Sabtu, 19 Desember 2009

Elegi Nyai Syarifah





Bisa jadi, hari ini adalah hari paling bersejarah bagi Nyai Syarifah, bahkan mungkin semua penghuni pesantren Ar-Rahman. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya nyai Syarifah mau menikah lagi.


Hari belumlah sore waktu itu, beberapa santri kabuleh1 yang sudah biasa keluar masuk dhelem tampak sibuk keluar masuk dapur pesantren. Ada yang membawa adonan, nampan, toples berisi kue-kue kering dan ada pula yang terlihat membawa beras untuk dicuci, berikut beberapa peralatan memasak lainnya.


Di salah satu sudut ruangan, nyai Syarifah tempak tengah memandang lekat baju kebaya dan kerudung hitam bermotifkan bunga kamboja. Hanya samper2nya saja yang berwarna cokelat tua dengan motif kembang liris vertikal. Entah apa yang melatari beliau memilih kain serba hitam, tak satupun orang tau, pastinya, kulit putih bersihnya memang terlihat tampak kontras ketika dibalut kain hitam. Dan aroma kecantikannya kian terasa.


Serajut bunga Jasmine yang dibentuk menjumput layaknya mahkota ratu, duduk manis di dekat ventilasi yang mengarah langsung pada halaman pondok pesantren. Ada senyum mengembang di bibirnya.



Orang-orang mengenalnya sebagai sosok Muslimah yang arif, bijak dan juga tawaddhu’. Semenjak Ustadz Zainal meninggal 20 tahun yang lalu, Beliau memilih untuk mengabdikan diri dan membantu pesantren; mengajar kitab ketika nyai Muallimah, istri kiai Fadlan tengah berhalangan, mengatur semua kebutuhan logistik pesantren dan tentu saja mengajar sekolah formal setiap hari selasa.


Banyak santri yang bersimpati padanya, bukan hanya karena kecantikan beliau yang memang hingga saat ini masih tetap terawat tanpa bantuan kosmetik sama sekali, melainkan lebih karena kebaikan, kepintaran, kecerdasan dan kesabaran tak terhingga yang dimilikinya. Banyak yang mengatakan, kesabaran yang dimilikinya hampir menyamai istri Mus’ab bin Umair yang kesabarannya hampir melegenda, maupun ummi Khansa’ yang merelakan ke empat anaknya syahid dengan bertempur membela islam. Subhanallah.


Sosoknya yang lincah, enerjik, inovativ, memiliki jiwa leadership3 yang memadai, namun dibalut dengan akhlaq islami, adalah salah lima dari sekian banyak keistimewaan yang dimilikinya. Belum lagi kecantikan alami yang bersemi tanpa bantuan peralatan kosmetik. Sungguh ia serpih embun yang menetes ke bumi dan menjelma sebagai sosok akhwat bernama Syarifah.


Sejak pertama masuk pesantren, sosoknya yang bersahaja memang langsung menarik perhatian dari berbagai kalangan. Dari santri sendiri, pengurus pesantren, asatidz bahkan sempat terdengar selentingan kabar bahwa, keluarga kiaipun juga turut memperbincangkan nyai Syarifah.


Namun terlepas dari itu semua, nyai Syarifah tetaplah manusia biasa yang tak pernah alpha dari salah dan dosa. Seperti kata bijak, semakin besar sebuah pesantren, secara bersamaan comberannya juga akan ikut membesar. Ini adalah hukum alam.


Pernah suatu ketika dia dipercayakan sebagai ketua pelaksana acara jurnalistik yang digelar oleh Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) Putri. Awalnya dia menolak dengan alasan, masih banyak santri lain yang jauh lebih kompeten dibading dirinya, terlebih pada saat tersebut, beliau masih terhitung sebagai siswi kelas II Madrasah Tsanawiyah, namun pengurus tetap keukeuh hendak menjadikannya sebagai ketua panitia.


Saat acara hendak berlangsung, semua panitia terlihat panik, sebab hingga jam 07.30, pemateri dari dari Media Massa nasional yang diundang belum datang juga. Padahal hampir 80 persen peserta yang datang dari seluruh pesantren se-Madura telah hadir.


Sampai jam 08.00 ditunggu, namun pemateri juga belum datang juga. Hingga datang seorang pria tinggi kurus yang memaksa bertemu dengan nyai Syarifah. ketika ditelisik, ternyata lelaki tersebut adalah wartawan juga yang ditugaskan Mbak Indri untuk mewakilinya mengisi diklat jurnalistik, sebab mbak Indri sendiri tengah berhalangan hadir.


Ketika dikonfirmasi ke pihak pengurus, seluruh pengurus berang dengan wartawan tersebut, karena dinilai telah melanggar ketentuan, baik agama pun pesantren yang jelas-jelas melarang adanya Ikhtilat4 antara ikhwan dan akhwat, terlebih wartawan tersebut dinilai tidak berpakaian Islami karena tidak memakai sarung dan kopyah.


Sebagai ketua pelaksana, nyai Syarifah tidak mau acara yang dihelatnya gagal hanya karena persoalan kelamin dan pakaian. Makanya dia tetap memaksa pengurus untuk mengidzinkan mas Awiek, nama wartawan tersebut untuk masuk.


Silahkan buat pesantren sendiri saja jika kamu tetap memaksakan dia untuk masuk!”, berang Ustadzah Aisyah sembari memukul meja kantor pesantren.


Dan acara tetap berlanjut. Banyak pihak yang menyayangkan kejadian tersebut. Sebagian mendukung sikap nyai Syarifah yang memilih mensukseskan acara meski harus menentang pihak otoritas pesantren. Namun sebagian besar justru mencibir dan menganggapnya sebagai pembangkang.


Maka adalah wajar jika saat bersamaan, nyai Syarifah memilih menangis dan menumpahkan segala kekecewaan dan mungkin ketakutannya dengan menulis surat melalui Bu Mina, kabuleh pesantren yang memang biasa membawa kiriman, dari putra ke putri pun sebaliknya yang berisi permintaan semangat dari katua FLP putra, Ikhwan yang dinilainya sebagai sosok sepaham yang memilih memijaki sisi positiv ketimbang berasyik-masyuk dengan normatifitas keagamaan versi pesantren Ar-Rahman. Sebab neng Muttaqiah, putri pengasuh yang biasanya memberikan support terhadap perjuangannya, pada saat itu tengah berada di Makkatul Mukarromah guna melanjutkan studinya.


Dan sejak kejadian itu, namanya buruk di mata penghuni pesantren, khususnya sebagian besar pengurus. Sikap kukuhnya mempertahankan pendapat yang dinilai sebagai representasi pembangkangan terhadap otoritas pesantren, terlebih ketika intensitas kiriman surat dari santri putra kian meningkat kerap menjadi alasan muara fitnah.


Puncaknya adalah saat nyai Syarifah hendak membangun perkumpulan pecinta seni di kalangan santri putri yang dinilainya dari dulu kerap ada dikotomik dengan ilmu agama bernama Teater Kertas. Sudah bisa ditebak, tentu saja, ini ditentang habis-habisan oleh pihak pesantren, tak terkecuali ketua pengurus.


Bagi mereka, tak ada toleransi bagi teater untuk eksis di lingkungan pesantern Ar-Rahman. Teater adalah budaya orang-orang kafir, dan Islam sangat anti terhadap budaya mereka.


Man tasyabbaha bi qoumin fa huwa min hum5! Apa ukhti mau disamakan dengan kuffar itu? Astaghfirullah, dari mana ide gila itu muncul?”, sembari memandang lekat nyai Syarifah.


Nyai Syarifah membantahnya dengan menyebut argumentasi ustadzah Waradah tidak mendasar sama sekali. Baginya, Islam dan Seni, tidak boleh dibedakan. Tak pernah ada dikotomik antara islam dan seni. Lihat saja Al-Quran yang turun dengan nilai sastra yang begitu tinggi hingga banyak Sahabat nabi memilih memeluk islam karena terbuai dengan keindahan ayat-ayatnya yang penuh ritme namun tak meninggalkan substansi pesan yang hendak disampaikan.


