Minggu, 27 November 2011

A Note from TUNZA


Seorang sahabat yang tak usah ku sebut namanya, terlihat tengah meng-update status di wall Facebook-nya yang kurang lebih isinya begini, “Selentingan kabar yang ku dengar, acara TUNZA International Youth and Children Conference 2011 hasil kerjasama UNEP dan Ministry of Environment Republik Indonesia ini menghabiskan biaya triliunan rupiah. Aku jadi berpikir, seandainya uang tersebut dipergunakan untuk menanam pohon, pasti efeknya akan lebih banyak dibandingkan menghelat acara seperti ini”.
Sejenak lamanya saya membaca tulisan tersebut, mencernanya serta mencoba berkontemplasi akan substansi tulisannya dan kudapati ada ketidak samaan bagaimana cara dia memandang dengan perspektif saya dalam melihat eksisitensi TUNZA dengan kawan saya tersebut. Demikian, saya tidak pernah menyinggung pemikiran dia yang demikian, karena sebagai pemuda yang kebetulan juga berpartisipasi di acara tersebut, masing-masing dari kemi memiliki hak untuk berbicara, bisa saja pada saat tersebut pemikiran dia tengah lebih cendrung pada paradigma post modernisme. Saya malah sangat mengapresiasi tersebut sebagai bagian dari hak berbicara, berekspresi dan juga mengemukakan pendapat.
Lalu bagaimana saya memandang eksistensi TUNZA tersebut? Nah bagi saya pribadi, keberadaan TUNZA memiliki banyak manfaat dibandingkan mafsadatnya. Iya tentu saja demikian, karena beragam pengalaman yang pada akhirnya menjadi penting bagi pembangunan personal saya serta pengetahuan akan green economy dan lain sebagainya, bisa saya dapati di konferensi internasional tersebut.
1.      Sharing Ideas
Saat kegiatan Plenary Session di hari ke 3, beberapa delegasi dari India Australia dan Singapore berkesempatan untuk mempresentasikan komunitas beserta ide-ide tentang lingkungan yang mereka bawa dari negara mereka. masing-masing dari mereka memiliki ide-ide cemerlang dan berimplikasi besar terhadap peningkatan people awareness akan urgensitas menjaga lingkungan.
Hal ini misalnya tercermin dari delegasi Singapore yang menerapkan Re-Use, Reduce dan Recicle sampah-sampah non-organik seperti botol air mineral dengan menjadikannya bahan dasar pembuatan kaos. Dan masing-masing kaos yang diproduksi, biasanya disertai pula slogan-slogan yang melekat dengan identitas organisasi tersebut seperti seperti cinta lingkungan hidup dan lain sebagainya. Dalam hal tersebut, setidaknya ada dua keuntungan yang didapat; a) keuntungan secara ekonomi dan. b) media untuk menyampaikan aspirasi untuk responsif terhadap lingkungan.
2.      Sharing Experience
Beda kebun beda hewan. Entah istilah ini memang ada atau saya yang mengarang sendiri, saya tidak begitu yakin, namun satu hal yang pasti, istilah tersebut menurut saya juga berlaku dalam persoalan lingkungan. Jika di negara maritim seperti Indonesia kerap mengalami persoalan abrasi, maka berbeda dengan yang terjadi di Australia. Jika di India persoalan lingkungan adalah perkara wasting management maka itu tentu saja berbeda dengan yang terjadi di Inggris. Begitu juga seterusnya.
Masih terkait dengan poin pertama, keberadaan TUNZA 2011 juga memberikan kesempatan bagi para peserta dari berbagai negara untuk sharing tentang problematika yang tengah di alami negara masing-masing beserta problem solving yang tengah atau akan mereka lakukan. Pada saat itu pula, semua peserta konferensi diberikan kesempatan untuk bertanya serta klarifikasi lebih lanjut kepada delegasi tersebut. Seperti yang dilakukan sekelompok cewek-cewek Australia berupa pembuatan video yang diunggah ke social media untuk meningkatkan people awareness mengenai lingkungan dengan adegan yang lucu.
3.      Expand Connection
