Minggu, 22 Maret 2009

Siluet Kisah Cinta di Pesantren

08.19


Siluet Kisah Cinta di Pesantren*
Oleh : ibbi saxera**

Kini aku jatuh cinta.
Perlahan ia masuk memenuhi rongga dadaku halus, mengambil beberapa ruas rongga dadaku paksa, sesak namun penuh sensasi. Tak dapat ku ungkap melalui rajutan kata. Terlalu rumit. Sopan tapi berlagak, sentimentil sekaligus bengis, beradab namun ganas dan halus meski penuh gemuruh. Sungguh aku mabuk dibuatnya berat. Jauh lebih memabukkan daripada cerita Qais dan Laila yang hanya kisah, Romeo dan Juliet yang hanya cerita semata, atau Beauty dan The Beast yang hanya dongeng belaka. Cinta ini nyata. Nyata sama sekali. Sayang, hingga kini aku masih belum punya cukup nyali untuk menjamah rasa darinya melalui spekulasiku, spekulasi yang kerap kujadikan temeng dalam menghadapi persoalan pelik sejauh ini, spekulasi yang kerap kujadikan perisai dalam melindungiku dari bayang ketakutan, sebab perasaan kecil dan kerdil masih terus menyelubungiku kelam, kala bayangannya berkelebat dalam benakku, Kala sosoknya melintas di depanku, kala aku berpapasan dengannya. Sungguh ini baru kurasakan sekarang.
Dia begitu sempurna bagiku. Lebih sempurna dari sosok Natalie Glebova yang mampu menyihir seluruh masyarakat dunia hingga gelar Miss World diraihnya, bahkan mungkin lebih sempurna dibandingkan dengan Bidadari yang menuai ricuh kala Tuhan menceritakannya dalam Al-quran dengan pesonanya yang tiada tara itu. Sungguh ia sempurna bagiku.
Bagiku, segala hal tentangnya sangat menarik. Langkahnya bagai langkah lentik peri-peri kecil yang lemah gemulai, lambaian tangannya selaksa selendang bidadari dari langit yang masih belum pernah dijamah orang sama sekali, senyum dan pandangannya menusuk-nusuk bagai ribuan jejarum, namun sungguh nikmat rasanya. Dan semua itu masih tetap berlangsung saat ini, dan entah hingga kapan. Jujur tersiksa, namun jujur pula kuakui perasaan ini kian membuatku betah berada di area pesantren yang tertutup. Ambigu sekali.
Maaf karena aku mencintaimu
Kulipat tulisan tak berbentuk itu dan lantas kusimpan dalam lembar-lembar buku yang akan kuberikan pada seorang akhwat bernama Inna Fajri, sebagaimana keinginannya meminjam kitab padaku, dan lantas kututup kitab tebal itu untuk selanjutnya kuberikan kitab ini padanya.
* * *
Kupikir ini adalah cinta yang salah. Salah sebab perasaan ini menimpaku. Aku sudah berusaha untuk tidak jatuh cinta terhadap seorang akhwat, setidaknya untuk saat ini, pertimbangannya, disamping aku sebagai Santri senior dan menjadi salah seorang pengajar di pesantren ini, aku juga berperinsip untuk tidak jatuh cinta karena menjalin percintaan hanya akan mengakibatkan pelbagai hal terbengkalai, tak hanya dalam persoalan sosial, akan tetapi juga mempengaruhi intensitasku dalam bercengkrama dengan Tuhanku. Dan tentu saja aku tidak ingin hal ini terjadi padaku.
Awal perasaan ini hadir, kupikir hanyalah perasaan sepintas lalu yang akan menguap hanya dalam hitungan hari, atau setidaknya minggu saja. Euforia terhadap kecantikan seorang wanita kerapkali hadir kala pertemuan pertama, baru berlangsung, selanjutnya ia hilang, lenyap entah kemana. Dan kejadian serupa tidak hanya terjadi dua atau tiga kali, tetapi berkali-kali. Dan kupikir hal tersebut juga akan terjadi antara aku dan dia, bahwa perasaan ini akan segera berlalu dengan sendirinya.
Dua minggu kemudian perasaan itu masih menyisa di celah-celah relung hatiku. Aku mencoba menghapusnya dengan banyak melakukan aktifitas lain yang biasanya jarang sekali kulakukan, seperti silaturahmi ke wali santri yang bermukim di dekat pesantren. Disamping untuk mempererat tali silaturrahmi dengan orang sekitar, kupikir rasa ini mulai mengurang.