Jika ustadzah berfikir Islam tidak memiliki nilai seni yang begitu tinggi, maka silahkan salahkan Al Quran yang juga memiliki tingkat kerumitan seni yang tinggi,” bantahnya. ustadzah Wardah terlihat tambah emosi. “ Ana pikir, tak ada salahnya ustadzah belajar kembali tentang Islam!”, lalu nyai Syarifah memilih pergi dengan membawa seribu beban.


Dan pesantrenpun gempar. Semua kalangan di pesantren membicarakan nyai Syarifah. santri, asatidz, pengurus bahkan hingga sampai ke masyarakat luas yang tinggal di sekitar pondok juga tak luput membicarakan nyai Syarifah.


Buat apa cantik jika kelakuannya sama persis dengan para kuffar???”, cibir seorang santri. Hampir semua orang mencibirnya, menyebutnya sebagai pembangkang, baik terhadap pesantren pun juga Islam. Bahkan ada salah seorang Ustadz yang menghalalkan darahnya untuk dibunuh.


Kedua orang tuanya juga telah dipanggil oleh pengurus guna menjemputnya pulang. Nyai Syarifah telah diusir dari pesantren. Sembab dan bengkak di pelupuk mata Umminya, menandakan bahwa beliau telah menangis semalaman. Jujur, secara pribadi, nyai Syarifah tidak pernah menganggap persoaan ini membebani, namun ketika dikaitkan dengan persoalan keluarganya, dimana mereka tidak pernah tahu menahu alasan kenapa ini terjadi, sungguh sangat menyiksa baginya.


Kabar tersebut akhirnya sampai juga di telinga Kiai Muhammad. Secara cepat beliau memanggil aby ummi nyai Syarifah dan beberapa pengurus. Lama mereka di dalam ruang tamu, entah apa yang mereka bicarakan.


Saat genting tersebut, nyai Syarifah memohon pada dewan Ishlah6 yang kebetulan pada saat tersebut, teman dekatnya yang tengah berjaga untuk memanggilkan Akhi Kholis.


Yang tabah, Ukhti… Ummu Khansa merelakan ke empat anaknya guna mati syahid! Kita patut mencontoh beliau! ”, pesan terakhir Akhi Kholis saat itu. Dan air mata itu tetap tak mampu terbendung.


Saat bapak kiai keluar, kabar mengejutkan tiba-tiba terdengar, bahwa nyai Syarifah tidaklah bersalah. Oleh karnanya nyai Syarifah gagal dikeluarkan dari pesantren. Sesegera beliau sujud syukur sebagai bentuk terimakasih pada Allah.


Sejak saat itulah nama nyai Syarifah dikenal oleh banyak orang. Terlebih ketika bapak Kiai merespon keinginan nyai syarifah untuk membentuk organisasi guna mewadahi santri yang mencintai seni.


Menginjak kelas III Tsanawiyah, kabar mengejutkan kembali terjadi. Ustadz Zainal yang hampir berumur kepala 4 hendak mengkhitbah nyai Syarifah yang masih berumur 16 tahun. Bagi banyak kalangan di pesantren, ini dianggap hal yang wajar, sebab kondisi serupa kerap terjadi. Tapi tidak bagi nyai Syarifah. perbedaan umur yang cukup terjal antara pihak pria dan wanita, pola pikir yang jelas-jelas tidak sama patutnya menjadi pertimbangan utama dalam persoalan pernikahan. Sebab pernikahan bukan hanya persoalan sepintas lalu. Namun terkait dengan masa depan.


Namun lagi-lagi otoritas pesantren kembali menyita kebebasan hak yang patutnya dimilikinya. Keberpihakan orang tuanya terhadap pesantren juga kian menghimpit ruang geraknya, hingga akhirnya beliau pasrah pada nasib. Dan tiga bula kemudian ustadz Zainal meninggal Karena serangan jantung. Maka di umurnya yang masih 17 itu, nyai Syarifah telah menjadi janda kembang. Sejak saat itu, beliau jarang sekali berbicara.


Di umurnya yang hampir menginjak kepala empat ini, beliau mulai membuka diri, bahkan dari saking “terbukanya”, banyak sikap yang tunjukkannya menjadi polemik di kalangan pesantren. Sebut saja keinginannya untuk mengkhitbah7 salah seorang santri putra yang secara umur berbeda jauh darinya. Ikhwan nama pemuda itu, dia baru lulus Madrasah Aliyah. Secara keislaman memang cukup mumpuni, namun secara emosional, agaknya masih terbilang anak-anak.


Atau Irham, anak kepala desa kecamatan Bluto yang secara spontan hendak dikhitbahnya pula. Sikap ini menjadikan kondisi pesantren kian tak stabil. Bukan karena masalah khitbahnya, melainkan lebih karena timbul pemikiran, bahwa nyai Syarifah gila karena depresi ditinggal suaminya.


Lalu atas bantuan Kiai Fadlan, nyai Syarifah kembali menemukan sosok pendamping hidupnya, pengganti ustadz Zainal bernama Syaiful Mujani. Umurnya tidak jauh berbeda dengan dirinya, hanya selisih satu tahun di bawahnya. Kiai Fadlan yang menanggung semua kebutuhan pernikahan nyai Syarifah.


Hingga jam 12.00, penganten pria yang ditunggu-tunggu juga belum datang. Nyai Rodhi yang bertanggung jawab terhadap segala jenis hidangan, terlihat gusar melihat santri putri yang membantunya lamban dalam bekerja. Untungnya tamu undangan dari pihak pria masih belum datang juga.


Meski umurnya hampir menginjak kepala empat, nyai Syarifah tetap terlihat cantik dan anggun dalam balutan kebaya serba hitam bermotofkan bunga kamboja itu. Beberapa tamu yang hadir dari penduduk kampung dekat peantren telah hadir, terkesima dengan kecantikan nyai Syarifah.


Jam sudah menunjukkan pukul 13.00. namun yang ditunggu-tungu juga belum datang juga. Nyai Rodhi yang awalnya gusar karena kue-kue yang akan dihidangkan belum selesai, kini gusar karena tamu yang ditunggu-tunggu belum juga hadir.


Beberapa tamu terlihat telah berpamitan dengan berbagai alasan yang melatarinya. Sementara kiai Fadlan yang sudah mulai merenta juga terlihat mulai panin. Namun tak beliau tunjukkan.


Minuman dan kue-kue yang disuguhkan kepada para undangan dari KUA kecamatan juga sudah berkali-kali ditambah karena menunggu pihak pria yang tak kunjung datang.


Sebuah mobil kijang masuk pelataran pesantren. Seorang dari dalam mobil itu keluar lalu sesegera beranjak ke tempat kiai Fadlan di ruangan tamu, berbisik dan ada gurat sesal di wajah kiai Fadlan.


Sesuatu yang buruk telah terjadi.


Serta-merta kiai Fadlan beringsut ke kamar nyai Syarifah dan, “ Maaf Syarifah, tapi aku harus mengatakan ini padamu. Toh pada akhirnya kamu juga harus tahu”, kiai terlihat menarik nafas “ Syaiful minggat dari rumahnya!!!”.


Nyai Syarifah merunduk. Dan sebutir Kristal menggelinding di rona pipinya yang mulai keriput dimakan usia. Entah untuk siapa air mata itu, untuk Syaiful Mujani yang telah meninggalkannya pergi, ketidak adilan yang dari dulu menimpanya, atau untuk matinya nilai ke Muhammadan dengan sepinya pemuda yang menikahi janda sepertinya. Seperti Muhammad yang memilih menikah Khadijah demi alasan jihad fi sabilillah.


Biarlah hanya nyai Syarifah yang tau.