Untuk perkara yang satu ini, diakui atau tidak memang sangat besar. Saat hari pertama di Plenary Hall, saya dan Hamli (btw,orang  ini sebenernya yang update status itu) tengah duduk dengan cewek bernama Alina dari Rusia. Lama kami ngobrol tentang kesibukan masing-masing serta perkara remeh temeh lainnya berikut kesan pertamakali ke Indonesia. lama ngobrol, dan tanpa disangka-sangka ternyata si doi adalah salah satu penerjemah bahasa Rusia di acara TUNZA. Dia juga invite saya masuk ke salah satu group di FB (Facebook) yang bergerak dalam lingkungan dan kebetulan dia sebagai admin serta ketuanya.
Di kesempatan berbeda, saya (lagi-lagi bersama Hamli) juga berkesempatan bertemu dengan seorang bapak asal jawa tengah. Dia merupakan pengajar di salah satu sekolah SMA di sana. Bapak tersebut bercerita mengenai komunitas siswa pecinta lingkungan hidup yang masih baru di sekolahnya. Salah satu kendala yang dihadapi bapak tersebut adalah minimnya koneksi yang bisa meningkatkan student awareness mengenai lingkungan itu sendiri. Karenanya kemudian, bapak tersebut mengajak saya dan Hamli yang nota bene aktivis di IBBIedugreen bekerjasama dengan cara memberikan pelatihan di sekolah tersebut.
Lebih jauh lagi, pada saat tersebut saya juga berkesempatan dengan Miss Universe dalam hal lingkungan dan berkesempatan untuk mengambil foto dengannya (narsis mode on) dan masih banyak hal lain yang membuat saya pribadi semakin memiliki banyak rekan yang memiliki kesamaan pandangan akan pentingnya menjaga lingkungan kita. Beberapa masih terhubung hingga sekarang dan memang sih sudah lebih banyak yang tidak lagi. J
4.      Sharing socio-cultural
Persoalan terakhir ini bisa dikatakan tidak memiliki kaitan yang jelas dengan dunia lingkungan, namun demikian saya punya sedikit cerita. Saat pertama kali sampai di gedung konferensi, saat saya terperangah mendapati beragam jenis kulit, kebudayaan serta kesenian yang bergerumul di aula tempat Konferensi dihelat. Semuanya datang dengan wajah ceria, bangga dengan kostum negara masing-masing, serta tentu saja dengan senang hati untuk diajak berfoto.
Dalam pada itu, saya jadi berpikir, seandainya tidak ikut kegiatan seperti ini, apa mungkin saya bisa tau betapa cantiknya kebudayaan bangsa lain tersebut? Apa mungkin saya bisa membayangkan betapa banyak ragam kebudayaan yang ada di semua penjuru dunia ini? Dan apa mungkin saya akan melihat dan bahkan menjamah baju-baju mereka yang sangat unik-unik itu?
Kontras dari rasa kagum saya yang sedikit lebbai tersebut, lagi-lagi saya berpikir, masihkah kita akan menikmati semua itu jika keberadaan lingkungan kita rusak? Masihkah kita bisa melihat teman-teman kita yang dari Papua dengan bangga menggunakan baju adatnya dimana bahan utamanya adalah dari alam? Masihkah kita bisa melihat senyum bocah-bocah korea yang merah pipinya itu jika udara tak lagi bersahabat dan hanya bisa membuat beragam penyakit karena polusi akibat industrialisasi yang tak lagi bisa dikontrol? Saya tidak bisa membayangkan jika suatu hari nanti, manusia di dunia tidak lagi menggunakan baju adat masing-masing, yang mereka kenakan justru baju berbahan baja seperti yang biasa saya lihat dari film-film futuristic?
Terakhir, bagi saya pribadi, isu global warming berikut segala tetek bengek-nya tidak hanya bertumpu pada reboisasi hutan sebagai problem solvingnya, karena global warming sendiri adalah persoalan yang melibatkan semua negara di dunia tanpa terkecuali karenanya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa ia juga menjadi tanggung jawab bersama. Lebih dari itu, keberadaan children juga menjadi penting, sebab apa yang diflorkan pada forum tersebut juga adalah demi masa depan mereka, sehingga adalah sangat masuk akal apabila kegiatan ini dihelat, meski dengan menghabiskan sekian triliun rupiah. Sebab eksistensi TUNZA sendiri, disamping dihelat dalam rangka menjelang Rio+20, ia juga bisa menjadi media untuk meningkatkan people awareness mengenai isu lingkungan serta problem solving yang bisa didapat dar sharing expreriences dan sharing ideas yang biasanya berlangsung, baik selama berada di hotel maupun saat konverensi dari seluruh peserta yang datang dari berbagai negara.

