Sabtu, 30 Mei 2009

Lika Liku Lelaki Persimpangan: Sebuah Dilema


“ Ya Tuhan, aku bukanlah orang yang layak masuk surgamu
Namun hamba juga tak kuat menghadapi Neraka Jahanam-Mu”
28 mei 2009 kemarin, ada yang berbeda di depan ruaRata Penuhngan Teater lantai 2 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Meski udara pada saat itu terbilang cukup panas dengan frekuensi 320 cc, namun beberapa mahasiswa tampak tak terlalu memedulikannya, mereka rela mengantre panjang untuk mengisi daftar buku tamu pada sebuah acara di FDK. Memasuki ruangan berkapasitas 150 orang tersebut, sebagian besar kursi telah terisi penuh. Sebuah background bertulis “Biarkan Aku Memilih, Pengakuan Jujur Seorang Gay yang Coming Out”, terpampang rapi di dinding belakang kursi yang berderet rapi di panggung. Beberapa lelaki kemayu yang kemudian penulis ketahui sebagai lelaki Gay, tampak duduk di deretan kursi depan.
Sebagaimana tema yang diangkat, acara yang dikemas dengan seminar dan bedah buku tersebut, memang mengundang beberapa kalangan, semisal KOMNAS HAM, Intelektual Muslim sebagai pembanding, dan tentu saja pembicara dari Our Voice, sebuah komunitas yang bergerak dalam perjuangan Gay. Singkat cerita, ketika memasuki sesi tanya jawab, sebagian besar penanya melayangkan pertanyaan berupa: kenapa menjadi Gay; apa rasanya ketika tahu bahwa anda Gay; bagaimana tanggapan keluarga anda? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya, secara singkat mas Bobbo—pembicara dari Our Voice—menjawab, “biasa saja!” dan selanjutnya dilanjutkan dengan gelak tawa teman-teman yang rata-rata mahasiswa. Selanjutnya disudahi dengan menyatakan bahwa Gay adalah sebuah pilihan. Satu-satunya pilihan yang tersedia dalam hidup mereka. Jika ada pilihan lain untuk menjadi heteroseksual, tentu menjadi hetero akan dipilih. Namun mereka merasa bahagia dengan piliha tersebut.
Berbicara mengenai Gay, pada dasarnya memang bukan isu baru bagi masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia sendiri, bahkan di beberapa kitab agama dan cerita heroik masyarakat Yunani kuno, Gay memang telah ada. Tengok saja kisah kaum Nabi Luth dalam Al-Quran yang dikisahkan mendapat teguran berupa diturunkannya hujan dan bola-bola api sebagai akibat atas penyimpangan yang mereka lakukan, maupun cerita tentang Hercules yang di beberapa buku yang penulis baca menyebutkan, bahwa di samping bercinta dengan lebih 50 wanita dalam semalam, Hercules terkadang bercinta pula dengan sejenis. Cerita tersebut menggambarkan bahwa gay memang telah ada sejak dulu.
Sepanjang sejarahnya, kalangan Gay memang kerap dihadapkan dengan keadaan yang tidak menyenangkan, mulai perlakuan diskriminatif dari masyarakat, negara, bahkan tak jarang perlakuan serupa bersumber dari keluarga sendiri, dan terkadang justru bersikap antipati pada anak atau kerabat yang diketahui memiliki orientasi seksual berbeda dengan masyarakat kebanyakan, terlebih ketika pada tahun 1981-1982, masyarakat di dunia dikejutkan dengan adanya virus yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh pada lima orang Gay berupa penyakit Pneumocystis Carinii Pneumonia atau sakit napas yang disebabkan oleh jamur yang biasanya menyerang paru, di beberapa rumah sakit di Los Angeles California yang belakangan disebut sebagai Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).
Kehidupan gay memang serba dilematis. Di satu sisi, sebagai seorang lelaki, mereka dituntut oleh keluarga dan lingkungan masyarakatnya untuk bersikap dan bersifat laiknya laki-laki kebanyakan yang Hetero, menikah dengan wanita dan memiliki keturunan untuk meneruskan nama baik keluarga, namun di sisi lain mereka enggan untuk melakukan pernikahan, sebab dalam konteks seksual, hasrat mereka akan lebih terbakar justru terhadap sesama jenis.
Tak hanya berhenti di situ saja, dilematika kehidupan kaum Gay juga merambah pada eksistensi mereka di kalangan masyarakat umum. Maka ketika penulis tanya mengenai tujuan utama dari perjuangan mereka yang tak pernah mengenal lelah itu, apakah hanya sebatas pengharapan agar mereka diakui oleh sebagian besar masyarakat, bahwa mereka ada dan bisa hidup normal layaknya kebanyakan masyarakat Hetero, atau justru mengharap yang lebih kongkrit semisal legalisasi pernikahan antara golongan mereka, penyaji menjawab mungkin saja, alasannya, dengan adanya legalisasi pernikahan antar sejenis, akan mengurangi dampak penularan HIV / AIDS, ini karena ketika menikah, setiap pasangan akan terikat satu sama lain sehingga probabilitas ONS atau One Night Stand sebagai pemicu penularan HIV / AIDS dapat ditekan seminimal mungkin.
