Minggu, 03 Juni 2012

kopi darat


Suatu sore di Sky Dining The Plasa Semanggi. Secangkir kopi hangat duduk manis di atas meja kayu minimalis yang dinaungi kanopi hijau ala Eropa, menemani hangat sore yang mulai beranjak malam.
Seorang wanita berumur 20 tahunan duduk manis menikmati udara sore Jakarta yang masih menyisa ranggas dan panas. Syarifah Alfasana nama lengkapnya, namun ia lebih senang dipanggil Reva. Lebih marketable begitu alasannya ketika ditanya kawannya di kampus.
Rambut panjangnya yang hitam pekat menambah ayu perawakannya. Matanya sesekali menatap pelanggan restoran, atau orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya, sembari sesekali membanding-bandingkan gambar seorang pria yang tersimpan rapat di salah satu folder handphone-nya.
“ Mana ya? Kok belum nongol-nongol juga? ”, ucapnya lirih sembari tetap awas melihat lalu-lalang orang di sekitarnya. Ada gurat kesal di kedalaman tatap matanya. Meski jam telah menunjukkan angka 16.45, keterlambatan selama 40 menit dari kesepakatan sebelumnya, namun ia berusaha untuk tetap sabar.
Sejauh ini, informasi yang dikantonginya tentang lelaki itu kurang lebih: manis, cakep, tampan, menarik, tajir, pintar, cerdas, talented dan tentu saja mapan, namun demikian, dia paling tidak suka dibohongi, tapi itu bukan masalah, toh dari semua informasi yang dia tanyakan saat chat, tidak ada satupun yang dijawab salah, apalagi sampai mengada-ada, dan satu lagi hal yang sangat tidak ia sukai, namun apa itu ya? Ah Reva lupa.
Beberapa pelayan terlihat tengah sibuk kesana-kemari membawa nampan yang berisi makanan, makanan yang asing baginya, karena semenjak dia pergi ke kota Metropolitan, baru kali ini dia makan di tempat seperti ini. ‘Tempat yang akan merubah hidupnya’, simpulnya. Seringai mengembang di mukanya.
Yah tentu saja, bagaimana mungkin orang yang ditunggu-tunggunya adalah orang miskin, label yang akrab dengan dirinya dan kehidupan orang-orang di desanya, jika di pertemuan pertama saja sudah mengajak bertemu di tempat senyaman ini? Ia mencoba menguatkan spekulasinya.
Tapi kenapa dia lambat? Ah mungkin saja dia tengah terjebak macet, mungkin juga dia tengah berada di dalam mobil mewahnya, mobil yang kerap dilihatnya di album foto pribadi facebook lelaki itu, lelaki impian, begitu ia menyebutnya, dan bukankah jam-jam seperti sekarang macet adalah problem yang tidak bisa ditawar-tawar lagi? Lalu mengapa dia tidak memilih naik Busway saja! Bukankah naik busway lebih cepat sampainya! atau mungkin dia tengah berada di dalam ruangan meeting bersama investor-investor asing, kesibukan yang kerap mengisi hampir tiap waktunya, seperti cerita dia ketika chating. Beragam spekulasi bergumul di benaknya, membuat pikirannya kacau. Siluet rasa pesimis kemudian menari-nari.
Dan orang yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seorang pria, berumur kurang lebih 27 tahunan datang mendekat. Umur yang matang untuk menjalin hubungan serius! Seraut wajah yang ternyata jauh lebih tampan dari foto-foto dalam album facebook yang telah dia simpan di memori handphone-nya. Debar aneh tiba-tiba menjalari tubuhnya. Finally!
“Slamat sore”, sapanya datar. Suara yang khas, berkarakter, dan merdu sekali didengarnya. Dan debar itu kian menggila, “ Reva?”, tanyanya memastikan. Diiringi senyuman manis, wanita itu mengangguk, “Maaf, tadi masih ada meeting di kantor!”, susulnya sembari meletakkan sebuah tas berisi Notebook.
Selama beberapa saat lamanya Reva masih tertegun dengan lelaki di depannya. Penyakit akut yang biasa menderanya ketika berhadapan dengan lelaki tampan kembali menyerang. Ya, meski banyak orang mengatakan tampan itu relativ, namun lelaki yang satu ini adalah pengecualian, sungguh dia mutlak tampan.
“Sudah pesan makanan?”, lelaki itu mencoba mencairkan suasana.
