Selasa, 29 September 2009

Chichi The Champion


Madura panas, ah udah biasa, semua orang udah pada tau, terlebih pada saat kemarau. Hujan yang lama tak turun-turun dari kayangan, menyebabkan panas bermain-main di kisaran 34 derajad celcius. Banyak pohon yang jatuh kerontan karena lama gak mandi, rumput-rumput juga gak berani liar, maunya layu mulu, malah ada yang udah kering sama sekali. makanya banyak orang pada memilih ngeringkuk di dalem rumah, ngadem dari sengatan panas matahari.
Ada yang berbeda siang itu. Gadis berkulit cokelat nyaris hitam, tengah duduk di Poskamling yang letaknya tak jauh dari jalan raya. Berkali-kali matanya celingak-celinguk, barangkali angkot yang tengah dia tunggu-tunggu datang. Namun sudah 30 menit berlalu, angkot yang dia tunggu-tunggu tak juga nampak. Hanya beberapa mobil pribadi dan motor yang terkadang melintas.
Salah dia sendiri juga, kenapa gak minta anterin ke Elban, kakak sepupunya yang sangat baik namun sangat menjengkelkan itu. Tinggal minta anterin ke kecamatan, kan semuanya selesai! Tidak perlu repot-repot jalan kaki dari rumah ke jalan raya yang jaraknya hampir sekilo, nunggu angkot lama-lama sampe kaki kesemutan gini, dan berdesak-desakan dengan pengguna angkot lain yang biasanya masuk sama ayam-ayamnya, bahkan tak jarang sama kambingnya pula, kambing dengan arti sebenarnya! Sungguh sangat memilukan! Namun bagi Chichi, nama gadis itu, ini semua terasa jauh lebih nyaman ketimbang minta tolong sama si Elban.
Bersama Elban sejak baru lahir hingga kini umur Chichi mencapai 19 tahun, sudah cukup baginya untuk mengenal Elban luar dan dalam. baginya si Elban itu adalah lintah darat, atau kalo enggak kapitalis; mempunyai modal yang dibutuhkan, namun sekali kepincut sama modalnya, hati-hati saja kita diperas.
Pernah suatu ketika Chichi ikut lomba kepenulisan sekabupaten. Informasi itu didapatnya dari pak Agus, guru Basindo di sekolahnya. Mendengar penjelasan pak Agus yang bilang bahwa pesertanya sangat sedikit, karena meski skalanya sekabupaten, yang diikut sertakan hanya sekolah-sekolah favorit, udah gitu kategori cowok sama cewek dipisah pula, eh masih ditambah dengan persyaratan umur. Nah langsung tuh semangat 45 Chichi berkobar, optimis bakalan menang. Terlebih saat tema yang Chichi ajukan ke pak Agus direspon dengan sangat baik, sebab masih terkait dengan budaya sebagian kecil masyarakat madura. Bahkan dari saking semangatnya, Elban sampe mau dibelikan sepeda.
” Mau apa ajah, tinggal bilang!”, pongah Chichi.
“ Sombong sih boleh, asal ada yang bisa dibanggakan saja! Lah ini, masuk nominasi juga belom pasti!!!”. Ledek Elban sambil cengengesan.
Sebel banget Chichi, kenapa mesti punya kakak kayak dia, kenapa sejahat dia, dan kenapa gak mau ngasih support sama adeknya pas lagi mau kompetisi, ‘tapi tenang saja, belom tau sih dia gimana sepak terjangku!’, pikir Chichi menyemangati diri. 
Tapi enggak ding, Elban gak sejahat yang dia pikirkan, buktinya Elban yang ngebantuin setiapkali dia ada masalah, misalnya pas nyari referensi tulisannya, membantu ngediksi, bahkan sampe bolak-balik sekolah-rumah-kediaman pak Agus-kantor kabupaten yang jaraknya bukan main.
