bursa kerja yang kian kompetitif. Konsep ini juga dikenal dengan sebutan hogeschool atau University of Applied Sciences.

Pemerintah Holland agaknya sangat memahami posisi pendidikannya yang dikenal masyarakat dunia sebagai salah satu negara dengan konsep pendidikan yang baik. Hal ini misalnya ditandai dengan maraknya mahasiswa dari berbagai penjuru dunia yang memilih Holland sebagai destinasi pendidikan, oleh karenanya, untuk merespon kebutuhan masyarakat dunia tersebut, pemerintah bekerjasama dengan berbagai universitas yang ada untuk memfasilitasi dengan menyediakan program khusus mahasiswa internasional.

Sebagai contohnya, Delft University of Technology, dari total 14,000 pelajar, 2,000nya adalah pelajar internasional, Erasmus Universities Rotterdam 2,928 pelajar internasional dari total 21.000 pelajar, Leiden university 1,700 dari 18,000, dan 2,000 pelajar internasional dari 29.000 total pelajar yang ada di Utrecht University.

Satu hal yang kerap kali mengganjal ketika hendak menempuh studi di barat, terutama bagi yang beragama islam adalah rasa was-was, bahkan cendrung paranoid yang terkadang muncul seiring maraknya islamphobia akibat berbagai propaganda media massa. Namun jika destinasi belajarnya adalah Holland, ada baiknya jika perasaan itu diteliti kembali, sebab pemerintah di negeri cantik menawan tersebut sangat mengedepankan toleransi. Sekedar mengutip ungkapan Ratu Beatrix pada salah satu kesempatan ” Tradisi demokrasi kita lebih dari sekedar menerima kekuasaan kalangan mayoritas. Tradisi itu juga berarti penghormatan bagi kalangan minoritas “. statemen tersebut memberikan satu gambaran, bahwa pemerintah Holland sangat open mind terhadap masyarakat lain meski berbeda sosio kultural dan agama.

Nah, jika memang mengenal masyarakat dunia adalah suatu impian, maka Holland adalah tempat yang tepat untuk mewujudkan impian itu. Kunjungi Holland, kenali masyarakat dunia dan dapatkan berjuta pengalaman menarik dari suguhan multi kultural yang ada.

Sources:

- Study in Europe, discover Europe! Education for excellence

- www.nesoindonesia.or.id mengenai sistem pendidikan belanda

- Isi pidato Ratu Beatrix pada hari natal, disiarkan oleh radio nederland wereldomroep