Masih terkait dengan ihwal HIV/AIDS, secara umum, kalangan ini masih tergolong rentan, sebab anal yang dijadikan media pemuasan hasrat seksual mereka merupakan sumber kotoran kuman dan bakteri, terlebih kulit di dalamnya yang tipis dan tak elastis yang memungkinkan terjadinya luka di dalam anus yang dari luka tersebut, akselerasi masuknya kuman pada sistem organ dalam tubuh akan tumbuh lebih cepat. Hal ini masih ditopang dengan minimnya kesadaran kalangan ini terhadap urgensitas pemakaian kondom sebagai salah satu langkah preventif pengurangan dampak penularan HIV / AIDS.
Banyak orang beranggapan bahwa gay merupakan salah satu penyakit, oleh karenanya harus dibasmi, agar hal serupa tak lagi terjadi dan menjangkiti individu lainnya, bahkan beberapa ulama dan dokter sekalipun berpikir sama, meski dengan argumentasi berbeda sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Namun ada beberapa hal yang agaknya perlu dicatat, bahwa perbedaan nyata antara kalangan Homoseksual dengan Heteroseksual bertumpu pada satu hal, yakni perasaan. Jika Heteroseksual merasa ada hasrat terhadap lawan jenis, baik laki-laki terhadap wanita, maupun sebaliknya, maka Homoseksual justru akan lebih bergairah terhadap sejenis. Sederhananya persoalan perbedaan antara keduanya hanyalah persoalan rasa. Sekedar mengutip pernyataan mas Bobby, siapa yang mengajari kita tentang rasa?
Kompleksitas permasalahan Gay yang ada, nyatanya tidak mampu menekan pembengkakan kuantitas mereka, bahkan dari waktu ke waktu, jumlah mereka terus bertambah. ini menunjukkan, “pembasmian” Gay, bukan merupakan hal yang mudah, bahkan cenderung tidak rasional. Yang terpenting adalah bagaimana cara agar penularan HIV / AIDS dapat ditekan seminimal mungkin agar rentet panjang kasus penyakit mematikan tersebut tak lagi bertambah. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:
- Hindari Seks Bebas. Resiko tertular HIV / AIDS yang disebabkan seks bebas sejatinya tidak hanya terjadi pada kalangan Homoseksual, sebab kalangan Heteroseksual sekalipun dapat terjangkiti, bahkan di beberapa penelitian yang ada menyebutkan, persentase pengidap HIV / AIDS justru lebih banyak bersumber dari kalangan Heteroseksual.
- Hindari ONS. Pemuasan hasrat seksual dengan One Night Stand yang hanya menjadikan Heaving Sexs sebagai tujuannya sangat memungkinkan terjadinya penularan HIV / AIDS. Sebab gay yang demikian, kerap kali hanya berfikir pragmatis dengan mengedepankan kenikmatan sesaat, hingga kesehatan lawan main dikesampingkan.
- Setia terhadap pasangan. Hampir sama dengan poin pertama, setia terhadap pasangan juga efektif untuk mengurangi dampak penularan HIV / AIDS baik bagi kalangan Heteroseksual maupun homoseksual. Ini sangat beralasan mengingat dengan setia terhadap pasangan, segala jenis penyakit menular seks akan lebih mudah dikontrol.
- Jangan Lupa Memakai Kondom. Hasil penelitian yang dilakukan oleh IBBS pada tahun 2007 menyatakan bahwa penggunaan kondom di kalangan Gay masih sangat rendah. Kurangnya kesadaran terhadap pemakaian kondom semakin memperumit persoalan di tubuh kalangan Gay, ini karena kondom merupakan salah satu langkah preventif utama untuk penanggulangan penularan HIV / AIDS.
- Dekat dengan agama. Membaca buku atau kitab keagamaan penulis pikir tidak ada salahnya. Di samping kita diajari untuk membiasakan hidup teratur den mendekatkan diri dengan tuhan, kita juga akan merasakan ketenteraman dalam menjalani hidup. Stigma negatif masyarakat yang kerap membuat depresi, akan tereliminasi, sebab jiwa lebih tertuju untuk berfikir terhadap kodrat tuhan yang telah digariskan. Bukankah perbedaan itu adalah berkah?
Sebagai penutup, pada dasarnya penulis sangat mafhum terhadap lika liku nasib percintaan kalangan Gay. Penulis menilai, cinta itu memang tidak pernah memakai rasio sebagai alat ukur untuk menilai kebenaran cinta itu. Ia datang bersamaan dengan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul ketika kita dekat dengan seseorang yang menurut kita istimewa, bahwa cinta itu memang tak pernah memandang bulu. Namun perlu diingat pula, bahwa HIV / AIDS juga memiliki beberapa sisi persamaan sifat dan sikap dengan cinta. Ia menjangkiti tanpa memandang rasio sebagai tolak ukurnya, tak pernah memandang umur, bisa saja ia menjangkiti manusia segala jenis umur, sehat maupun yang sakit. Maka, setia terhadap pasangan, biasa berprilaku sehat dan tetap memakai kondom ketika melakukan hubungan intim, penulis pikir tak ada salahnya. Bukankah kesehatan jauh lebih penting dari apapun? Selaras dengan ungkapan kalangan Gay yang kerap mengatakan bahwa Gay adalah pilihan, dan hidup sehatpun juga merupakan sebuah pilihan. Maka apa pilihan anda?