1 pembantu


2 Sampir


3 kepemimpinan


4 Campur baur


5 Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia adalah sebagian dari kaum tersebut


6 keamanan


7 lamar

Jumat, 30 Oktober 2009

Menakar Problematika Kesemrawutan Kampus


Gembar gembor ihwal direalisasikannya penerapan tarif parkir di kalangan civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang beberapa hari belakangan santer terdengar, langsung menimbulkan pro kontra di kalangan mahasiswa. sebagian menolak dan sebagian lagi justru mengamininya dengan berbagai argumentasi yang melatarinya, sementara lainnya memilih abstain.
merebaknya isu tersebut, sebetulnya bukan hal yang serta merta mencuat tanpa alasan yang jelas. banyak kalangan elite kampus yang menilai, kuantitas kendaraan bermotor yang masuk ke areal kampus melebihi space yang tersedia, kondisi ini masih diperparah dengan banyaknya mahasiswa yang enggan mematuhi kebijakan kampus terkait persoalan ketentuan parkir--dalam hal ini, memakai jalan sebagai tempat parkir--,hal tersebut mengakibatkan jalan yang menghubungkan antara satu gedung dengan gedung lainnya beralih fungsi menjadi lahan tempat parkir karena tidak ada lagi tempat parkir yang masih tersedia.
lebih dari itu, tak sedikit jumlah mahasiswa yang juga berpikir sama, bahwa kendaraan, khusunya motor yang ada di kampus terlalu banyak, hingga terlihat begitu semrawut dan tidak nyaman sekali untuk dilihat. oleh karenanya harus diberlakukan kebijakan baru guna mengurangi pemakai kendaraan bermotor di kampus.
beragam aksipun dilakukan sebagai bentuk penolakan oleh mahasiswa yang nota benenya berada di kubu kontra, seperti penyebaran pamflet yang berisi seruan terhadap semua mahasiswa untuk menolak pemberlakuan tarif di kalangan kampus yang bagi sebagian besar aktivis dinilai sebagai contoh kongkrit komersialisasi dunia akademis. hingga pawai di depan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) yang menjadi sentra lalu lintas di kampus satu.
menyikapi persoalan dilematis tersebut, pada hakikatnya penulis berpikir kedua kubu--Mahasiswa-Elite Kampus--yang tengah berseteru sama-sama memiliki sisi negativ, tentu jika kita lihat dari sudut pandang akademis. mahasiswa misalnya, sangat tidak relevan agaknya jika protes dalam bentuk long march dijadikan langkah, masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh semisal melakukan renegosiasi--soft approache--terhadap pihak kampus, menggunakan strategi ketimbang aksi dan tentu saja menawarkan konsolidasi yang lebih relevan yang menunjukkan bahwa kita adalah insan akademis. dan bukan dengan aksi unjuk rasa seperti yang sudah sudah.
di lain pihak, kebijakan kampus juga memiliki sisi negativ yang tak kalah buruk ketimbang mahasiswanya. alasan pemungutan tarif terhadap kendaraan bermotor sebagai langkah untuk mengurangi jumlah kendaraan yang masuk kampus, bagi penulis bukanlah alasan yang rasional. ini karena beberapa indikasi yang antara lain
- dalam penerapan tarif parkir, aroma komersialisasi pendidikan sungguh sangat kental terasa. dalam problematika ini, sebetulnya pihak kampus dapat menerapkan batas jumlah kendaraan yang masuk perharinya agar kesemrawutan karena banyaknya motor yang masuk dapat ditekan seminimal mungkin (sebagai contoh penerapan di beberapa parking area di mall tertentu di jakarta)
- jikapun penerapan tarif masih keukeuh ingin dijadikan alternatif, maka pihak kampus haruslah memberikan pelayanan yang berbeda dan lebih baik tentunya,terhadap mahasiswa yang membawa motor. sebab harusnya ada timbal balik yang equal antara tarif yang diberlakukan dengan pelayanan yang diberlakukan. sebagai analoginya, perbedaan tarif antara wisma dengan harga ekstra murah dengan hotel berbintang lima.
- kesalahan yang penulis nilai sangat fatal adalah, ternyata, pemberlakuan tarif yang ada, tidak mengurangi pengguna kendaraan bermotor di areal kampus. bahkan dari hari ke hari, jumlahnya kian membeludak, tak terkecuali di kampus dua yang hanya menampung tiga fakultas saja. ini menandakan, penerapan tarif yang seyogyanya dijadikan pembendung mengguritanya jumlah mahasiswa yang membawa kendaraan, tidak memberikan efek sama sekali.
berpijak dari masalah tersebut, penulis berpikir, ada baiknya jika mencari langkah lain yang jauh lebih bijak dan dewasa sebagai cerminan insan keakademisan kita.
misalnya dengan pemberlakuan konsep Bike to Campus. statemen ini, mungkin bagi sebagian besar orang bukanlah hal asing yang baru didengar, namun kebanyakan masih belum menyadari betul arti penting slogan ini.
beberapa alasan penulis menawarkan Boke To Campus sebagai jalan alternativ antara lain.
- bersepeda ke kampus akan menjadikan tubuh lebih sehat.
- tidak menimbulkan polusi (ini juga berperan sebagai bentuk nyata insan akademis yang sadar arti penting menjaga lingkungan agar terhindar dari bencana alam dan mengurangi efek galobal warming)
- tidak membuat kampus bising. banyak dosen dan juga mahasiswa yang merasa terganggu saat proses belajar mengajar berlangsung ketika mendengar kebisingan yang terjadi.
- mengurangnya kesenjangan sosial antar mahasiswa.
dan terakhir, konsep ini haruslah dimulai dari kalangan elite kampus terlebih dahulu. agar menjadi cermin bagi mahasiswanya.
dengan ini semua, segala permasalahan yang melanda kampus akan segera terselesaikan tanpa ada satu pihakpun yang dirugikan.