Selasa, 19 Juli 2011

kingdom of garfield

18 Juli 2011 saya bersama teman-teman lain yang dari Indonesia, Malaysia serta the Philippines mendapat kesempatan untuk menyambangi kediaman Jim Davis, pembuat tokoh kartun Garfield yang tinggal tidak jauhdari tempat kami kuliah. ia terletak di Muncie Indiana. ini dia beberapa gambar yang bisa saya bagi
ini namanya King Garfield

king Garfield bersama dengan teman-temannya

King Garfield naik balon udara

yang ini Pembokat King Garfield berasal dari Indonesia... hanya saja memang wanita yang satu ini agak keterlaluan, sudah tau King Garfield kecil, masih saja mau dia tunggangi!


foto ini merupakan koleksi yang paling aku suka... temanya MONAPIZZA
cantik sekali kan?
dia Garfield yang bencong! hihihihi

tibalah pada akhir acara, saat teman-teman dari Indonesia, Malaysia dan the Philippines menjajah kerajaan King Garfield....


Minggu, 03 Juli 2011

Aku Orang Indonesia dan Aku Bangga Berbahasa


Menurut Deisha, salah satu peserta Summer Short Course Study of the U.S. Institute on New Media and Politics tahun 2010, tidak sedikit dari peserta dari Indonesia, lebih banyak tidak berinteraksi dalam kelas, tidak seperti kebanyakan teman-teman lain yang dari Philippines atau Malaysia, alasannya hanya satu : Bahasa! Ya, dan aku mengiyakan persoalan tersebut. Karena beberapa saat lamanya semenjak aku dan beberapa kawan sampai ke kampus, mengalami hal serupa. Namun ada sebuah cerita menarik yang aku dapatkan dua hari ini.
Kemarin, tanggal 2 Juli 2011, aku kebetulan mendapatkan kesempatan untuk Home Stay bersama salah satu warga asli Amerika, salah satu alasan mengapa kegiatan ini digelar adalah, agar kami, mahasiswa yang dari Indonesia bisa merasakan bagaimana gaya hidup orang Amerika yang sebenarnya, sebab selama sampai di Amerika, semua mahasiswa yang ada, tinggalnya di Hurst dan Mysth Dormitory yang berada di La Falettee, komplek Ball State University (BSU).
Saat kami baru sampai di rumah Pak Loe dan Bu Hope dan meletakkan barang-barang yang dibawa dari Dorm, kami langsung diajak ke sebuah daerah bernama Genewa, sebuah daerah yang sedikit terpencil tak jauh dari kota Portland untuk melihat sebuah komunitas bernama Amish. Mereka adalah orang asli Switzerland alias Swiss yang sudah lama tinggal di Amerika namun tetap menggunakan bahasa dan kebudayaan tradisional mereka, termasuk mereka juga menggunakan bahasa Swiss kuno sebagai bahasa sehari-sehari mereka. Makanya tidak mengherankan jika bahasa mereka tidak sebagus dan sefasih kebanyakan orang Amerika asli.
Esok harinya, saat makan siang, aku diajak ke sebuah Gereja tempat biasa Pak Leo dan Bu Hope biasa beribadah, aku bertemu dengan komunitas China yang tinggal di Amerika. Beberapa baru tinggal di Amerika selama 1 tahun, ada yang sudah 3 tahun, sebagian kecil sudah 12 tahun. Dan malah ada dari mereka yang sudah jadi pengajar tetap di BSU. Meski sudah tinggal cukup lama, namun bahasa Inggris mereka masih belepotan, mungkin bisa dikatakan bahasa inggris ku lebih baik—haha—dan karena itu, aku bicara dengan mereka cukup percaya diri.
Melihat kembali terhadap persoalan bahasa yang biasanya dihadapi oleh teman-teman dari Indonesia, aku jadi berpikir, berpikir tentang bahasa inggris, bukanlah pikiran yang seharusnya kita pajang pada premier problem, sebab pada dasarnya, bahasa bukanlah penghalang bagi seseorang untuk mengekspresikan serta menunjukkan seberapa antusias dan pintar seseorang. Karena yang terpenting adalah apa yang kita sampaikan bukan pada bagaimana kita menyampaikannya. Seperti kata pak Teguh, “Bahasa hanyalah alat atau jembatan”.
Berkaca pada orang-orang China itu serta orang-rang Swiss yang telah tinggal di Amerika selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun, serta kondisi bahasa Inggris mereka yang tidak sefasih kebanyakan orang Amerika maupun Negara lain yang menggunakan Inggris sebagai bahasa kedua (Second Language) atau bahkan bahasa pertama, tidak pernah membuat mereka malu untuk berbahasa inggris. Mereka tetap percaya diri untuk berbahasa inggris.
Namun demikian, ini bukan lantas berarti bahasa Inggris tidak penting. Ia tetap penting, sebab ia adalah bahasa Internasional dimana banyak masyarakat di berbagai belahan dunia memilih menggunakan bahasa inggris sebagai komunikasi bersama orang asing lainnya. Dan dengan bahasa inggris pula, kita bisa mempromosikan serta menyuarakan Indonesia di dunia Internasional. Aku setuju dengan istilah, “Belajar bahasa asing harus, dan belajar bahasa Indonesia adalah WAJIB!”
Mengakhiri tulisan ini, aku kutip salah satu kalimat yang dicuapkan Bu Hope sesaat sebelum aku meninggalkan rumahnya, “You are really representing your country as well!”, senengnya dibilang demikian, yah meski saat aku berkomunikasi dengannya pakai bahasa inggris yang awut-awutan. :) 