Minggu, 22 Maret 2009

Siluet Kisah Cinta di Pesantren


Siluet Kisah Cinta di Pesantren*
Oleh : ibbi saxera**

Kini aku jatuh cinta.
Perlahan ia masuk memenuhi rongga dadaku halus, mengambil beberapa ruas rongga dadaku paksa, sesak namun penuh sensasi. Tak dapat ku ungkap melalui rajutan kata. Terlalu rumit. Sopan tapi berlagak, sentimentil sekaligus bengis, beradab namun ganas dan halus meski penuh gemuruh. Sungguh aku mabuk dibuatnya berat. Jauh lebih memabukkan daripada cerita Qais dan Laila yang hanya kisah, Romeo dan Juliet yang hanya cerita semata, atau Beauty dan The Beast yang hanya dongeng belaka. Cinta ini nyata. Nyata sama sekali. Sayang, hingga kini aku masih belum punya cukup nyali untuk menjamah rasa darinya melalui spekulasiku, spekulasi yang kerap kujadikan temeng dalam menghadapi persoalan pelik sejauh ini, spekulasi yang kerap kujadikan perisai dalam melindungiku dari bayang ketakutan, sebab perasaan kecil dan kerdil masih terus menyelubungiku kelam, kala bayangannya berkelebat dalam benakku, Kala sosoknya melintas di depanku, kala aku berpapasan dengannya. Sungguh ini baru kurasakan sekarang.
Dia begitu sempurna bagiku. Lebih sempurna dari sosok Natalie Glebova yang mampu menyihir seluruh masyarakat dunia hingga gelar Miss World diraihnya, bahkan mungkin lebih sempurna dibandingkan dengan Bidadari yang menuai ricuh kala Tuhan menceritakannya dalam Al-quran dengan pesonanya yang tiada tara itu. Sungguh ia sempurna bagiku.
Bagiku, segala hal tentangnya sangat menarik. Langkahnya bagai langkah lentik peri-peri kecil yang lemah gemulai, lambaian tangannya selaksa selendang bidadari dari langit yang masih belum pernah dijamah orang sama sekali, senyum dan pandangannya menusuk-nusuk bagai ribuan jejarum, namun sungguh nikmat rasanya. Dan semua itu masih tetap berlangsung saat ini, dan entah hingga kapan. Jujur tersiksa, namun jujur pula kuakui perasaan ini kian membuatku betah berada di area pesantren yang tertutup. Ambigu sekali.
Maaf karena aku mencintaimu
Kulipat tulisan tak berbentuk itu dan lantas kusimpan dalam lembar-lembar buku yang akan kuberikan pada seorang akhwat bernama Inna Fajri, sebagaimana keinginannya meminjam kitab padaku, dan lantas kututup kitab tebal itu untuk selanjutnya kuberikan kitab ini padanya.
* * *
Kupikir ini adalah cinta yang salah. Salah sebab perasaan ini menimpaku. Aku sudah berusaha untuk tidak jatuh cinta terhadap seorang akhwat, setidaknya untuk saat ini, pertimbangannya, disamping aku sebagai Santri senior dan menjadi salah seorang pengajar di pesantren ini, aku juga berperinsip untuk tidak jatuh cinta karena menjalin percintaan hanya akan mengakibatkan pelbagai hal terbengkalai, tak hanya dalam persoalan sosial, akan tetapi juga mempengaruhi intensitasku dalam bercengkrama dengan Tuhanku. Dan tentu saja aku tidak ingin hal ini terjadi padaku.
Awal perasaan ini hadir, kupikir hanyalah perasaan sepintas lalu yang akan menguap hanya dalam hitungan hari, atau setidaknya minggu saja. Euforia terhadap kecantikan seorang wanita kerapkali hadir kala pertemuan pertama, baru berlangsung, selanjutnya ia hilang, lenyap entah kemana. Dan kejadian serupa tidak hanya terjadi dua atau tiga kali, tetapi berkali-kali. Dan kupikir hal tersebut juga akan terjadi antara aku dan dia, bahwa perasaan ini akan segera berlalu dengan sendirinya.
Dua minggu kemudian perasaan itu masih menyisa di celah-celah relung hatiku. Aku mencoba menghapusnya dengan banyak melakukan aktifitas lain yang biasanya jarang sekali kulakukan, seperti silaturahmi ke wali santri yang bermukim di dekat pesantren. Disamping untuk mempererat tali silaturrahmi dengan orang sekitar, kupikir rasa ini mulai mengurang.
* * *
Selama satu minggu ke depan, Ustadz Syafi selaku pengajar di pondok putri akan pergi ke surabaya untuk kepentingan pesantren. Beliau menugaskanku untuk menggantikan beliau mengajar di pondok putri selama beliau berada di surabaya. Awalnya kutolak secara baik-baik permintaan Ustadz syafi dengan berbagai alasan, namun Ustadz syafi enggan menerima terhadap pelbagai alasan yang ku kemukakan, baginya, segala argumen yang kukemukakan terlalu beretorika dan kurang masuk akal. Selanjutnya beliau tidak lagi mau berkomentar banyak dan lantas sesegera masuk ke mobil yang akan mengantarkannya ke terminal pamekasan. Dan aku memilih beringsut, pergi ke pondok yang terletak di sebelah Masjid.
Malam pertama mengajar, kurasakan keringat dingin mengalir deras dari dahi dan di beberapa bagian anggota badanku yang lain. Panas dingin suhu badanku membuatku tidak konsentrasi dengan tema yang kubahas. Entah kenapa, aku juga bingung. Beberapa santri putri terlihat melirikku karena bacaan dan pembahasanku yang tidak konstruktif sama sekali. Namun aku acuh dengan pandangannya.
Pikiranku terbelah menjadi beberapa bagian. Sebagian menginginkan sesegera mungkin keluar dari mushalla yang kurasakan penat ini, sebagian yang lain sibuk mengkonstruk bahasan yang akan kuucapkan, dan satu lagi kukuh memikirkan sosok wanita yang berada di sudut pojok ruangan ini. Sekilas kulihat Inna yang sedang konsentrasi memandangi kitabnya serta sesekali kulihat tangannya menuliskan sesuatu di atas lelembar kitabnya. Sungguh kerudung putih lebarnya membuat sesuatu dalam jiwaku hilang. Ada yang berdesir halus jauh di dalam hatiku.
