Sabtu, 19 Desember 2009

Elegi Nyai Syarifah





Bisa jadi, hari ini adalah hari paling bersejarah bagi Nyai Syarifah, bahkan mungkin semua penghuni pesantren Ar-Rahman. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya nyai Syarifah mau menikah lagi.


Hari belumlah sore waktu itu, beberapa santri kabuleh1 yang sudah biasa keluar masuk dhelem tampak sibuk keluar masuk dapur pesantren. Ada yang membawa adonan, nampan, toples berisi kue-kue kering dan ada pula yang terlihat membawa beras untuk dicuci, berikut beberapa peralatan memasak lainnya.


Di salah satu sudut ruangan, nyai Syarifah tempak tengah memandang lekat baju kebaya dan kerudung hitam bermotifkan bunga kamboja. Hanya samper2nya saja yang berwarna cokelat tua dengan motif kembang liris vertikal. Entah apa yang melatari beliau memilih kain serba hitam, tak satupun orang tau, pastinya, kulit putih bersihnya memang terlihat tampak kontras ketika dibalut kain hitam. Dan aroma kecantikannya kian terasa.


Serajut bunga Jasmine yang dibentuk menjumput layaknya mahkota ratu, duduk manis di dekat ventilasi yang mengarah langsung pada halaman pondok pesantren. Ada senyum mengembang di bibirnya.



Orang-orang mengenalnya sebagai sosok Muslimah yang arif, bijak dan juga tawaddhu’. Semenjak Ustadz Zainal meninggal 20 tahun yang lalu, Beliau memilih untuk mengabdikan diri dan membantu pesantren; mengajar kitab ketika nyai Muallimah, istri kiai Fadlan tengah berhalangan, mengatur semua kebutuhan logistik pesantren dan tentu saja mengajar sekolah formal setiap hari selasa.


Banyak santri yang bersimpati padanya, bukan hanya karena kecantikan beliau yang memang hingga saat ini masih tetap terawat tanpa bantuan kosmetik sama sekali, melainkan lebih karena kebaikan, kepintaran, kecerdasan dan kesabaran tak terhingga yang dimilikinya. Banyak yang mengatakan, kesabaran yang dimilikinya hampir menyamai istri Mus’ab bin Umair yang kesabarannya hampir melegenda, maupun ummi Khansa’ yang merelakan ke empat anaknya syahid dengan bertempur membela islam. Subhanallah.


Sosoknya yang lincah, enerjik, inovativ, memiliki jiwa leadership3 yang memadai, namun dibalut dengan akhlaq islami, adalah salah lima dari sekian banyak keistimewaan yang dimilikinya. Belum lagi kecantikan alami yang bersemi tanpa bantuan peralatan kosmetik. Sungguh ia serpih embun yang menetes ke bumi dan menjelma sebagai sosok akhwat bernama Syarifah.


Sejak pertama masuk pesantren, sosoknya yang bersahaja memang langsung menarik perhatian dari berbagai kalangan. Dari santri sendiri, pengurus pesantren, asatidz bahkan sempat terdengar selentingan kabar bahwa, keluarga kiaipun juga turut memperbincangkan nyai Syarifah.


Namun terlepas dari itu semua, nyai Syarifah tetaplah manusia biasa yang tak pernah alpha dari salah dan dosa. Seperti kata bijak, semakin besar sebuah pesantren, secara bersamaan comberannya juga akan ikut membesar. Ini adalah hukum alam.


Pernah suatu ketika dia dipercayakan sebagai ketua pelaksana acara jurnalistik yang digelar oleh Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Putri. Awalnya dia menolak dengan alasan, masih banyak santri lain yang jauh lebih kompeten dibading dirinya, terlebih pada saat tersebut, beliau masih terhitung sebagai siswi kelas II Madrasah Tsanawiyah, namun pengurus tetap keukeuh hendak menjadikannya sebagai ketua panitia.


Saat acara hendak berlangsung, semua panitia terlihat panik, sebab hingga jam 07.30, pemateri dari dari Media Massa nasional yang diundang belum datang juga. Padahal hampir 80 persen peserta yang datang dari seluruh pesantren se-Madura telah hadir.