Kamis, 03 Maret 2011

Si Mbok dan Urapannya

Di sebuah siang yang cukup terik, saya dan beberapa saudara pergi ke Sumenep dalam rangka menghadiri proses perceraian salah seorang sanak famili di Pengadilan Agama kabupaten setempat. Tak jauh berbeda sejak kurang lebih satu tahun lalu saat saya tinggalkan, kota di ujung timur pulau Madura ini, semuanya masih sama, dari jalanan yang lengang, berbeda sama sekali dengan Jakarta yang padat dan sesak, hingga bangunan yang kurang lebih masih belum ada perkembangan yang cukup signifikan. Demikian, pada kesempatan ini, saya tidak mau banyak membahas kedua hal tersebut, mungkin di kesempatan lainnya, saat ini saya akan bercerita tentang Si Mbok dan Urapannya.
Mungkin sebagian orang yang belum pernah tau bagaimana orang madura, masih bingung apa itu Urapan? Hehe, saya juga sebetulnya bingung, mau menamainya apa, biasanya setiap kali saya mau beli, saya langsung bilang “melleh rap orapennah!” yang berarti, saya mau belu urapan. Urapan atan Rap orapan adalah sejenis makanan yang didalamnya kurang lebih ada Ketupat, tauge, sayur mayur, kuah bersantan yang dimasak bersama daging syarat lemak yang nikmatnya minta ampun, serta tentu saja kolat atau kerupuk rempeyek yang didalamnya ada banyak udangnya.
Karena sudah lama tidak makan rap orapan, maka siang itu, saat ada waktu kosong saya langsung bergegas ke penjual rap orapan serta langsung memesan satu porsi. Satu porsi kira-kira berkisar antara Rp 3000 hingga Rp 5000. Nyaris tidak ada beda jika dilihat dari kuantitas makanan yang didapat dari kisaran harga tersebut, yang membedakan mungkin, jika Rp 3000 kita hanya cukup mendapatkan apa adanya, alias standar, namun jika Rp 5000 kita bisa milih mau dikasih apa dan mau ditambah apa aja, ada ikan Cakalan nikmat yang siap untuk dikasih oleh si Mbok.
Ada satu hal yang menarik siang itu. Saat saya baru sampai dan karena tak tahan melihat beragam jenis makanan yang ada, saya sangat antusias untuk melihat dan memilih apa saja yang akan saya beli. Namun agak sedikit kaget saat si Mbok dengan nada sinis bilang yang kurang lebih kalau dibahasa Indonesia-kan seperti ini, “Heh jangan dekat-dekat sama masakan saya, nanti bulu betis dan bulu-bulu lain mu rontok dan kena makanan-makanan ini!”. saya terkejut mendengar ucapan si Mbok, namun belum selesai keterkejutan saya, si Ibu malah ketawa cekikikan.
Saat selesai membeli, saya langsung bergegas pergi ke sebuah kedai makanan, menyusul saudara saya yang tengah makan. Dan sayapun cerita tentang sikap si Mbok, dari saat saya baru sampai di tempat dia jualan, hingga hal menggelikan yang sukar saya temui di manapun. Belum juga kelar saya cerita, eh mbak saya malah bercerita kisah lain tentang si mbok yang tak kalah seru.