Kamis, 30 April 2009

Ketika Holland Menjawab Kebutuhan Global

Membaca buku Rahasia Meede karya E.S.ITO, euphoria berada di tengah perpaduan antara kehidupan Belanda dan Indonesia sangat kental terasa. Setting tempat yang diambil di beberapa lokasi di Jakarta dengan pemakaian tempat-tempat bersejarah, semisal Musium Fatahillah, Bangunan Dasaad Musin dan beberapa bangunan tua lainnya yang arsitektur bangunan masa kolonialnya masih ada, kian menjadikan saya terpesona dengan deskripsi akulturasi dua hal yang berbeda tersebut; Belanda-Indonesia, Barat dan Timur, sebuah perpaduan yang tak ternilai harganya. Semakin terasa menarik membaca buku tersebut ketika imajinasi saya kembali dikoyak-koyak, mengintari masa VOC, lalu revolusi Indonesia hingga pada akhirnya sampai pada zaman sekarang.

Searus dengan berputarnya zaman, Belanda bergerak menjadi sebuah Negara maju yang keberadaannya sangat diperhitungkan di tengah komunitaas global. Namun meski begitu, pemerintah Belanda tidak serta merta menjadi introvert dengan hendak membagi-bagi resep keberhasilannya, sebagai respon atas kebutuhan masyarakat internasional di tengah desakan globalisasi. Sebagai salah satu jalan alternatifnya adalah dengan menjadikan dunia pendidikan sebagai mediatornya.

Apa saja resepnya? Lets describe its!

Semua yang Ala Internasional.

Mencari ihwal yang berbau internasional di Belanda, tentu bukan perkara sulit, terlebih jika ruang lingkupnya terkait dengan Pendidikan. Sentuhan internasional dapat dengan mudah dirasakan dan ditemukan di berbagai sudut daerah di Belanda.

Antra lain, Disediakannya lebih dari 1.400 Program Internasional, yang diperuntukkan bagi masyarakat yang haus keilmuan global. Hal ini masih ditopang dengan kurikulum yang intensif pada level yang lebih tinggi, lebih maju dan diproritaskan pada praktek, sehingga jaminan akan kemampuan peserta didik untuk dapat survive ketika bekerja nantinya tak lagi menjadi angan belaka.

Untuk mempermudah pencapaian cita-cita luhur itu, pemerintah Belanda memakai bahasa inggris sebagai bahasa pengantarnya, agar peserta didik yang datang dari Negara lain yang nota benenya hanya memakai bahasa Inggris sebagai bahasa internasionalnya tidak merasa kesulitan.

Hal lain yang juga masih syarat bau Internasional adalah Kualitas Pendidikan yang Internasional. Ini dapat dilihat dari berbagai pengakuan dunia internasional yang hingga kini masih terus mengalir. Sekedar menyebutkan saja, Utrecht University yang menempati kursi 47 Universitas terbaik di seluruh dunia pada the Shanghai’s Academic Ranking of The world Universities, 90 persen Perguruan Tinggi (PT) di Belanda masuk 200 PT terbaik dunia. Begitu pula tingkat akurasi hasil riset internasional di Belanda yang menempati posisi terbaik di dunia.