Sampai jam 08.00 ditunggu, namun pemateri juga belum datang juga. Hingga datang seorang pria tinggi kurus yang memaksa bertemu dengan nyai Syarifah. ketika ditelisik, ternyata lelaki tersebut adalah wartawan juga yang ditugaskan Mbak Indri untuk mewakilinya mengisi diklat jurnalistik, sebab mbak Indri sendiri tengah berhalangan hadir.


Ketika dikonfirmasi ke pihak pengurus, seluruh pengurus berang dengan wartawan tersebut, karena dinilai telah melanggar ketentuan, baik agama pun pesantren yang jelas-jelas melarang adanya Ikhtilat4 antara ikhwan dan akhwat, terlebih wartawan tersebut dinilai tidak berpakaian Islami karena tidak memakai sarung dan kopyah.


Sebagai ketua pelaksana, nyai Syarifah tidak mau acara yang dihelatnya gagal hanya karena persoalan kelamin dan pakaian. Makanya dia tetap memaksa pengurus untuk mengidzinkan mas Awiek, nama wartawan tersebut untuk masuk.


Silahkan buat pesantren sendiri saja jika kamu tetap memaksakan dia untuk masuk!”, berang Ustadzah Aisyah sembari memukul meja kantor pesantren.


Dan acara tetap berlanjut. Banyak pihak yang menyayangkan kejadian tersebut. Sebagian mendukung sikap nyai Syarifah yang memilih mensukseskan acara meski harus menentang pihak otoritas pesantren. Namun sebagian besar justru mencibir dan menganggapnya sebagai pembangkang.


Maka adalah wajar jika saat bersamaan, nyai Syarifah memilih menangis dan menumpahkan segala kekecewaan dan mungkin ketakutannya dengan menulis surat melalui Bu Mina, kabuleh pesantren yang memang biasa membawa kiriman, dari putra ke putri pun sebaliknya yang berisi permintaan semangat dari katua FLP putra, Ikhwan yang dinilainya sebagai sosok sepaham yang memilih memijaki sisi positiv ketimbang berasyik-masyuk dengan normatifitas keagamaan versi pesantren Ar-Rahman. Sebab neng Muttaqiah, putri pengasuh yang biasanya memberikan support terhadap perjuangannya, pada saat itu tengah berada di Makkatul Mukarromah guna melanjutkan studinya.


Dan sejak kejadian itu, namanya buruk di mata penghuni pesantren, khususnya sebagian besar pengurus. Sikap kukuhnya mempertahankan pendapat yang dinilai sebagai representasi pembangkangan terhadap otoritas pesantren, terlebih ketika intensitas kiriman surat dari santri putra kian meningkat kerap menjadi alasan muara fitnah.


Puncaknya adalah saat nyai Syarifah hendak membangun perkumpulan pecinta seni di kalangan santri putri yang dinilainya dari dulu kerap ada dikotomik dengan ilmu agama bernama Teater Kertas. Sudah bisa ditebak, tentu saja, ini ditentang habis-habisan oleh pihak pesantren, tak terkecuali ketua pengurus.


Bagi mereka, tak ada toleransi bagi teater untuk eksis di lingkungan pesantern Ar-Rahman. Teater adalah budaya orang-orang kafir, dan Islam sangat anti terhadap budaya mereka.


Man tasyabbaha bi qoumin fa huwa min hum5! Apa ukhti mau disamakan dengan kuffar itu? Astaghfirullah, dari mana ide gila itu muncul?”, sembari memandang lekat nyai Syarifah.


Nyai Syarifah membantahnya dengan menyebut argumentasi ustadzah Waradah tidak mendasar sama sekali. Baginya, Islam dan Seni, tidak boleh dibedakan. Tak pernah ada dikotomik antara islam dan seni. Lihat saja Al-Quran yang turun dengan nilai sastra yang begitu tinggi hingga banyak Sahabat nabi memilih memeluk islam karena terbuai dengan keindahan ayat-ayatnya yang penuh ritme namun tak meninggalkan substansi pesan yang hendak disampaikan.