Selasa, 29 September 2009

Chichi The Champion


Madura panas, ah udah biasa, semua orang udah pada tau, terlebih pada saat kemarau. Hujan yang lama tak turun-turun dari kayangan, menyebabkan panas bermain-main di kisaran 34 derajad celcius. Banyak pohon yang jatuh kerontan karena lama gak mandi, rumput-rumput juga gak berani liar, maunya layu mulu, malah ada yang udah kering sama sekali. makanya banyak orang pada memilih ngeringkuk di dalem rumah, ngadem dari sengatan panas matahari.
Ada yang berbeda siang itu. Gadis berkulit cokelat nyaris hitam, tengah duduk di Poskamling yang letaknya tak jauh dari jalan raya. Berkali-kali matanya celingak-celinguk, barangkali angkot yang tengah dia tunggu-tunggu datang. Namun sudah 30 menit berlalu, angkot yang dia tunggu-tunggu tak juga nampak. Hanya beberapa mobil pribadi dan motor yang terkadang melintas.
Salah dia sendiri juga, kenapa gak minta anterin ke Elban, kakak sepupunya yang sangat baik namun sangat menjengkelkan itu. Tinggal minta anterin ke kecamatan, kan semuanya selesai! Tidak perlu repot-repot jalan kaki dari rumah ke jalan raya yang jaraknya hampir sekilo, nunggu angkot lama-lama sampe kaki kesemutan gini, dan berdesak-desakan dengan pengguna angkot lain yang biasanya masuk sama ayam-ayamnya, bahkan tak jarang sama kambingnya pula, kambing dengan arti sebenarnya! Sungguh sangat memilukan! Namun bagi Chichi, nama gadis itu, ini semua terasa jauh lebih nyaman ketimbang minta tolong sama si Elban.
Bersama Elban sejak baru lahir hingga kini umur Chichi mencapai 19 tahun, sudah cukup baginya untuk mengenal Elban luar dan dalam. baginya si Elban itu adalah lintah darat, atau kalo enggak kapitalis; mempunyai modal yang dibutuhkan, namun sekali kepincut sama modalnya, hati-hati saja kita diperas.
Pernah suatu ketika Chichi ikut lomba kepenulisan sekabupaten. Informasi itu didapatnya dari pak Agus, guru Basindo di sekolahnya. Mendengar penjelasan pak Agus yang bilang bahwa pesertanya sangat sedikit, karena meski skalanya sekabupaten, yang diikut sertakan hanya sekolah-sekolah favorit, udah gitu kategori cowok sama cewek dipisah pula, eh masih ditambah dengan persyaratan umur. Nah langsung tuh semangat 45 Chichi berkobar, optimis bakalan menang. Terlebih saat tema yang Chichi ajukan ke pak Agus direspon dengan sangat baik, sebab masih terkait dengan budaya sebagian kecil masyarakat madura. Bahkan dari saking semangatnya, Elban sampe mau dibelikan sepeda.
” Mau apa ajah, tinggal bilang!”, pongah Chichi.
“ Sombong sih boleh, asal ada yang bisa dibanggakan saja! Lah ini, masuk nominasi juga belom pasti!!!”. Ledek Elban sambil cengengesan.
Sebel banget Chichi, kenapa mesti punya kakak kayak dia, kenapa sejahat dia, dan kenapa gak mau ngasih support sama adeknya pas lagi mau kompetisi, ‘tapi tenang saja, belom tau sih dia gimana sepak terjangku!’, pikir Chichi menyemangati diri. 
Tapi enggak ding, Elban gak sejahat yang dia pikirkan, buktinya Elban yang ngebantuin setiapkali dia ada masalah, misalnya pas nyari referensi tulisannya, membantu ngediksi, bahkan sampe bolak-balik sekolah-rumah-kediaman pak Agus-kantor kabupaten yang jaraknya bukan main.
Singkatnya, pas penentuan nominator, Chichi dipangil ke Kabupaten, beserta seluruh rekannya yang satu sekolah. Bahagianya pas bapak sama ibunya tersenyum melihat Chichi dijemput memakai mobil oleh pihak sekolah. Lalu semua senyum itu hilang ketika dia tahu penjemputan tersebut hanya untuk mendengar ocehan para juri, yang isinya kurang lebih begini “ Kamu salah ngirim, lomba ini hanya untuk program IPA, tentunya temanya berkenaan dengan Ilmu Eksak! Lah kamu malah ngambil Carok, gimana seh???”. Ketus salah seorang disana.
Chichi yakin kegagalan itu bukan karena tulisannya yang jelek, tapi karena kesalahan informasi yang ia dapat, dan orang pertama yang patut disalahkan adalah pak Agus. Dialah yang ngasih info keliru!
Berangkat dari prsoalan pengkambing hitaman itu, berbagai jenis lomba kepenulisan lainnya juga mulai ia ikuti. Mulai dari hadiahnya yang hanya Rp 500.000 hingga Puluhan Juta Rupiah, dari yang skala RT hingga Nasional, dari lomba Puisi hingga lomba Menulis Karya Ilmiyah, semua ia jajaki, namun tak satupun juara yang mampu didapatnya. Maka menunggu dan kecewa adalah bagian dari episode hidupnya yang tak pernah lelah mengitari—halah sok puitis—, hingga sampai pada suatu ketika, ketika sebuah amplop besar bertuliskan ”Kepada Uchie Septriasa”, nama lengkap Chichi sampai di tangnnya. Langsung tuh pikirannya melayang-layang gak tentu arah. Menghayal berada di jakarta, di sebuah Ballroom Hotel berbintang, bersama para petinggi negara yang hendak memberikan penghargaan, dan bertebaran para wartawan untuk televisi maupun surat kabar. Besoknya Headline surat kabar berbunyi” Chichi: Bocah Desa Kelas Metropolitan”. Duh senengnya.
Dan keringat dingin langsung banjir. Hatinya juga dag dig dug, kayak mau pecah. Perlahan dibukanya amplop besar itu, dan didapatinya sebuah kertas tebal berwarna kuning keemasan dengan gambar Burung Garuda di bagian tengah atasnya. Sebuah kalimat dibawahnya tertulis ” Piagam Penghargaan Ini Diberikan Kepada Uchie Septriasa Atas Partisipasinya Mengikuti Lomba Penulisan Bla bla bla...”. sejenak gravitasi bumi terasa berhenti. Dan ” Arghhhhh...!!!”.
”Kegagalan itu pahit” tulisnya di mading sekolah. Lebih pahit lagi ketika Elban banyak komentar, tanya inilah, itulah, siapa yang salahlah, dan lain sebagainya, makanya Chichi kapok minta tolong lagi sama si Elban.
” Duh sayang yah duit dibuang percuma hanya untuk ikutan lomba gak jelas gitu? Ngetik di rental mahal, tambah biaya Print ini itu, gak sedikit lagi jumlahnya, manja banget si panitianya, minta naskahnya dirangkap-rangkap, masih juga harus ngeluarin duit buat biaya pengiriman. Mujur kalau menang, paling tidak, mengobati kerja keras kita, lah kalo sebaliknya??? ”. Sumpah pengen Chichi gunting mulut kakaknya itu. Namun gak tega rasanya. Sesering apapun kakaknya itu mengejek, namun sesering itu pula kakaknya mau menolong, membantu ini itu, terutama sekali perihal kebutuhannya pada alat transportasi. Soalnya Chichi yang sudah segede ini gak bisa naek motor.
Pernah juga Chichi ikut lomba kepenulisan Essai, temanya tentang perkembangan pendidikan di salah satu negara di eropa. Hadiahnya gak tanggung-tanggung dibawa ikut Summer Course ke Eropa, gretongan lagi. Langsung tuh semangat si Chichi kembali berkobar-kobar lagi. Bahkan lebih dari sekedar semangat pejuang 45, tapi semangat para Mujahidin dalam berperang melawan Pasukan Salib.
Berbagai informasi tentang Pendidikan, Lifestyle, Kebudayaan, hari-hari besar, hinga Destinasi Wisata Negara tersebut juga dicari. Mulai dari Media Massa, Browsing Internet hingga bela-belain ke kantor pusat informasi pendidikan negara tersebut di salah satu gedung pencakar langit Lantai 19 di jakarta, juga ditempuhnya demi mendapatkan informasi yang cukup.
Lalu hambatanpun mulai bermunculan. Mulai tata cara pengiriman naskah yang mengharuskan memakai teknologi, sebuah dunia yang masih asing bagi Chichi, hingga berbagai kesulitan lain di dalamnya yang tak kalah ruet ketimban bercocok tanam di desa. Bahkan sebagian besar peserta juga merasakan apa yang Chichi rasakan. Terlihat dari banyaknya pertanyaan dan keluhan kompetitor di situs penyelenggara. Semisal kesulitan mendaftar, kesulitan memasangkan Badge penyelenggara sebagai salah satu prasyarat, hingga kesalahan-kesalahan kecil lainnya.
Dan hal itu justru menjadi cambuk bagi Chichi, sebab semakin banyak orang yang kesulitan ntuk mengikuti kompetisi, semakin sedikit pula kompetitor di dalamnya, ini berarti saingan Chichi juga akan berkurang, jika kompetitor semakin sedikit, ini kan pertanda pintu kemenangan semakin lebar terbuka! Ah Eropa!.
Benar saja, ketika terakhir penutupan lomba, Chichi cek, dari 1000 lebih kompetitor, hanya 300an orang yang masuk seleksi, dan salah satunya Chichi. Thanks God!
Belajar dari kesalahan terdahulu, Chichi tak mau lagi bilang semua usahanya ini pada siapapun, khususnya si Elban, gak mau! Chichi baru akan bilang jika udah mau berangkat ke eropa, ketika sudah Packing, ketika Tiket Pesawat telah berada di tangannya—ngayal ajah!!!—bahkan, Rinta, teman dekatnya juga tidak diberi tahu. Biar surprice!
Maka, menunggu dan terus menunggu masih tetap menjadi tabiatnya. Satu bulan kemudian, pengumuman pemenang telah ada di website penyelenggara, dan... namanya tidak ada. Lalu ia rasakan gagal adalah kata yang akrab dengan kehidupannya, kecewa adalah camilan hidupnya, dan kalah adalah bagian tak terpisahkan darinya. Dia merasa kalah adalah kutukan.
Sempat ia Down dengan tidak mau ikutan lagi kompetisi serupa, namun kegemarannya menulis tak mampu tertutupi hanya karena karyanya kalah mutu ketimbang yang lainnya. Makanya berbagai lomba kepenulisan lainnya juga ia terus ikuti. Ada kenikmatan tersendiri ketika menulis dan tulisannya dibaca orang lain. Dengan atau tanpa penghargaan yang diperoleh. Yah, meski pemenang tetap menjadi impiannya, namanya juga manusia kan, Bo! Dan ia pun terus menulis menulis dan menulis.
” Eh neng, mau ikut tidak???”. kenek angkot membuyarkan lamunannya.
Sejenak dilihatnya jam di pergelangan tangannya, satu jam dia menunggu. ” Yah, tunggu!”. Blingsatan menjawab. Lalu sesegera masuk ke angkot. Dan angkotpun mulai berjalan.
Setengah jam perjalanan, Chichi sampai di kantor pos kecamatan. Pak Herman, petugas pos sangat mengenal Chichi, ini karena tiap kali berkas yang dikirimkan untuk sebuah lomba kepenulisan, dapat dipastikan, Chichilah pengirimnya. Makanya tak usah ditanya untuk apa atau apa isinya, sebab jawabannya pasti ’Lomba’ dan ‘Naskah Tulisan’.
“ Mau dikirim kemana, Neng?”. Tanyanya ramah.
“ Ke Surakarta, pak Herman!”, sembari tersenyum ramah.
” Sendiri? Nak Elban kemana? ”.
“ Sibuk kuliah, Pak!”. Singkatnya. Tolong, tunjukkan keajaibanMu, Tuhan! Bismillah! Doanya dalam hati seraya ngasih amplop tersebut ke pak Herman.
Ditimbangnya amplop tersebut, lalu “ Rp 12.000, neng!”.
Beberapa lembaran uang Chichi hitung dan “ Terimakasih, Pak!”
“Sama-sama, Neng!”.
Lalu Chichi segera keluar kantor pos. Beberapa mobil terlihat berlalu lalang. Hari sudah beranjak sore, perlahan udara mulai hangat. “ Ya Tuhan, kesorean nih, belum bantu-bantu Ibu menyiapkan makanan buka puasa. Apa kata Bapak nanti? “
“ Dasar cewek badung, ngabuburit gak ngajak-ngajak!!!”, sebuah suara mengagetkan Chichi, ternyata Kak Elban. Terkesiap Chichi dibuatnya, lalu segera ia pasan muka innocent dan…
“ Yah kakak, kemana ajah sih dari tadi, tau kakak gak kemana-mana, udah ku ajak ke sini”
“ Kemana?”
“ E …..?”, Bingung menjawab.
“ E….! ah udah, yuk naik, ntar takut kemaleman, kasihan Bibi nunggu kamu kelamaan!”, lalu Chichi naik dan… Brummm…
Di dalam perjalanan, tak banyak perbincangan yang mengalir antara mereka berdua. Tak enak hati rasanya jika Chichi membuka topik. Tapi, bukan Chichi kayanya kalau engak tanya ini itu. cerewet! Terakhir kak Elban yang balik nanya, tanya tentang dalam rangka Chichi ke Kecamatan. Jelas saja Chichi belingsata. Dari semua jenis pertanyaan, tentang ngapain ke kecamatan ini memang yang paling enggak banget. Bakalan ketahuan Chichi ikut lomba lagi. Huffh!!!
“ Kenapa gak jawab, Blekok!!!”, chanda kak Elban lagi. Mau gak mau, akhirnya Chichi cerita juga, mulai lomba kepenulisan, info lomba yang didapetnya, kenapa berangkat ke kecamatan sendiri, hingga terakhir urhat-curhatan mengenai kekecewaannya pas kak Elban bersikap gak apatis sama usahanya itu. Dih, jadi curhat die!
” Kenapa sih, kakak suka banget ngeliat Chichi gak menang?!”
” Suka ajah ngeliatin kamu sengsara!!! Hahahah...!” tertawa cekikikan. Bikin mules sajah neh bocah.
” Dasar, kakak gak bertangung jawab, kakak egois, kakak yang gak lebih baik dari burung kakak tua! Omelannya lebih cempreng dan sumbang ketimbang suara Ibu-bu!!! Argghhh...”. kak Elban hanya tersenyum simpul.
Motorpun sampai di depan rumah. Sesegera kak Elban taruk motornya di garasi samping rumah, dan sesegera menyusul Chichi yang tengah dongkol, lalu berbisik ” Pemenang sejati adalah saat berlapang dada menjadi sikap kita ketika kalah, dan! Dan patang menyerah masih berkobar dalam diri kita, dengan atau tanpa imbalan yang menanti! ”, Chichi terdiam, ” tanpa menjadi juara sekalipun, bagi kakak kamu sudah menjadi pemenang sejati”. Ucapnya seraya tersenyum simpul dan pergi meningalkan Chichi.
Ia tersenyum, ” Kakak...!!!”.