“Baru minuman saja”, Reva mencoba menetralisir perasaannya. Hmh, semangat Rev, ini adalah awal untuk merubah kehidupan mu. Satu langkah lagi, maka kamu akan say good bye pada dunia kemiskinan. Reva menyemangati diri.
“Nikmat sekali ya suasana di tempat ini, mengingatkan ku pada Kafe Le Procope, berkarakter dan sangat berbeda dari tempat kebanyakan di daerah sini”. Apa katanya? Kafe Le Proc? Porc? Pocropoc? Ah, susah sekali melafalkannya, sesusah mentralisir suasana sore ini. Tempat makan seperti apa itu? Abstrak. “sebuah kafe tertua di 13 Rue de l'Ancienne de comedie 6 Arrondisement Perancis”, lanjut lelaki itu panjang lebar.
Perlahan suasan mulai netral. Seperti kebanyakan kopdar yang jamak dikenal masyarakat umum, pertemuan itu dimulai dengan beberapa ‘prosesi’, semisal bertanya kabar, saling mengenalkan diri satu sama lain lebih dalam dari pada perkenalan mereka di dunia maya, berbagi cerita, dan berbagai ihwal klise lainnya. Ya klise, tapi tetap berarti sekali bagi Reva.
Agak lama berbincang-bincang, Rifat mengenalkan diri bahwa ia bekerja sebagai seorang konsultan di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Belum lama dia bekerja di perusahaan tersebut, karena beberapa tahun sebelumnya di tengah menempuh kuliah di Perancis, atas beasiswa dari pemerintah sana, serta beberapakali sempat mengikuti shortcourse di beberapa negara di Eropa dan Amerika karena beasiswa juga. Sebuah pengalaman yang sangat bernilai, tak mengherankan jika sepulangnya dari negeri Eifeel itu, ia mendapat banyak tawaran untuk bekerja di berbagai perusahaan ternama di berbagai kota di tanah air.
Aih... sudah kaya, baik, pintar lagi. Nambah satu poin untuk lelaki yang satu ini. Pikir Reva. Selanjutnya berbagai topik pembicaraan mengalir diantara mereka berdua. Mulai dari keluarga, hobby hingga kesibukan masing-masing.
“ Oh jadi kamu masih kuliah?“, Rifat, nama lelaki itu bertanya lebih dalam tentang Reva.
“Iya, masih semester IV”.
“Ngambil prodi apa?”
“Komunikasi...!!!” dan Penyiaran Islam, lanjutnya dalam hati.
Nice major!”, simpul Rifat sembari mengangguk pelan. “di mana?” susulnya.
Ah, pertanyaan yang enggak penting dan bukan pertanyaan yang diharapkan Reva. Seharusnya kan tanya hal lain yang lebih menyenangkan dari pada tentang kuliah ku! Masalah aku lagi deket sama siapa kek! Aku pernah pacaran berapa kali kek! Atau aku biasanya ke salon berapa kali dalam seminggu! Atau apalah, yang penting bukan tentang kuliah ku. Gerutunya dalam hati.
“Hello!”
“Aih..., di hmh... ada deh...!”, kilahnya blingsatan sembari tersenyum malu. Disambarnya Pan Cake yang tergeletak di atas piring persegi empat, dan perlahan masuk kemulutnya “eh, mas Rifat udah punya pacar, tah?”, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ada senyum simpul yang mengembang di bibir lelaki tampan itu. Senyum yang menelisik, mencari tahu keanehan dari jawaban Reva. Seakan ada yang memberitahu, bahwa ada yang janggal dari jawabannya. Oh God!
“Pacar? Hmh... belum ada nih, belum ada yang mau!”.
“Bohong, masa setampan dan semenarik mas Rifat gak ada cewek yang mau?”.
“Beneran!, makanya sekarang lagi nyari. Gak enak juga sih sering ditanya kapan mau nikah, kapan mau tunangan, kapan mau mengenalkan calon istri dan banyak lagi pertanyaan lain sejenis. Padahal pacar saja belum ada!”
“Memang teman dekat nggak ada mas?”.
“Ada sih, tapi kan kalau udah jadi teman, terasa aneh jika kemudian berubah status menjadi Istri. Hahaha...!!!”, ia tertawa.
Reva tersenyum dikulum.