Singkatnya, pas penentuan nominator, Chichi dipangil ke Kabupaten, beserta seluruh rekannya yang satu sekolah. Bahagianya pas bapak sama ibunya tersenyum melihat Chichi dijemput memakai mobil oleh pihak sekolah. Lalu semua senyum itu hilang ketika dia tahu penjemputan tersebut hanya untuk mendengar ocehan para juri, yang isinya kurang lebih begini “ Kamu salah ngirim, lomba ini hanya untuk program IPA, tentunya temanya berkenaan dengan Ilmu Eksak! Lah kamu malah ngambil Carok, gimana seh???”. Ketus salah seorang disana.
Chichi yakin kegagalan itu bukan karena tulisannya yang jelek, tapi karena kesalahan informasi yang ia dapat, dan orang pertama yang patut disalahkan adalah pak Agus. Dialah yang ngasih info keliru!
Berangkat dari prsoalan pengkambing hitaman itu, berbagai jenis lomba kepenulisan lainnya juga mulai ia ikuti. Mulai dari hadiahnya yang hanya Rp 500.000 hingga Puluhan Juta Rupiah, dari yang skala RT hingga Nasional, dari lomba Puisi hingga lomba Menulis Karya Ilmiyah, semua ia jajaki, namun tak satupun juara yang mampu didapatnya. Maka menunggu dan kecewa adalah bagian dari episode hidupnya yang tak pernah lelah mengitari—halah sok puitis—, hingga sampai pada suatu ketika, ketika sebuah amplop besar bertuliskan ”Kepada Uchie Septriasa”, nama lengkap Chichi sampai di tangnnya. Langsung tuh pikirannya melayang-layang gak tentu arah. Menghayal berada di jakarta, di sebuah Ballroom Hotel berbintang, bersama para petinggi negara yang hendak memberikan penghargaan, dan bertebaran para wartawan untuk televisi maupun surat kabar. Besoknya Headline surat kabar berbunyi” Chichi: Bocah Desa Kelas Metropolitan”. Duh senengnya.
Dan keringat dingin langsung banjir. Hatinya juga dag dig dug, kayak mau pecah. Perlahan dibukanya amplop besar itu, dan didapatinya sebuah kertas tebal berwarna kuning keemasan dengan gambar Burung Garuda di bagian tengah atasnya. Sebuah kalimat dibawahnya tertulis ” Piagam Penghargaan Ini Diberikan Kepada Uchie Septriasa Atas Partisipasinya Mengikuti Lomba Penulisan Bla bla bla...”. sejenak gravitasi bumi terasa berhenti. Dan ” Arghhhhh...!!!”.
”Kegagalan itu pahit” tulisnya di mading sekolah. Lebih pahit lagi ketika Elban banyak komentar, tanya inilah, itulah, siapa yang salahlah, dan lain sebagainya, makanya Chichi kapok minta tolong lagi sama si Elban.
” Duh sayang yah duit dibuang percuma hanya untuk ikutan lomba gak jelas gitu? Ngetik di rental mahal, tambah biaya Print ini itu, gak sedikit lagi jumlahnya, manja banget si panitianya, minta naskahnya dirangkap-rangkap, masih juga harus ngeluarin duit buat biaya pengiriman. Mujur kalau menang, paling tidak, mengobati kerja keras kita, lah kalo sebaliknya??? ”. Sumpah pengen Chichi gunting mulut kakaknya itu. Namun gak tega rasanya. Sesering apapun kakaknya itu mengejek, namun sesering itu pula kakaknya mau menolong, membantu ini itu, terutama sekali perihal kebutuhannya pada alat transportasi. Soalnya Chichi yang sudah segede ini gak bisa naek motor.
Pernah juga Chichi ikut lomba kepenulisan Essai, temanya tentang perkembangan pendidikan di salah satu negara di eropa. Hadiahnya gak tanggung-tanggung dibawa ikut Summer Course ke Eropa, gretongan lagi. Langsung tuh semangat si Chichi kembali berkobar-kobar lagi. Bahkan lebih dari sekedar semangat pejuang 45, tapi semangat para Mujahidin dalam berperang melawan Pasukan Salib.