Senin, 24 Agustus 2009

Curhat Tyta


Sore yang cerah, jemari gadis itu tampak piawai menari di atas tuts-tuts keyboard laptopnya, sesekali guratan senyum mengembang dari bibirnya, namun tak jarang ia juga terlihat tengah berpikir, lalu dilanjutkan dengan memencet tuts-tust keyboard lagi. Beberapa burung kenari tampak tengah asyik bersenda di dedahan pohon cemara samping kamarnya. Dan…

Kenalkan namaku Tyta Riyanita, bisa dipanggil Taty, Tyta, Atit, Tatituch, Atit ati atau apalah, yang penting enak diingat, didengar dan diucapkan, semua terserah kamu, nyaman di kamu, nyaman di aku, nyaman di aku, belum tentu nyaman di kamu, hahaha, ngelantur deh, pastinya, perspektif tiap manusia berbeda, seperti nasib tiap insan yang juga beragam.

Well, dari mana ya cerita ini mau dimulai, umh, gimana kalau dengan curhat-curhatan, kan banyak tuh tulisan atau film terkenal yang dimulainya dengan Diary, Cathar atau Agenda gitu, yah siapa tau, tulisan ini nantinya bernasib sama, maka, tanpa mengurangi ketenangan pembaca, aku ambil keputusan dengan curhat! Kue cucur, kueayaknya uenak neh curhat-curhatan!

Bermula pada suatu malam, the worst night ever, setidaknya bagiku, malam dimana semua kerahasiaanku terungkap, dimana identitasku yang sebenarnya terbongkar, malam dimana hujan tengah turun begitu lebatnya, lebih lebat dari kumis pak raden, disertai gemuruh angin, dan kilatan petir yang menjilat langit-langit kota sumenep, malam yang membuat hidupku berubah segalanya.

“ Banget!!!”, ucap si genit Reva sambil meluk-meluk boneka Patricknya, ” gue baner-bener gak nyangka dia kayak gitu!”, imbuhnya.

“ Apalagi gue, secara mukanya cakep! Gak ada dalil dia kayak gitu!”, Reggina ngomporin.

“ Kalo beradu ama burung Jalak, gue yakin si Jalak langsung KO!”, ngompor Reva lagi.

“ Ih si Jalak, Singa ajah gue yakin idzin duluan gak mau ikutan!!! Soalnya dia yakin bakalan kalah!”, Nana menimpali. Yang lain ketawa cekikikan.

“ Ih, gue tersiksa banget tau gak sih, Bo! Gila ajah, suaranya kedenger sampe lantai tiga, Bhu!!!”, Intan anak lantai tiga tak mau kalah, tangannya sibuk nyari kacang di tumpukan Marning, camilan khas Madura.

” Itu mah gak seberapa, lu enak di lantai tiga, lah gue sekamar ma dia!!!”, Mellisa, teman sekamarku yang dari tadi kuperhatikan hanya diam, kini juga ikut nimbrung, ” sumpah deh, mendingan gue denger suara mobil Jazz daripada suaranya!!!”.

“ Ngaco deh!”

“ Gue bener-bener gak bisa bayangin gimana jadinya kalo ntar dia kawin, gimana sengsaranya yak suaminya, gue berani taruhan, tiap malem pasti gak nyenyak tidur”

“ Tau kenapa??? ”

“ Ngoroknya kebangeeetaaannn!!!”, tandas mereka berbarengan sembari tertawa terbahak-bahak.

Yip, itulah sekelumit cuplikan perbincangan anak-anak asrama, kamar 104, kamar yang tak berkamus home sweat home bagiku, surga anak-anak kalo siang—secara si Mellisa suka bawa camilan pas pulang tiap weekend-nya—namun neraka kalo malem, kamarku sendiri.

Diterima di sekolah tersebut, bagiku anugerah dan bencana, atau jalan pemberian terbaik dan terburuk yang pernah Tuhan kasih ke aku, atau,,, sederhananya, dilematis, simalakamis dan penuh polemik.