“Iya, si mbok memang sering begitu!, sikapnya suka aneh-aneh!”, begitu responnya, lalu dia melanjutkan ceritanya bahwa, di suatu hari, ada salah seorang wanita mau beli rap orapan ke si Mbok, namun belinya hanya Rp 1500 karena makanan tersebut dibeli untuk orang sakit. Namun bukan makanan yang didapat oleh si pembeli malang itu, malah omelan pedas, seperti ungkapan bahwa Rp 1500 bahkan tidak cukup untuk membeli bungkus pisang yang dipakai untuk membungkus, boro-boro dapat masakannya!
Merasa tak tahan dengan omelan si Mbok, wanita itu justru menjawab, “Eh Mbok, kalau saya mau, semua barang yang Mbok jual bisa saya beli, bahkan beserta Mbok juga kalau perlu! Saya beli segini hanya karena buat orang sakit! Itu saja!”
Si Mbok menjawab tak kalah pedas, “Yah banyak orang yang sok kaya dengan berlagak seperti itu, tapi tetep yah cuman beli Rp 1500!”, beberapa orang di sekitar dagangan si Mbok senyam senyum menahan tawa melihat si Penjual alias Mbok dan pelanggannya yang malang itu beradu mulut sama persis seperti anak kecil. Dan dengan perasaan dongkol, si pembeli pergi menahan marah!
Sebagai orang Madura yang telah lama tinggal di Jakarta, tentu saya juga ikut tertawa mendengar cerita itu, tertawa bukan karena pertengkaran itu, melainkan melihat pola si Mbok yang, aduuuuhhh, kayaknya sangat jarang ditemukan dimanapun, serta diekspresikan oleh sebagian besar pebisnis dalam melayani pelanggannya. Dia akan mengatakan apa saja yang ada dalam benaknya dengan tanpa editan dan diksi terlebih dahulu, sangat jujur dan apa adanya, tak perduli yang diajak bicara adalah pelanggan atau bukan!
Nah, dari kejadian tersebut, saya jadi berpikir, dari semua pebisnis, saya pikir mungkin hanya si Mbok saja yang akan bersikap seperti itu, dan dalam perspektif pebisnis, sikap si mbok itu bukan sikap yang baik dan yang ada hanya mengurangi pendapatan, bahkan bukan barang hal yang tak mungkin jika dikemudian hari, hanya bangkrut yang akan didapat.
Namun demikian, lepas dari itu, saya tetap menikmati semuanya, saya juga tidak akan kapok untuk membeli lagi berbungkus-bungkus masakan rap orap dari si Mbok, sebab meski sikap si Mbok seperti itu, sama persis dengan anak-anak yang suka berebut mainan serta ucapannya yang kadang menusuk hati, namun ada satu hal yang tidak pernah si Mbok lupakan, yakni kualitas masakannya yang tetap seperti dulu, yang nikmatnya kebangetan, sedapnya kedahsyatan, dan tentu saja Top markotop dan nyos markonyos. Hahah, lebbai.
Gimana, tertarik mencoba rap orapan si Mbok? datang saja ke Sumenep, trus masuk ke Pasar Anom di jalan Trunojoyo, kurang lebih 50 meter sebelah utara dari Bunderan Pasar Anom, distiulah si Mbok biasa menggelar makanannya untuk dijual. Jadi laper nih! Hehehe.

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top