Berbagai informasi tentang Pendidikan, Lifestyle, Kebudayaan, hari-hari besar, hinga Destinasi Wisata Negara tersebut juga dicari. Mulai dari Media Massa, Browsing Internet hingga bela-belain ke kantor pusat informasi pendidikan negara tersebut di salah satu gedung pencakar langit Lantai 19 di jakarta, juga ditempuhnya demi mendapatkan informasi yang cukup.
Lalu hambatanpun mulai bermunculan. Mulai tata cara pengiriman naskah yang mengharuskan memakai teknologi, sebuah dunia yang masih asing bagi Chichi, hingga berbagai kesulitan lain di dalamnya yang tak kalah ruet ketimban bercocok tanam di desa. Bahkan sebagian besar peserta juga merasakan apa yang Chichi rasakan. Terlihat dari banyaknya pertanyaan dan keluhan kompetitor di situs penyelenggara. Semisal kesulitan mendaftar, kesulitan memasangkan Badge penyelenggara sebagai salah satu prasyarat, hingga kesalahan-kesalahan kecil lainnya.
Dan hal itu justru menjadi cambuk bagi Chichi, sebab semakin banyak orang yang kesulitan ntuk mengikuti kompetisi, semakin sedikit pula kompetitor di dalamnya, ini berarti saingan Chichi juga akan berkurang, jika kompetitor semakin sedikit, ini kan pertanda pintu kemenangan semakin lebar terbuka! Ah Eropa!.
Benar saja, ketika terakhir penutupan lomba, Chichi cek, dari 1000 lebih kompetitor, hanya 300an orang yang masuk seleksi, dan salah satunya Chichi. Thanks God!
Belajar dari kesalahan terdahulu, Chichi tak mau lagi bilang semua usahanya ini pada siapapun, khususnya si Elban, gak mau! Chichi baru akan bilang jika udah mau berangkat ke eropa, ketika sudah Packing, ketika Tiket Pesawat telah berada di tangannya—ngayal ajah!!!—bahkan, Rinta, teman dekatnya juga tidak diberi tahu. Biar surprice!
Maka, menunggu dan terus menunggu masih tetap menjadi tabiatnya. Satu bulan kemudian, pengumuman pemenang telah ada di website penyelenggara, dan... namanya tidak ada. Lalu ia rasakan gagal adalah kata yang akrab dengan kehidupannya, kecewa adalah camilan hidupnya, dan kalah adalah bagian tak terpisahkan darinya. Dia merasa kalah adalah kutukan.
Sempat ia Down dengan tidak mau ikutan lagi kompetisi serupa, namun kegemarannya menulis tak mampu tertutupi hanya karena karyanya kalah mutu ketimbang yang lainnya. Makanya berbagai lomba kepenulisan lainnya juga ia terus ikuti. Ada kenikmatan tersendiri ketika menulis dan tulisannya dibaca orang lain. Dengan atau tanpa penghargaan yang diperoleh. Yah, meski pemenang tetap menjadi impiannya, namanya juga manusia kan, Bo! Dan ia pun terus menulis menulis dan menulis.
” Eh neng, mau ikut tidak???”. kenek angkot membuyarkan lamunannya.
Sejenak dilihatnya jam di pergelangan tangannya, satu jam dia menunggu. ” Yah, tunggu!”. Blingsatan menjawab. Lalu sesegera masuk ke angkot. Dan angkotpun mulai berjalan.
Setengah jam perjalanan, Chichi sampai di kantor pos kecamatan. Pak Herman, petugas pos sangat mengenal Chichi, ini karena tiap kali berkas yang dikirimkan untuk sebuah lomba kepenulisan, dapat dipastikan, Chichilah pengirimnya. Makanya tak usah ditanya untuk apa atau apa isinya, sebab jawabannya pasti ’Lomba’ dan ‘Naskah Tulisan’.