Sejak tahu kalau aku diterima di sekolah itu, beban berat serta merta kupikul, dari persoalan ngekost atau asrama, kalo kost, tempatnya dimana, anaknya asyik atau nggak, kosannya enak gak, airnya bersih dan lancar gak, dan berbagai hal lainnya, terutama sekali perihal aku bakalan ngekost sama siapa, sebab memilih teman yang mau ngerti kita, nerima kita apa adanya, dan mau menghargai segala kekurangan yang kita punya, sangat sulit dapetnya, sama sulitnya dengan mencari jarum ditumpukan jerami. Sekamar sendiri, kayaknya enggak deh, biaya hidup terlalu mahal buatku. Dengan membawa beban seberat itu, aku akhirnya sekolah juga disana, secara untuk mendapatkan masa depan yang cemerlang memang butuh pengorbanan, dan pengorbanan itu gak cuma bersifat materil. Ya gak, Cint? Makanya, dengan mencoba berpikir positive, bahwa seringkali kejadian yang kita takutkan, kenyataannya tidak terjadi, akhirnya aku capcuz—berangkat—ajah!

* * *

Awalnya sih, memang tidak ada yang curiga dengan kelainan yang aku derita, semua masih di bawah kontrolku, secara, tiap malem, aku bela-belain tidur paling akhir, aku baru tidur ketika anak-anak sekamar udah pada nyanyak, makanya, ihwal ahli ngorok kelas wahid ini tak ada yang tahu. Sempat sih beberapa kali borok ini hampir ketahuan, tepatnya pas Masa Orientasi Siswa. Acara yang full seharian, bikin aku gak kuat lagi nahan lama-lama rasa kantuk. Pengennya abis sholat isya langsung tidur, tapi mau gimana lagi, dari pada kredibilitasku sebagai cewek cakep nyaris tanpa celah dan cacat, ambruk hanya karena ketiduran, duh, ogah deh!!!

Untuk itu, aku mencoba menghilangkan rasa kantukku dengan pergi ke warung depan Asrama, cari kopi atau makanan ringan, lumayanlah buat ngusir rasa kantuk. Heran juga sih sama anak-anak di kamar, kenapa belum tidur, udah seharian dijemur pula, dasar, orang aneh! Pikirku saat itu.

Dan, emang dasar nasibku ajah kali ya yang mujur, pas mau bayar, kata si Ibu malah dibilang udah dibayarin.

“ Sama siapa, Bu?”, tanyaku oneng. Eh, ibunya malah ngelirik cowok cakep yang belakangan diketahui ketua OSIS di sekolah, nah langsung tuh aku bilang makasih.

“ Makasih ya, Kak! Duh jadi gag enak nih!!!”, ucapku salting sambil bawa plastik hitam berisi gorengan. Hihihi, malunya aku, di depan cowok segitu keren bawa-bawa kayak ginian.

“ Sama-sama” ucapnya datar. Ih, jadi pengen lekas-lekas ku embat neh cowok. Udah cakep, bibirnya sedap, sorot matanya uphz, menusuk sampe ke dalem-dalem, bohai pula! Wakakakaka, ngomongin apaan sih?! Tapi sutralah—sudahlah—yang penting aku dapet rezeki lahir batin, dan tentu saja rasa kantukku langsung hilang. Dan, ketika sampai kamar, anak-anak udah pada tiduran. Thanks God!

Dan perjuanganku gak berhenti disitu saja, malam-malam berikutnya aku harus bekerja lebih ekstra lagi, keaktivanku di OSIS, PASKIBRA, PMR, Pramuka dan lain-lain, terlalu banyak menyita waktu santaiku pas waktu siang, makanya kalo malem bawaannya pengen cepet-cepet tidur. Nah untuk menyiasati hal tersebut, aku pura-pura baca buku sebelum anak-anak yang lain pada tidur, meski mataku udah pada seret, tapi, pas inget Demi Kredibilitasku, makanya aku keukeuh dan mencoba terus bersabar.

Tau gak sih apa khasiatnya? Disamping keonengan dan ketelmianku mulai surut, banyak anak-anak di kamar yang bilang salut sama aku, katanya udah aktiv di berbagai organisasi, eh masih sempet juga baca buku, padahal mah...! Nah, inilah yang kupikir sengsara bawa berkah. Hehehe. Namun hal itu enggak bertahan lama. Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga ke tanah, sepandai-pandai kucing mengubur ee’nya, pasti bakalan kecium juga baunya, sebanyak-banyak bang napi makai roll on, pasti amisnya tetep kecium, gak pernah mandi sih!

* * *

Sejak the worst night ever itu, kehidupanku mulai berubah, dimulai dengan mengurangnya anak-anak yang tidur di kamarku, khususnya pas malem hari, bahkan beberapa anak yang memang sekamar denganku, memilih pindah ke kamar sebelah, atau kalo nggak, ke lantai atas. Sungguh sangat menyiksa batin ini. Namun aku mencoba bertahan.

Hal kedua yang bikin aku kecewa berat adalah, saat Mellisa juga memilih bersikap sama dengan yang lainnya. Ku pikir, dia adalah teman yang bisa mengerti aku, bisa menerima aku apa adanya. Namun semua itu Bullshit! Dan aku masih mencoba tetap bertahan.

Hal terakhir yang paling buat aku merana adalah ketika Erick, kapten tim Basket di sekolah, yang merangkap jabatan sebagai pacarku mulai meninggalkanku secara perlahan, mulai jarang ngirim sms, lalu dilanjutkan dengan mengurangnya intensitas pertemuan kami, ketika kukonfirmasi, jawabannya klise; mo latihan! Dan terakhir, kami jalan sendiri-sendiri, meski masih ber-Status Tanpa Hubungan—STH—,belakangan diketahui, penyebabnya karena dia udah tau kalo aku ngorok, entah dari siapa berita itu hingga bisa sampai ke dia, aku gak tahu, dan gak mau tahu, memikirkannya terlalu menyakitkan buatku. Mau tahu gimana ceritanya? Neh omongan dia pas lagi ma anak-anak Basket.

” Cantik sih cantik, tapi kalo tidurnya ngorok, masih ileran pula, mending gue jomblo seumur hidup deh! Syukur kalo ilernya gak muncrat kemana-mana, lah kalo gue yang kena, bau jigong pula, sumpah, ngebayangin ajah bikin gue Ilfeel!”, yip, ntu cuplikannya, sumpah, shocking me bangetz. Sakit banget hati ini pas ngedengernya. Pengen banget ku gorok tuh cowok, udah gitu ku mutilasi, lalu bibirnya yang ember itu ku buang kecomberan biar gak pernah ada lagi orang yang berani ngomong kayak gitu. The second worst day ever yang ku harap become the last. Namun akhirnya aku mencoba menyikapinya lebih bijak dengan mengamininya sebagai hal tebaik yang Tuhan kasih ke aku. Bahwa, jika dia tahu hal ini nanti ketika prosesi pernikahan telah kami jalani, kemungkinan akan ada hal lebih buruk yang akan terjadi.

Jujur, semua ini membuatku bingung, tentang siapa yang patut disalahkan. Aku benar-benar marah, namun juga gak tahu harus marah sama siapa. Ingin sekali aku ngajak teman-teman untuk kembali ke kamar 104, namun aku juga gak tahu harus bilang apa, terlebih setelah ingat kembali bahwa mereka memilih pindah alasannya karena ada aku di kamar ini, karena bersamaku, membuat malam-malam mereka seperti neraka. Sungguh aku malu dibuatnya.

Dalam kebimbangan dan kekalutan itu, akhirnya aku memilih mengalah. Meski masa kontrakku di Asrama masih kurang Enam bulan, namun aku tetap memilih pindah, seperi kataku tadi, baik di kamu, baik juga di aku, baik di aku, belum tentu baik d kamu, makanya aku pasrahkan semuanya pada mereka. Yang terpenting hidupku tidak menjadi beban untuk orang lain.