Kusudahi ajian kitab malam ini dengan pembacaan doa.
Memasuki malam-malam berikutnya, aku semakin tidak kuasa memendam desir-desir aneh ini. Aku berharap sekali ustadz syafi sesegera mungkin kembali dari surabaya. Agar aku bisa bebas dari belenggu yang menderu ini.
Satu minggu kemudian Ustadz syafi datang dari surabaya, aku sendiri yang menjemputnya ke terminal kota pamekasan. Sejak kami di jalan hingga sampai di pondok beliau banyak bercerita mengenai perkembangan pesantren yang harus digalakkan untuk meningkatkan pendidikan pesantren.
Aku merasa baru keluar dari balik jeruji besi.
* * *
Satu bulan lamanya seluruh santri, baik putra maupun putri disibukkan dengan belajar, sebab besok mereka akan menghadapi Ujian Bersama. Sistem penilaian akan naik atau tidaknya ke kelas yang lebih tinggi sangat ditentukan oleh nilai yang bisa didapat, ini berlaku bagi semua mata pelajaran yang kesemuanya memakai kitab kuning semisal Riyadus Sholihin.
Dan kesibukan yang melanda seluruh santri, juga memiliki pengaruh besar terhadap kesibukan para asatidz, tak terkecuali aku yang boleh dikata hanyalah seorang pengurus ecek-ecek.
Setiap malam, aku harus pergi ke pondok-pondok dan memantu santri yang belajar, di samping memberikan penjelasan jika mereka bertanya tentunya. Dan sedikit demi sedikit, ingatanku terhadapnya mulai berkurang, hingga pada akhir semester aku ditugaskan kembali mengajar teater di putri dalam menghadapi program akhirussanah pesantren yang menjadi puncak kenaikan para santri. Tentu saja aku menolak, sebab hal ini hanya akan menyiksaku lebih lama lagi, hal ini hanya akan membuat usahaku untuk melupakannya selama ini sia-sia. Namun untuk kesekian kalinya Ustadz syafi memaksaku untuk melakukan hal ini kembali.
Tema yang kuangkat dalam pementasan malam akhirussanah adalah Jugun Ianfu, wanita-wanita yang dipaksa menjadi pemuas nafsu birahi tentara jepang pada masa kolonial. Sebagian besar para santri sangat antusias dengan tema tersebut. Bagi mereka, seorang wanita harus diangkat derajatnya dengan memberikan penghoramatan terhadap kalangan perempuan.
Hampir tiap hari latihan tersebut diadakan. Ini berarti intensitas pertemuanku dengannya juga semakin meningkat. Jujur semakin kutahu dan kenal siapa sosok inna sebetulnya, semakin kuat pula perasaan ini merongrongi jiwaku. Dan semakin kucengkram perasaan ini agar tidak membengkak, semakin kuat pula rongrongan-nya.
Kini aku kenal dia sebagai sosok muslimah yang sangat istimewa. Ia sangat memegang teguh prinsipnya yang menjadikan islam sebagai pijakannya. Dia tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis, bahkan meski hanya sebatas teman dekat, dia tidak pernah. Dan satu hal lagi yang menjadikan dia lebih istimewa dibandingkan wanita yang selama ini kukenal, dia tidak pernah menatap langsung mata setiap ikhwan termasuk pada aku sendiri. Malu aku dibuatnya, karena status yang aku emban masih belum cukup untuk membuatku berhenti mencintainya.
Satu minggu belajar, para pemerannya sudah sangat paham sekali dengan pelbagai hal yang aku ajarkan. Awal mula latihan ini aku berharap ini cepat berakhir, berharap agar aku bisa segera menjauh dari sosok inna, namun kini aku justru berharap sebaliknya. Aku berharap agar sebisa mungkin berlama-lama berada di dekatnya. Kupikir benteng iman dan takwa yang kubangun kini telah hancur melihat kemilau permata dalam balutan tubuh inna.
* * *
Aku bingung. Haruskah aku mengungkap perasaan ini padanya saat ini. Akankah dia mengerti terhadap maksud yang tersirat dalam surat terselubung ini? Pada akhirnya kuberikan pula buku yang hendak inna pinjam padanya.
" Syukran, insyaAllah akan saya kembalikan sesudah liburan, " ucapnya seraya mengambilnya. Beberapa saat kemudian diapun beringsut pergi setelah sebelumnya mengucap salam.
Ada rasa sesal yang tiba-tiba menyelubung dalam hatiku. Namun segera kubuang jauh-jauh perasaan itu. Aku berharap dia mengerti akan maksudku ini. dan akupun beranjak pergi.
* * *
Gerimis sore ini masih belum menampakkan tanda-tanda akan mereda. Ia masih suka berguguran merambahi dedaun bunga melati yang merambati kawat, yang memang sengaja dibuat agar dapat menutupi beranda pondokku. Kitab yang kubeli sejak pertama kali masuk pesantren ini, beberapa hari belakangan jarang sekali kubaca, bahkan boleh dikata hanya menjadi pajangan belaka. Ini semua karena aku memikirkan persoalan inna.
Beberapa saat yang lalu Ayah inna menemuiku, beliau memohon pamit padaku karena kebetulan ustadz yang lain sedang pergi ke acara walimah di sumenep. Begitu pula bapak kiai. Beliau juga memohonkan pamit atas inna yang tidak bisa melanjutkan sekolah lagi di pesantren ini. Alasannya karena inna akan melanjutkan studinya di Al-Azhar Mesir.
Gejolak perasaan bersalah dan menyesal menghantuiku, membuatku merasakan sengsaranya menjadi orang terbodoh dan tergoblok karena cinta semu. Namun perasaan bersalah ini tak akan dan tak akan pernah merubah keadaan. Inna tetap akan meninggalkan pesantren, dan ini disebabkan ulahku yang tidak tahu malu. Andai waktu bisa kuputar, akan kurobek tulisan itu sebelum kertas itu sampai di tangan inna. Maaf inn...