“Niatnya sih mau segera naik pelaminan, tapi kalo gak ada chemistry, susah juga kan?”, diseruputnya Coffee Latte yang sedari tadi duduk tepat di samping piring persegi empat berisi Pan Cake, “ terlebih kesibukan ku di berbagai LSM dan organisasi lain, memaksaku untuk tidak terlalu sering berpikir tentang menikah!”, matanya di lempar ke gedung-gedung pencakar langit kota Jakarta. Beberapa saat lamanya, jeda menyela perbincangan antara mereka. pengunjung Sky Dining kian banyak. “Eh kamu belum jawab pertanyaan ku, kamu kuliah dimana?”, sekali lagi ia menyeruput Coffee Latte-nya.
“Ah enggak usah lah mas, bukan kampus ternama kok!”, Reva berkilah.
“Santai saja lagi, tidak ada masalah bagiku kamu kuliah dimana saja. Kan yang penting kualitas kita pribadi!”, menyemangati.
“Umh... UIN, mas!” jawabnya malu-malu.
Sejenak lelaki di depannya terlihat berpikir, lalu mengangguk, “Oh..., Ciputat ya?”. Ia menyimpulkan. Reva mengangguk pelan. Ah... kenapa dia bisa tau sih kalau dia kuliah di sana?
“Sepengetahuan ku sih, bukannya di UIN itu yang ada hanya jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam bukan? Bukan pure Komunikasi maksudnya”, ia menelisik. Anjrit! Kok bisa sejauh itu dia mengenal UIN! Serunya dalam hati. Reva tersudut. Ia bagai maling yang kepergok mencuri ayam.
“Hehehe, iya mas, KPI maksudku!”, akunya malu-malu.
“Oh... KPI tah? Kenapa mesti malu-malu gitu sih kalo hanya untuk menyebutkan kampus dan jurusan mu itu, Rev?”.
“Malu, Mas!””
“Malu kenapa?”.
“Yang berlabel Islam suka enggak marketable!” kemudian ia tertawa. sekali kena air, mending mandi ajah sekalian. Sekali ketahuan, ya sudah kasih tau ajah semuanya. Simpulnya dalam hati.
“Oh...!”, Rifat mengerti, “Reva yakin semua spekulasi itu benar adanya?” jeda sejenak. Dihirupnya udara petang itu. “Sepertinya ada yang salah dengan kesimpulan mu sekarang”, ia melanjutkan. “Tahukah Reva bahwa peradaban-peradaban maju dari zaman dulu hingga sekarang itu terbangun karena agama kita?”.
Reva diam. Tidak mengerti dengan sikap Rifat yang kemudian berubah drastis. “Peradaban Mesir terbangun karena ada Nabi Musa disana, Peradaban Islam pun juga sama karena nabi Muhammad, kejayaan Turki Usmani pun juga sama. Bahkan orang-orang Eropa dan Amerika sekalipun patutnya berterimakasih terhadap Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, salah dua dari banyak Ilmuan Islam lainnya yang telah menyelamatkan, menjaga bahkan mengembangkan ilmu nenek moyang mereka yang mulai ditinggalkan saat negara barat mengidap penyakit Dark Age, tak terkecuali peradaban-peradaban lain yang ada di dunia ini”.
“Wah, sepertinya kak Rifat tau benar tentang agama”, Reva mencoba mengembalikan lagi suasana hangat tadi, “dari mana belajarnya? Bukankah saat ini kakak sibuk dengan kerja, organisasi dan LSM, sementara tahun-tahun kemaren kuliah di luar negeri yang nota bene masyarakatnya non-muslim?”. Rifat diam.
Reva baru tersadar, bahwa disamping kebohongan, ada satu lagi sifat yang paling Rifat tidak suka. Rasa ketidak percaya dirian. Sebab baginya, tidak percaya diri berarti tidak percaya terhadap Tuhan, tidak percaya terhadap makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan-Nya. Ah, kenapa aku bisa segoblok ini? Rutuknya. Kemudian bayang-bayang kemiskinan kembali menggerayangi benaknya. Ah kenapa ia tidak menjawab dengan benar saja, penuh dengan kepercaya dirian? Sikap yang menjadi alasan Rifat mencintai?
“ Sebab aku S1 di UIN”. Lalu ia pergi.
Sore telah tenggelam sempurna, berganti malam yang pekat. Separuh jiwanya pergi. Di tatapnya gedung-gedung pencakar langit. Ada kesal, ada sesal, namun perasaan itu kini tak lagi berguna.

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top