Atmosphere Budaya Mahasiswa di Belanda yang juga Internasional.

Menikmati Happines of Gathering dalam dunia nyata, agaknya Belanda yang patut untuk kembali menjawab. Perbedaan jenis kulit, Ras, Agama, Kultur dan lain sebagainya yang ada di seluruh dunia, ada di Belanda. Perbedaan-perbedaan tersebut berbaur dan bersinergi mencipta atmosphere internasional di dunia akademik Belanda.

Dan yang tak kalah penting adalah, Institusi Pendidikan yang juga Internasional.

Pendidikan Internasional telah dikenal di Belanda sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. 11 dari 14 Universitas diantaranya intens terhadap program studi pembangunan, berbasis pada keraj kelompok dalam skala kecil, dan pertukaran budaya antar peserta didik yang datang dari berbagai Negara, difasilitasi oleh pengajar yang secara track record cukup berpengalaman di Negara-negara berkembang. Hal ini akan semakin memperkaya, baik wawasan, keilmuan dan kebudayaan peserta didik, sehingga akan sangat berguna jika bekerja nantinya.

Serba Serbi Lain yang Juga Internasional

Ihwal lain yang juga masih kental aroma internasionalnya adalah. Eksistensi Multikultural di Tengah Masyarakat Belanda. Multikulturalisme tesebut muncul, sebagai buah dari terjadinya akulturasi antara berbagai kebudayaan dan pola tingkah yang dimiliki berbagai jenis masyarakat yang datang dari berbagai Negara, yang pada akhirnya bersinergi di Belanda. Multikultural yang ada tersebut, pada klimaksnya menambah rentet panjang identitas keragaman yang ada di Belanda. Hal ini akan sangat memberikan pengaruh positiv terhadap peserta didik yang menganyam pendidikan di belanda.

Catatan Kecil untuk Indonesia.

Tentu masih segar dalam ingatan kita, ketika beberapa bulan yang lalu, Wakil Presiden Jusuf kalla (JK) bertandang ke Belanda. Diberitakan, Pak JK sempat menyambangi beberapa daerah tempat bongkar muat barang dari dan ke Belanda, beliau sangat terkesan dengan sistem yang diaplikasikan. Efisiensi dan tingkat keamanan yang ada , dinilai patut untuk dijadikan bahan kacaan bagi Indonesia, hal ini sangat beralasan mengingat sistem bongkar muat di banyak pelabuhan yang katanya bertaraf internasional di Indonesia, masih jauh dari standar internasional yang ada. Begitu pula sistem pengairan yang cukup baik, yang ada di Belanda, ini berlandas pada kondisi kota-kota di Indonesia, terlebih Jakarta yang rentan banjir.

Lantas apa konstelasinya dengan sistem pendidikan serba internasional di Belanda serta pendidikan di Indonesia? Tentu sangat erat kaitannya. Globalisasi menjadi hal yang tak mungkin terpisahkan dari kehidupan masyarakat moderen, ia hadir dengan segala efek negativ dan positivnya, Negara yang kuat pasti akan bisa survive, bahkan tidak menutup kemungkinan mampu menguasai pasar. Sementara Negara lemah yang secara pengetahuan masih lemah terhadap kans kancah global dalam sisi progresifitas dan kompetifitas, tidak akan mampu menjadi pemain (subjek), lebih dari itu, ketidak siapan tersebut sangat memungkinkan negara sejenis untuk pasif sama sekali.

Seperti yang sudah diurai di paragraph sebelumnya mengenai keberadaan Belanda yang berperan tak ubahnya miniatur masyarakat global, saya pikir hal ini patut mendapatkan perhatian. Pendidikan yang serba internasional akan membantu peserta didik untuk lebih matang dalam menghadapi globalisasi. Sosialisasi dengan berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda, semisal Negara, Kebangsaan, Agama, Ras, Suku budaya dan seabrek perbedaan lainnya akan memperkaya pengetahuan dan wawasan peserta didik. Oleh karenanya, hal ini akan sangat berguna ketika peserta didik kembali ke tanah air.

Maka, mari belajar di belanda, kenali masyarakat dunia, buka cakrawala berpikir kita, bersaing sehat dengan calon-calon pemimpin bangsa lain di Belanda, untuk kemajuan Indonesia di masa mendatang.