Sesekali terlintas dalam benakku, gimana jadinya jika ntar gak ada cowok yang suka sama aku, tak pernah ada laki-laki yang akan memakaikan cincin di jari manisku, gimana rasanya jadi perawan tua, gimana sengsaranya ntar pas udah Nini gak ada anak atau cucu yang bakalan ngemandiin, menyuapi, mengajak jalan-jalan di sore hari. So scared!

Lalu hari-hari berikutnya banyak ku lewati dengan teman-teman di OSIS, paling enggak mengurangi intensitas melamunku tentang ngorok. Memikirkan itu semua, bikin aku tambah pikun, depresi, dan penuh beban saja.

* * *

“ Tyta... !“, teriak seorang wanita dari lantai bawah. Lenyap sudah suasana tenang di kamar itu. Beberapa ekor burung yang sedari tadi hinggap di reranting pohon cemara samping kamarnya juga memilih pergi.

“ Ya Ma, ada apa?”, tanyanya acuh, jemarinya masih saja terus mempermainkan tuts-tust keyboard laptopnya. Beberapa boneka Teddy Bear duduk manis di depan buku-buku yang berbaris rapi dalam rak.

“ Kebawah! Nih ada temanmu! Cepat!”, teriak mama lagi. Namun alunan lagu Crush-nya David Archuleta terlalu melenakan hingga ia tak lagi ambil perduli dengan ocehan mama. “ Ih nih anak, dibilangin masih saja mainin laptop! Kebawah gih, tuh ada si Reval! Katanya udah janjian ma kamu bakalan keluar sore ini, ntar dia ngambek lagi!”.

Tyta hanya senyum gak jelas, tangannya masih saja menari-nari, “ Tanggung ma, tinggal dikit lagi nih!”, tandasnya.

“ Memang nulis apaan sih? Serius sekali, sampai-sampai si Reval kamu telantarkan!”, Mama heran.

“ Cerpen, Mah! Mau dikirim”, jawabnya singkat.

“ Kemana?”, buru Mama tak kalah singkat.

“ Panitia Lomba Mengarang Cerpen Remaja-2009 LIP ICE-SELSUN Golden Award! Siapa tau ntar menang, kan mama juga yang bakalan bangga!”.

“ Oh gitu, ya sudah, selesaikan dulu, biar mama yang akan ngobrol sama reval, tapi jangan lama-lama yah, dan jangan lupa nanti kalau sudah mau turun, bawa camilan di dekat freezer!”

“ Sipp, okeh mamaku sayang!”. Dan Tyta terus menulis.

Umhhh, pada akhirnya, semua yang aku takutkan, benar-benar tidak terjadi. Banyak teman yang tetap mau bersahabat denganku, nerima aku apa adanya, bahkan Mellisapun juga mulai akrab lagi denganku, sebab ternyata, mamanya juga memiliki kesamaan denganku, sama-sama suka ngorok. Bener banget tuh yang dikatakan orang bijak, jika ingin mengetahui siapa dirimu, maka lihatlah temanmu! Hihihi.

Terakhir, ternyata cowok yang ketemu aku di warung kopi dulu, dari awal suka sama aku, tepatnya ketika hari pertama MOS dia telah memperhatikanku, namun emang dasar aku yang oneng yah, rezeki durian runtuh di depanku sampe gak tahu. Lalu dia menembaku di pelataran Taman Bunga, pusat kota Sumenep, bahkan meski dia tahu aku ngorok. Awalnya aku enggak mau lagi berpacaran, takut kekecewaan yang dulu sempat kurasakan, kembali terulang, terlebih masa-masa muda seperti kami yang secara pemikiran masih labil, namun akhirnya persepsi itu runtuh ketika Reval bilang tak mau ambil perduli dengan keberadaanku sekarang, “ Sebab aku mencintaimu buka karena, tapi mencintaimu walaupun!”, ucapnya saat itu, sumpah alasan yang bikin aku kelepek-kelepek, pas ku konfirmasi tentang maksudnya, dia menjawab.

“ Aktivis ternyata telmi juga yah!”, candanya, lalu, “ aku mencintaimu bukan karena; karena engkau cantik, karena engkau kaya, karena engkau dari keluarga terpandang, melainkan aku mencintaimu walaupun; walaupun kamu jelek, walaupun kamu miskin, walaupun kamu dari keluarga biasa, dan terpenting walaupun mendengkur tiap kali tidur! Hehehe!”.

“ Jahat!”, ucapku sembari mencubit lengan dan tubuhnya sampe merah-merah.

Namun alasan yang sebenarnya adalah, karena dia juga memiliki kesamaan denganku, sama-sama mendengkur kalau tidur. Well, memang benar banget ungkapan “Lelaki yang Baik untuk wanita yang baik-baik”, begitupun wanita baik, cantik, anggun namun suka mendengkur, tercipta untuk lelaki baik, tampan, kharismatik dan sama-sama suka mendengkur. Dan, kamipun jadian.

Rabu, 22 Juli 2009

asuransi cinta monyet


Brakkk!!! Terdengar suara pintu dibanting keras. Kulihat Chika dateng dengan muka masamnya masuk, lalu segera naik ke lantai atas. Ada yang tak beres pekikku dalam hati. Beberapa hari belakangan memang ada yang berubah dengan Chika. Segera kususul ke atas dan dari celah pintu yang masih sedikit terbuka kulihat Chika tampak sesengukan. Tanpa pamit, aku masuk!

”Wah, ada yang lagi nangis nih???”, kataku membuka pembicaraan, Chika diam.

”Memang ada apa sih???”, masih tetap diam, tak ada reaksi sama sekali.

”Bagi-bagi dong kalau ada masalah!!!”, buruku, tapi chika masih tetap bergeming. Bahkan perlahan dia tambah dalam membenamkan diri di balik selimut.

Beberapa saat berlalu, chika masih tak mau keluar dari selimutnya. Aku juga memilih diam. Menghadapi sodari bungsuku yang tomboy ini memang harus dengan cara yang lain. Dia tak terlalu suka dengan gaya sok care ato apalah yang cendrung girly, katanya sih gak ada kata Letoy di kamus para Rocker! Maka kucoba keluar kamar, sekedar untuk memancingnya berbicara.

”Gue putus sama Rendy!”, ucapnya tanpa membuka selimut. Binggo! Seruku dalam hati. Kuurungkan niat untuk pergi dan mulai duduk di sampingnya.

”Jadi itukah yang membuat rocker kebanggaan kakak ini menangis? Memang kenapa kok bisa putus? Sejak kapan?”

Chika membuka selimut, ” Sejak gue tahu dia mata keranjang, lebih besar dari keranjang mpok salma penjual sayuran ntu! Masak ya sih dia ngemadu gue ma temen karib gue?”

”Ck ck ck..., tragis sekali cerita cinta, loe!!!”, candaku sembari tersenyum ke arah chika, chika memandangiku dalam, lalu juga ikut tersenyum, ”Lalu loe putuskan?”.

”Ya lah,,, kawin ajah gue gak mau dimadu, apalagi pacaran!”.

Thanks God!!! Seruku dalam hati. aku tau ndiri, rendi kayak apa, jadi aku pikir, putus memang adalah hal terbaik. ”makanya, apa dulu gue bilang, pacaran yah cari yang bener, jangan yang asal, ato kalo nggak yah diasuransiin biar hidup loe tak sesengsara ini! Pacaran kok kayak yang beli sayur ajah!”.

”Cinta diasuransikan?, wah menarik tuh, tapi gimana cara kerjanya?”

“ Kayak mesin pabrik ajah pake cara kerja, yah pastinya loe mesti buat komitmen berdua, komitmen tersebut harus mengikat antara satu sama lainnya, agar ntar kalo terjadi apa-apa, ya jadi tanggung jawab bersama”.

” Tapi kan ini hanya cinta monyet, kak? ”, burunya penasaran.

” itulah kenapa penting bagi loe ntuk ngeasurasiin cinta loe, yang cimon ajah bikin loe sakit hati, apalagi cinta sejati? Bisa ajah bukan nangis lagi ntar, tapi game!!!”

Chika mangut, lalu matanya yang sembab penuh air mata disaputnya. Beberapa saat kami terdiam.

Well, apa ajah yang loe lakuin beberapa hari belakangan ini? Jarang banget dirumah! ”

Wild Race! ” jawabnya singkat.