Jika ustadzah berfikir Islam tidak memiliki nilai seni yang begitu tinggi, maka silahkan salahkan Al Quran yang juga memiliki tingkat kerumitan seni yang tinggi,” bantahnya. ustadzah Wardah terlihat tambah emosi. “ Ana pikir, tak ada salahnya ustadzah belajar kembali tentang Islam!”, lalu nyai Syarifah memilih pergi dengan membawa seribu beban.


Dan pesantrenpun gempar. Semua kalangan di pesantren membicarakan nyai Syarifah. santri, asatidz, pengurus bahkan hingga sampai ke masyarakat luas yang tinggal di sekitar pondok juga tak luput membicarakan nyai Syarifah.


Buat apa cantik jika kelakuannya sama persis dengan para kuffar???”, cibir seorang santri. Hampir semua orang mencibirnya, menyebutnya sebagai pembangkang, baik terhadap pesantren pun juga Islam. Bahkan ada salah seorang Ustadz yang menghalalkan darahnya untuk dibunuh.


Kedua orang tuanya juga telah dipanggil oleh pengurus guna menjemputnya pulang. Nyai Syarifah telah diusir dari pesantren. Sembab dan bengkak di pelupuk mata Umminya, menandakan bahwa beliau telah menangis semalaman. Jujur, secara pribadi, nyai Syarifah tidak pernah menganggap persoaan ini membebani, namun ketika dikaitkan dengan persoalan keluarganya, dimana mereka tidak pernah tahu menahu alasan kenapa ini terjadi, sungguh sangat menyiksa baginya.


Kabar tersebut akhirnya sampai juga di telinga Kiai Muhammad. Secara cepat beliau memanggil aby ummi nyai Syarifah dan beberapa pengurus. Lama mereka di dalam ruang tamu, entah apa yang mereka bicarakan.


Saat genting tersebut, nyai Syarifah memohon pada dewan Ishlah6 yang kebetulan pada saat tersebut, teman dekatnya yang tengah berjaga untuk memanggilkan Akhi Kholis.


Yang tabah, Ukhti… Ummu Khansa merelakan ke empat anaknya guna mati syahid! Kita patut mencontoh beliau! ”, pesan terakhir Akhi Kholis saat itu. Dan air mata itu tetap tak mampu terbendung.


Saat bapak kiai keluar, kabar mengejutkan tiba-tiba terdengar, bahwa nyai Syarifah tidaklah bersalah. Oleh karnanya nyai Syarifah gagal dikeluarkan dari pesantren. Sesegera beliau sujud syukur sebagai bentuk terimakasih pada Allah.


Sejak saat itulah nama nyai Syarifah dikenal oleh banyak orang. Terlebih ketika bapak Kiai merespon keinginan nyai syarifah untuk membentuk organisasi guna mewadahi santri yang mencintai seni.


Menginjak kelas III Tsanawiyah, kabar mengejutkan kembali terjadi. Ustadz Zainal yang hampir berumur kepala 4 hendak mengkhitbah nyai Syarifah yang masih berumur 16 tahun. Bagi banyak kalangan di pesantren, ini dianggap hal yang wajar, sebab kondisi serupa kerap terjadi. Tapi tidak bagi nyai Syarifah. perbedaan umur yang cukup terjal antara pihak pria dan wanita, pola pikir yang jelas-jelas tidak sama patutnya menjadi pertimbangan utama dalam persoalan pernikahan. Sebab pernikahan bukan hanya persoalan sepintas lalu. Namun terkait dengan masa depan.


Namun lagi-lagi otoritas pesantren kembali menyita kebebasan hak yang patutnya dimilikinya. Keberpihakan orang tuanya terhadap pesantren juga kian menghimpit ruang geraknya, hingga akhirnya beliau pasrah pada nasib. Dan tiga bula kemudian ustadz Zainal meninggal Karena serangan jantung. Maka di umurnya yang masih 17 itu, nyai Syarifah telah menjadi janda kembang. Sejak saat itu, beliau jarang sekali berbicara.