Ciputat 04 Desember 2008 jam 03.33 AM
* ditulis untuk mengenang kepergian Avicena
** mahasiswa direktur ibbi educare

Kaum Bersarung dan Syariah dalam Tantangan Global


Kaum Bersarung dan Syariah dalam Tantangan Global

Oleh : Hafiz Al Asad *)....


Santri, sebagaimana kita ketahui, merupakan pelajar yang intens dalam mempelajari agama islam, dengan pesantren sebagai wadahnya. Santri kerapkali diidentikkan dengan sosok yang mumpuni dalam ilmu keagamaan atau sosok sopan yang bijak dan kharismatik. oleh karenanya tidak mengherankan bila sebagian masyarakat, entah di perkotaan ataupun di pedesaan kerapkali memberikan kepercayaan penuh, baik untuk memberikan tausiah, mentoring ataupun sekedar membacakan doa. Lebih dari itu, intensitas pembelajaran yang cukup padat dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan, juga menjadi alasan kuat
masyarakat memilih santri sebagai panutan.

Sayang, memasuki era globalisasi, kiprah kalangan pesantren mulai memuram di mata masyarakat umum. Di mata mereka, pesantren bukan lagi sebagai institusi yang mampu menciptakan masyarakat “berpendidikan”, pesantren bukan lagi institusi kalangan intelektual, dan bukan institusi pencipta kader yang kokoh dalam menghadapi tantangan masa depan, terlebih ketika PBB melalui UNDP memberikan pernyataan bahwa banyak santri yang masih masuk kategori buta huruf. Bahkan yang lebih miris lagi, kebanggaan santri sendiri terhadap pesantrenpun juga turut memudar seiring perkembangan zaman. Globalisasi seakan menjadi momok bagi kelestarian pesantren.

Searus dengan Globalisasi, sistem perekonomian syariah juga mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. realitasnya, tahun 2008 kemarin hingga awal tahun 2009 ini, sistem perekonomian syariah menjadi satu-satunya sistem yang ampuh melawan badai krisis keuangan dan resesi global yang diakibatkan oleh keserakahan Lehman Brothers, sebagai salah satu lembaga keuangan terbesar di Amerika.

Ditengah sebagian besar negara penganut sistem perekonomian kapitalis mengalami depresi karena nilai harga saham mereka ambruk dan nilai tukar mata uang menurun drastis, sistem perekonomian syariah justru berperan, laiknya kontes Miss Universe yang mampu menyihir mata masyarakat internasional dengan menjadi salah satu pilar utama dari pelbagai sistem perekonomian yang
mampu menaungi ketakutan sebagian besar masyarakat di berbagai negara terhadap krisis finansial dan resesi global. Bahkan sebagian pengamat dan pemain
perekonomian sekelas Amerika yang pada dasarnya mengidap kapitalisme akut, juga mengungkapkan rasa ketertarikannya terhadap ekonomi syariah ini.