“ Mau dikirim kemana, Neng?”. Tanyanya ramah.
“ Ke Surakarta, pak Herman!”, sembari tersenyum ramah.
” Sendiri? Nak Elban kemana? ”.
“ Sibuk kuliah, Pak!”. Singkatnya. Tolong, tunjukkan keajaibanMu, Tuhan! Bismillah! Doanya dalam hati seraya ngasih amplop tersebut ke pak Herman.
Ditimbangnya amplop tersebut, lalu “ Rp 12.000, neng!”.
Beberapa lembaran uang Chichi hitung dan “ Terimakasih, Pak!”
“Sama-sama, Neng!”.
Lalu Chichi segera keluar kantor pos. Beberapa mobil terlihat berlalu lalang. Hari sudah beranjak sore, perlahan udara mulai hangat. “ Ya Tuhan, kesorean nih, belum bantu-bantu Ibu menyiapkan makanan buka puasa. Apa kata Bapak nanti? “
“ Dasar cewek badung, ngabuburit gak ngajak-ngajak!!!”, sebuah suara mengagetkan Chichi, ternyata Kak Elban. Terkesiap Chichi dibuatnya, lalu segera ia pasan muka innocent dan…
“ Yah kakak, kemana ajah sih dari tadi, tau kakak gak kemana-mana, udah ku ajak ke sini”
“ Kemana?”
“ E …..?”, Bingung menjawab.
“ E….! ah udah, yuk naik, ntar takut kemaleman, kasihan Bibi nunggu kamu kelamaan!”, lalu Chichi naik dan… Brummm…
Di dalam perjalanan, tak banyak perbincangan yang mengalir antara mereka berdua. Tak enak hati rasanya jika Chichi membuka topik. Tapi, bukan Chichi kayanya kalau engak tanya ini itu. cerewet! Terakhir kak Elban yang balik nanya, tanya tentang dalam rangka Chichi ke Kecamatan. Jelas saja Chichi belingsata. Dari semua jenis pertanyaan, tentang ngapain ke kecamatan ini memang yang paling enggak banget. Bakalan ketahuan Chichi ikut lomba lagi. Huffh!!!
“ Kenapa gak jawab, Blekok!!!”, chanda kak Elban lagi. Mau gak mau, akhirnya Chichi cerita juga, mulai lomba kepenulisan, info lomba yang didapetnya, kenapa berangkat ke kecamatan sendiri, hingga terakhir urhat-curhatan mengenai kekecewaannya pas kak Elban bersikap gak apatis sama usahanya itu. Dih, jadi curhat die!
” Kenapa sih, kakak suka banget ngeliat Chichi gak menang?!”
” Suka ajah ngeliatin kamu sengsara!!! Hahahah...!” tertawa cekikikan. Bikin mules sajah neh bocah.
” Dasar, kakak gak bertangung jawab, kakak egois, kakak yang gak lebih baik dari burung kakak tua! Omelannya lebih cempreng dan sumbang ketimbang suara Ibu-bu!!! Argghhh...”. kak Elban hanya tersenyum simpul.
Motorpun sampai di depan rumah. Sesegera kak Elban taruk motornya di garasi samping rumah, dan sesegera menyusul Chichi yang tengah dongkol, lalu berbisik ” Pemenang sejati adalah saat berlapang dada menjadi sikap kita ketika kalah, dan! Dan patang menyerah masih berkobar dalam diri kita, dengan atau tanpa imbalan yang menanti! ”, Chichi terdiam, ” tanpa menjadi juara sekalipun, bagi kakak kamu sudah menjadi pemenang sejati”. Ucapnya seraya tersenyum simpul dan pergi meningalkan Chichi.
Ia tersenyum, ” Kakak...!!!”.

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top