* * *
Selama satu minggu ke depan, Ustadz Syafi selaku pengajar di pondok putri akan pergi ke surabaya untuk kepentingan pesantren. Beliau menugaskanku untuk menggantikan beliau mengajar di pondok putri selama beliau berada di surabaya. Awalnya kutolak secara baik-baik permintaan Ustadz syafi dengan berbagai alasan, namun Ustadz syafi enggan menerima terhadap pelbagai alasan yang ku kemukakan, baginya, segala argumen yang kukemukakan terlalu beretorika dan kurang masuk akal. Selanjutnya beliau tidak lagi mau berkomentar banyak dan lantas sesegera masuk ke mobil yang akan mengantarkannya ke terminal pamekasan. Dan aku memilih beringsut, pergi ke pondok yang terletak di sebelah Masjid.
Malam pertama mengajar, kurasakan keringat dingin mengalir deras dari dahi dan di beberapa bagian anggota badanku yang lain. Panas dingin suhu badanku membuatku tidak konsentrasi dengan tema yang kubahas. Entah kenapa, aku juga bingung. Beberapa santri putri terlihat melirikku karena bacaan dan pembahasanku yang tidak konstruktif sama sekali. Namun aku acuh dengan pandangannya.
Pikiranku terbelah menjadi beberapa bagian. Sebagian menginginkan sesegera mungkin keluar dari mushalla yang kurasakan penat ini, sebagian yang lain sibuk mengkonstruk bahasan yang akan kuucapkan, dan satu lagi kukuh memikirkan sosok wanita yang berada di sudut pojok ruangan ini. Sekilas kulihat Inna yang sedang konsentrasi memandangi kitabnya serta sesekali kulihat tangannya menuliskan sesuatu di atas lelembar kitabnya. Sungguh kerudung putih lebarnya membuat sesuatu dalam jiwaku hilang. Ada yang berdesir halus jauh di dalam hatiku.
Kusudahi ajian kitab malam ini dengan pembacaan doa.
Memasuki malam-malam berikutnya, aku semakin tidak kuasa memendam desir-desir aneh ini. Aku berharap sekali ustadz syafi sesegera mungkin kembali dari surabaya. Agar aku bisa bebas dari belenggu yang menderu ini.
Satu minggu kemudian Ustadz syafi datang dari surabaya, aku sendiri yang menjemputnya ke terminal kota pamekasan. Sejak kami di jalan hingga sampai di pondok beliau banyak bercerita mengenai perkembangan pesantren yang harus digalakkan untuk meningkatkan pendidikan pesantren.
Aku merasa baru keluar dari balik jeruji besi.
* * *
Satu bulan lamanya seluruh santri, baik putra maupun putri disibukkan dengan belajar, sebab besok mereka akan menghadapi Ujian Bersama. Sistem penilaian akan naik atau tidaknya ke kelas yang lebih tinggi sangat ditentukan oleh nilai yang bisa didapat, ini berlaku bagi semua mata pelajaran yang kesemuanya memakai kitab kuning semisal Riyadus Sholihin.
Dan kesibukan yang melanda seluruh santri, juga memiliki pengaruh besar terhadap kesibukan para asatidz, tak terkecuali aku yang boleh dikata hanyalah seorang pengurus ecek-ecek.
Setiap malam, aku harus pergi ke pondok-pondok dan memantu santri yang belajar, di samping memberikan penjelasan jika mereka bertanya tentunya. Dan sedikit demi sedikit, ingatanku terhadapnya mulai berkurang, hingga pada akhir semester aku ditugaskan kembali mengajar teater di putri dalam menghadapi program akhirussanah pesantren yang menjadi puncak kenaikan para santri. Tentu saja aku menolak, sebab hal ini hanya akan menyiksaku lebih lama lagi, hal ini hanya akan membuat usahaku untuk melupakannya selama ini sia-sia. Namun untuk kesekian kalinya Ustadz syafi memaksaku untuk melakukan hal ini kembali.