Mengguritanya sistem perekonomian syariah yang ditandai dengan meningkatnya minat investor pada perbankan syariah untuk berinvestasi, atau meningkatnya pendapatan operasional bank syariah, yang pada Juli lalu bergerak pada kisaran 21,01 persen menjadi Rp 3,047 triliun dari periode yang sama tahun sebelumnya, yang hanya berkisaran Rp 2,518 triliun, dan atau menjamurnya bank konvensional yang membuka layanan syariah, menjadi contoh yang tak dapat terbantahkan.

Namun demikian, diakui atau tidak, sistem ekonomi syariah memang masih menyimpan berbagai kekurangan yang patut untuk dibenahi. Ini penting jika
memang ada keinginan dari kalangan muslim—sebagai basis utama tumbuh kembang ekonomi syariah—untuk menciptakan sistem tersebut, applicable dan acceptable pada ranah yang lebih universal, semisal Internasional.

Diantara problem yang masih betah menjangkiti perbankan syariah adalah minimnya Sumber Daya Manusia yang dapat dinilai kualitasnya masih jauh panggang dari bara.

Realitas tersebut dapat dilihat dari banyaknya peminat pada program perbankan syariah di berbagai universitas di ....indonesia.... yang masih didominasi
kalangan umum yang secara mendasar kurang mumpuni dalam bidang keagamaan. Langsung ataupun tidak, Implikasinya sangat jelas, bahwa sistem perekonomian syariah yang diaplikasikan jika tidak dibarengi dengan wawasan keislam itu sendiri, akan mengakibatkan ketimpangan antara sistem yang di jalankan dan sistem yang seharusnya berjalan.

Ini sangat beralasan mengingat masyarakat umum kebanyakan menilai tumbuh kembang perekonomian syariah bukan sebagai lahan dakwah ataupun media untukmensyiarkan eksistensi fundamental islam yang sejatinya tak hanya berkutat dalam ihwal ibadah semata, bahwa sistem dalam islam juga menggerayang hingga aspek keuangan masyarakat. Mereka lebih suka menilai tumbuh kembang sistem ekonomi syariah sebagai lahan bisnis atau sekedar kendaraan untuk menyambung hidup yang kian erat meng-himpit.

Realitas tersebut, menggiring paradigma baru, bahwa, ada kesempatan yang begitu luas bagi kalangan pesantren untuk merubah realitas keberadaan globalisasi yang kian ganas menggilas eksistensi dan paradigma masyarakat yang skeptis terhadap pesantren. Bahwa, arena global yang telah terpampang didepan, bukan lagi rintangan bagi kalangan pesantren, justru sebaliknya, globalisasi dapat berubah peran menjadi panggung untuk berkompetensi dan tempat ajang berekspresi hakikat pesantren.



Pengetahuan ilmu fiqh yang memadai merupakan suatu keistimewaan yang laik jual dan marketable, baik di kancah domestik, regional maupun internasional. hal ini akan sangat berguna bagi tumbuh kembang perbankan syariah di satu sisi dan pembentukan image baru para santri di sisi lain: Bahwa santri tidak hanya bisa berdoa, membaca tulisan arab atau memutar tasbih
belaka, namun juga bisa berbisnis dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip
keislaman.

Disamping itu, salah satu modal yang bisa “dijual” kalangan santri adalah
Pengetahuan keagamaan yang luas, yang dimiliki. Modal tersebut menjadi satu
alasan kuat untuk peningkatkan keahlian perbankan syariah yang profesional dengan pengaplikasian service excellence, legal aspect dan riskmanagement, Skills yang hingga kini masih mejadi impian belaka.

Moralitas dan sikap terbuka yang telah dipupuk di pesantren, bahkan dapat dikatakan telah membudaya, juga menjadi nilai lebih yang sangat berguna jika diaplikasikan dalam ranah perbankan. Moralitas tersebut mampu menjadi—laiknya pasar oligopoly—konsep differensiasi dengan pelayanan bank konvensional yang cendrung dipenuhi dengan mindset materialistis.

Jika kalangan santri memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik mungkin, keberhasilan perbankan syariah dalam bersaing dengan perbankan konvensional yang telah lebih dulu melangkahi start, bukan sebuah kenistaan lagi.

Minimalisasi risk management yang hingga kini masih megap-megap dalam ranah konsep dan retorika, juga akan mampu teraplikasi dalam ranah realitas jika kalangan santri dan sistem ekonomi syariah mampu bersinergi dengan sebaik mungkin.

Untuk mewujudkannya, tentu tidaklah mudah, namun hal tersebut bukan juga penentu ketidak mungkinan cita-cita luhur ini terwujud. Semua membutuhkan proses.

* Mahasiswa
Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah dan Sekum FKMSB Jakarta.

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top