Di umurnya yang hampir menginjak kepala empat ini, beliau mulai membuka diri, bahkan dari saking “terbukanya”, banyak sikap yang tunjukkannya menjadi polemik di kalangan pesantren. Sebut saja keinginannya untuk mengkhitbah7 salah seorang santri putra yang secara umur berbeda jauh darinya. Ikhwan nama pemuda itu, dia baru lulus Madrasah Aliyah. Secara keislaman memang cukup mumpuni, namun secara emosional, agaknya masih terbilang anak-anak.


Atau Irham, anak kepala desa kecamatan Bluto yang secara spontan hendak dikhitbahnya pula. Sikap ini menjadikan kondisi pesantren kian tak stabil. Bukan karena masalah khitbahnya, melainkan lebih karena timbul pemikiran, bahwa nyai Syarifah gila karena depresi ditinggal suaminya.


Lalu atas bantuan Kiai Fadlan, nyai Syarifah kembali menemukan sosok pendamping hidupnya, pengganti ustadz Zainal bernama Syaiful Mujani. Umurnya tidak jauh berbeda dengan dirinya, hanya selisih satu tahun di bawahnya. Kiai Fadlan yang menanggung semua kebutuhan pernikahan nyai Syarifah.


Hingga jam 12.00, penganten pria yang ditunggu-tunggu juga belum datang. Nyai Rodhi yang bertanggung jawab terhadap segala jenis hidangan, terlihat gusar melihat santri putri yang membantunya lamban dalam bekerja. Untungnya tamu undangan dari pihak pria masih belum datang juga.


Meski umurnya hampir menginjak kepala empat, nyai Syarifah tetap terlihat cantik dan anggun dalam balutan kebaya serba hitam bermotofkan bunga kamboja itu. Beberapa tamu yang hadir dari penduduk kampung dekat peantren telah hadir, terkesima dengan kecantikan nyai Syarifah.


Jam sudah menunjukkan pukul 13.00. namun yang ditunggu-tungu juga belum datang juga. Nyai Rodhi yang awalnya gusar karena kue-kue yang akan dihidangkan belum selesai, kini gusar karena tamu yang ditunggu-tunggu belum juga hadir.


Beberapa tamu terlihat telah berpamitan dengan berbagai alasan yang melatarinya. Sementara kiai Fadlan yang sudah mulai merenta juga terlihat mulai panin. Namun tak beliau tunjukkan.


Minuman dan kue-kue yang disuguhkan kepada para undangan dari KUA kecamatan juga sudah berkali-kali ditambah karena menunggu pihak pria yang tak kunjung datang.


Sebuah mobil kijang masuk pelataran pesantren. Seorang dari dalam mobil itu keluar lalu sesegera beranjak ke tempat kiai Fadlan di ruangan tamu, berbisik dan ada gurat sesal di wajah kiai Fadlan.


Sesuatu yang buruk telah terjadi.


Serta-merta kiai Fadlan beringsut ke kamar nyai Syarifah dan, “ Maaf Syarifah, tapi aku harus mengatakan ini padamu. Toh pada akhirnya kamu juga harus tahu”, kiai terlihat menarik nafas “ Syaiful minggat dari rumahnya!!!”.


Nyai Syarifah merunduk. Dan sebutir Kristal menggelinding di rona pipinya yang mulai keriput dimakan usia. Entah untuk siapa air mata itu, untuk Syaiful Mujani yang telah meninggalkannya pergi, ketidak adilan yang dari dulu menimpanya, atau untuk matinya nilai ke Muhammadan dengan sepinya pemuda yang menikahi janda sepertinya. Seperti Muhammad yang memilih menikah Khadijah demi alasan jihad fi sabilillah.


Biarlah hanya nyai Syarifah yang tau.


1 pembantu


2 Sampir


3 kepemimpinan


4 Campur baur


5 Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia adalah sebagian dari kaum tersebut


6 keamanan


7 lamar

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top