Tema yang kuangkat dalam pementasan malam akhirussanah adalah Jugun Ianfu, wanita-wanita yang dipaksa menjadi pemuas nafsu birahi tentara jepang pada masa kolonial. Sebagian besar para santri sangat antusias dengan tema tersebut. Bagi mereka, seorang wanita harus diangkat derajatnya dengan memberikan penghoramatan terhadap kalangan perempuan.
Hampir tiap hari latihan tersebut diadakan. Ini berarti intensitas pertemuanku dengannya juga semakin meningkat. Jujur semakin kutahu dan kenal siapa sosok inna sebetulnya, semakin kuat pula perasaan ini merongrongi jiwaku. Dan semakin kucengkram perasaan ini agar tidak membengkak, semakin kuat pula rongrongan-nya.
Kini aku kenal dia sebagai sosok muslimah yang sangat istimewa. Ia sangat memegang teguh prinsipnya yang menjadikan islam sebagai pijakannya. Dia tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis, bahkan meski hanya sebatas teman dekat, dia tidak pernah. Dan satu hal lagi yang menjadikan dia lebih istimewa dibandingkan wanita yang selama ini kukenal, dia tidak pernah menatap langsung mata setiap ikhwan termasuk pada aku sendiri. Malu aku dibuatnya, karena status yang aku emban masih belum cukup untuk membuatku berhenti mencintainya.
Satu minggu belajar, para pemerannya sudah sangat paham sekali dengan pelbagai hal yang aku ajarkan. Awal mula latihan ini aku berharap ini cepat berakhir, berharap agar aku bisa segera menjauh dari sosok inna, namun kini aku justru berharap sebaliknya. Aku berharap agar sebisa mungkin berlama-lama berada di dekatnya. Kupikir benteng iman dan takwa yang kubangun kini telah hancur melihat kemilau permata dalam balutan tubuh inna.
* * *
Aku bingung. Haruskah aku mengungkap perasaan ini padanya saat ini. Akankah dia mengerti terhadap maksud yang tersirat dalam surat terselubung ini? Pada akhirnya kuberikan pula buku yang hendak inna pinjam padanya.
" Syukran, insyaAllah akan saya kembalikan sesudah liburan, " ucapnya seraya mengambilnya. Beberapa saat kemudian diapun beringsut pergi setelah sebelumnya mengucap salam.
Ada rasa sesal yang tiba-tiba menyelubung dalam hatiku. Namun segera kubuang jauh-jauh perasaan itu. Aku berharap dia mengerti akan maksudku ini. dan akupun beranjak pergi.
* * *
Gerimis sore ini masih belum menampakkan tanda-tanda akan mereda. Ia masih suka berguguran merambahi dedaun bunga melati yang merambati kawat, yang memang sengaja dibuat agar dapat menutupi beranda pondokku. Kitab yang kubeli sejak pertama kali masuk pesantren ini, beberapa hari belakangan jarang sekali kubaca, bahkan boleh dikata hanya menjadi pajangan belaka. Ini semua karena aku memikirkan persoalan inna.
Beberapa saat yang lalu Ayah inna menemuiku, beliau memohon pamit padaku karena kebetulan ustadz yang lain sedang pergi ke acara walimah di sumenep. Begitu pula bapak kiai. Beliau juga memohonkan pamit atas inna yang tidak bisa melanjutkan sekolah lagi di pesantren ini. Alasannya karena inna akan melanjutkan studinya di Al-Azhar Mesir.
Gejolak perasaan bersalah dan menyesal menghantuiku, membuatku merasakan sengsaranya menjadi orang terbodoh dan tergoblok karena cinta semu. Namun perasaan bersalah ini tak akan dan tak akan pernah merubah keadaan. Inna tetap akan meninggalkan pesantren, dan ini disebabkan ulahku yang tidak tahu malu. Andai waktu bisa kuputar, akan kurobek tulisan itu sebelum kertas itu sampai di tangan inna. Maaf inn...

Ciputat 04 Desember 2008 jam 03.33 AM
* ditulis untuk mengenang kepergian Avicena
** mahasiswa direktur ibbi educare

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Posting Komentar

let's share knowledge! :)

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top