O Em Gi,,, jadi hanya karena cowok sayko ntu loe maen balapan liar? Sarap kali loe yah? Mang gak ada kerjaan laen yang lebih bermanfaat apa? “.

“ Mulae lagi deh ceramahnya, males banget dengernya, udah deh gue pergi ajah!!!”

“ Gak gitu, cuman sayang ajah ntar kalo loe game hanya karena mikirin cowok brengsek yang gak pernah mikirin loe ntu! Ingat, cinta ntu memang penting buat hidup kita, tapi jiwa kita juga lebih penting, buat kita sendiri dan semua orang yang ada di sekitar kita”, ucap gue sok bijak.

“ Jadi mesti pake asuransi juga gitu???”

“ Ya iya lah, masak ya iya dong?! Kalau cinta monyet saja mesti diasuransikan, apalagi hidup kita yang sangat berarti ini?

”Bener-bener males denger omelan gak jelas nih!!! Capcuz ah!!!

”Kemane???”, buruku, takut ntar bunuh diri di kali ciliwung—ngarang ajah—.

”ke AJB Bumiputera, sebelum terlambat!!!”.

hati dan sepotong rembulan


Dingin malam itu. Malam yang tak berbintang, hanya sepotong rembulan

yang mengintip malu dari arakan awan yang memijar di riak air, berkecipak, seolah berdawai, searus hati kami yang tengah mabuk.

Dingin malam itu. Hatiku terpecah, menjadi beberapa bagian, sebagian bergerumun di pojok rongga dada, berkisah tentang dia, sutradara dibalik pecahnya hati ini, sebagian lagi memilih untuk diam, sebagian lainnya sibuk berdebat, mengenai efek dan dampaknya, sebagian lainnya sibuk bersikukuh mempertahankan argumennya, bahwa ini adalah cinta! Maka kurasakan hatiku membentuk blok-blok, antara yang pro dan kontra,ada pula yang memilih abstain.

Dingin malam itu. dia terdiam, sama sepertiku, yang masih bungkam seribu bahasa. Kudengar suara gemeretak di dalam rongga dadanya, sepertinya dia mengalami hal serupa, hatinya terpecah menjadi beberapa bagian, dan beberapa pecahan darinya sibuk mengambil tikar, ngobrol tentang hatinya yang tengah berserakan, sama persis dengan pecahan-pecahan hati lainnya yang tak mau kalah pamer menggelar tikar dan mengobrol sekenanya, sebagian besar lainnya juga membenarkan dugaan beberapa potong hatiku bahwa ini memang cinta.

” Aku yakin ini cinta!!!”, seru seserpih.

“Cinta? Jangan ngaco deh! Mana mungkin ada cinta disini?”, bantah salah satu serpihan hati.

” Kenapa tidak? Cinta muhammad saja datangnya pada wanita berumur separoh lebih tau darinya, kenapa ini kau bilang tak mungkin?”, bantah yang lain.

“ Itu beda kasusnya!”

“ Beda apanya? Lah ini cerita tentang dua orang yang tengah dimabuk asmara, begitupun Muhammad, begitupun cinta semua orang!”, seserpih tak mau kalah.

“Ngaca! Bagaimana dan dengan siapa cinta itu datanganya?!”, dihirupnya udara sejenak, berharap udara jadi lebih nyaman dihirup, namun tetap saja terasa sesak, ” Bapak sama Ibu kamu, Kakek sama Nenek kamu, Om sama Tante kamu, Derry sama Dinda, dan seterusnya!!!”

” Dan aku sama dia!”, ucap seserpih mantap.

” Salah! Bahkan sebelum kamu mencintainya pun, Tuhan telah mengutukmu! Dia murka padamu!”.

” Aku tidak pernah berharap alur cintaku berjalan seperti ini!”

” Kenapa kau tetap berjalan seperti itu?”

” Inilah nikmat Tuhan! Kita memang tak selalu diciptakan sama!”

” Tapi tetap saja ini melawan kodrat!”

Serpihan lainnya yang awalnya tampak tak begitu tertarik memperdebatkan, akhirnya angkat bicara juga, ”mau cinta mau enggak, kenapa kalian yang repot?” berhenti sejenak, ” membina cinta, selaksa hendak menuliskan kata-kata di atas kertas yang masih putih sama sekali, mau kita nulisnya dari kiri ke kanan, boleh, kanan ke kiri, tentu saja, atas ke bawah, kenapa tidak? Ada tulisan Latin, Arab dan China yang bisa kita jadikan acuan!”

” Ini sangat berbeda!”

” Beda apanya?”

” Yah... Beda saja! Tidak bisa diperdebatkan lebih panjang lagi!”

” Perbedaan itu ada dalam jiwamu! Ketika menerima masih menjadi imaji, tentu semua seakan tak selaras! Lihatlah dari mata, hati dan juga jiwamu!”

” Benar itu! ” seru yang lain, ” dimanapun dan pada siapapun cinta itu bersemi, yang mendasarinya pastilah jiwa! Sebab ia yang punya rasa!”, simpul yang lain.

” Dan, siapa sih yang mengajari kita tengtang rasa?”.

Si serpihan hanya terdiam, sama persis denganku yang mash diam, nyaris tanpa suara, bahkan bernafaspun terasa sulit.

Maka dalam perjalanan, tak banyak perbincangan yang mengalir antara kami. Dia terlalu sibuk mengemudi, sementara aku juga hanya terdiam, tak tau kata-kata apa yang harus kuperbincangkan. Ini adalah salah satu penyakit akut yang kuderita, setiap bersama dengan orang yang kusuka, pasti ada alasan lidah untuk kelu. Otak juga tak dapat diajak kompromi untuk sedikit memberikan sumbangsih ide topik pembicaraan agar menciptakan suasana tampak relaks. kami seakan hidup di satu daerah namun dengan dua kutub berlawanan. Aku sibuk dengan duniaku, dan dia juga hidup di dunianya, dan roda motor tetap berjalan. Perlahan kendaraan kami memasuki pelataran flowgard yang memang disulap menjadi parking area. Dan ...

Dingin malam itu, namun keringat mengalir deras di kening dan badanku, pakaian yang aku kenakan ternyata tidak sama dengan dresscode yang memang ditentukan, aku salah kostum! Pekikku dalam hati. lebih malu lagi ketika kudapati perbedaan antara kami dengan semua yang datang, sungguh, andai bisa mengecil laiknya semut, tentu aku akan mesuk ke lubang semut dan baru akan keluar ketika semua orang telah tiada, bahkan serpihan-serpihan hati yang tadi sibuk berdebat, sok supel dan comel juga kini memilih diam, malu yang teramat sangat memaksa mereka untuk pasrah pada nasib... oh tunggu, bukan nasib, keadaan tepatnya! Maka kami merasa seperti dua orang pesakitan, di tengah orang yang pada sehat semua.

Dingin malam itu. malam yang mulai beranjak larut, meninggalkan sepotong demi sepotong kisah kami yang hanya berdurasi 2,5, berbagai macam rasa berkecamuk, antara suka, malu, takut, rindu yang menggebu, hasrat yang bertalu-talu, entah ada tabu atau tidak, pastinya kami terkapar!

Dan, ”Berpeganglah!”, ucapnya sebelum kami meninggalkan flowgard, lalu malam itu aku lupa segala masalah yang tengah ku alami, segala pembeda antara kami, segala pemisah antara kami, segala persoalan yang kami alami, segala jenuh yang telah lama menguntiti kami, dan segala cinta yang dulu terpasung karena ketakutan yang sungguh tidak mendasar. Maka kini aku mulai tak perduli lagi dengan segala masalah yang akan menghadangku kelak, sebab bersamanya, kurasakan semua masalahku hilang, aku juga mulai tak perduli dengan pandangan semua orang tentang cerita cinta antara kami, sebab cinta ini hanya milik kami, bukan orang lain, cinta yang hanya bisa dirasakan antara kami berdua. Tak ada yang tahu, sebab hanya kami yang merasakan.

Dan dingin malam itu, kami terus berjalan, mengitari lorong dingin yang kian gelap, bersama rembulan yang terus beranjak naik.*


* inspired by Orgg Story

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top