Selasa, 28 April 2009

Ada Aja Alasan Belajar di Belanda

Malu juga sih, pas mau ngomongin alasan-alasan kenapa Belanda cocok untuk dijadikan tujuan belajar, secara, penulis belum pernah menganyam pendidikan di negeri Ratu Beatrix tersebut, ntar dikirain asal lagi, namun demi keinginan kuat untuk merubah rumor menjadi fakta—o em ji, kayak infotainment ajah!—maka, alasan-alasan tersebut patut dikemukakan, agar alasan penguat Belanda sebagai tujuan belajar, tak hanya jadi Gossip belaka!—halah!—.

Apa ajah si alasannya? Neh dia!

Alasan pertama, “sebab Masyarakat Belanda Multikultural”

Enggak ngerasa comfort-kan kalo belajar di tengah lingkungan yang tak sejalan dengan pola pikir kita yang nota benenya berpendidikan? Terlebih jika mereka memilih bersikap apatis bahkan antipatif terhadap kita—biasanya kepergok ama kayak ginian di desa-desa terpencil nun jauh dari peradaban—dengan tanpa alasan yang jelas. Hal tersebut tentu sangat mengganggu proses belajar kita. Sungguh sangat menyebalkan! Dapat nilai –D hanya karena masyarakat yang enggak bisa nerima kita! Banyak kok korbannya, Mbak ku salah satunya!(curhat).

Jika tempat belajarnya adalah Belanda, tentu ceritanya akan berbeda. Masyarakat yang multikulturalis dan sangat open mind di Belanda terhadap segala perbedaan, memungkinkan kita ngerasa comfort untuk belajar dan mengoptimalisasi segala bentuk potensi kita dan ide-ide lainnya dengan berbagai cara tanpa sibuk memikirkan kungkungan mindset masyarakat tradisional lagi—ck ck ck—maka, gak usah ngerasa malu lagi atau ngerasa nggak enak jika pola pikir dan tingkah laku yang kita miliki berbeda dengan kebanyakan orang!

Alasan kedua, “Kualitas Pendidikan yang Beragam”.

Kerapkali ngerasa bingungkan pas pertamakali mau masuk Perguruan Tinggi (PT)? Seabrek alasannya, seperti PT-nya nggak berkualitas, biayanya mahal namun tidak dibarengi dengan kualitasnya, dan pastinya jurusan atau program studi enggak ada yang sejalan dengan pemikiran kita—manja banget, Bhu??? Yang ini cerita pribadi loh!!!—yup alasan-alasan tersebut emang kerap menjadi pengganjal yang gak enak bener rasanya pas mau ngelanjutin studi.

Belanda hadir untuk menjadwab problema tersebut. Pendidikan di Belanda sangatlah beragam. Banyak pilihan yang dapat diambil, tinggal gimana pinter-pinternya kita memosisikan diri.

Meski kuantitas jenis pendidikan di Belanda sangatlah beragam, namun pemerintah Belanda tidak serta merta melupakan kualitasnya, ini dapat dilihat dari pengakuan dunia internasional berupa apresiasi terhadap hasil riset internasionalnya yang menempati peringkat tertingg—uh… bikin ngiler ajah!—.

Alasan ketiga, “sebab Belanda Jantung Eropa”.

Tau kan gimana keadaan eropa? Yap…! Eropa merupakan sebuah benua yang didalamnya terkumpul berbagai perbedaan-perbedaan unik yang nyaris tak dimiliki oleh benua lain di dunia. Mulai dari Negara yang memiliki territorial yang lumayan gede seperti Spanyol, Perancis, Jerman dan Polandia hingga yang paling kecil sekalipun semisal Belgia, Belanda dan juga Slovenia. Tiap Negara memiliki keunikan tersendiri yang hingga kini masih terawat dengan baik, tak mengherankan jika masih saja ada ada perasaan kurang ketika ke eropa hanya bertandang ke satu wilayah saja.

Untuk masalah yang satu ini, agaknya hanya Belanda yang bisa menjawab. Secara, letak geografis Belanda yang berada di tengah-tengah benua eropa, hal ini sangat memungkinkan para pelancong atau pelajar di Belanda untuk menjelajah Negara eropa lainnya—Andrea Hirata sampai ke eropa pertamakali ke Bandara Schipol kan? Enggak tau deh alasanya apa!—, Ke Belgia saja hanya butuh waktu tak lebih dari dua jam dengan kendaraan darat, ini kan sama halnya perjalanan dari Jakarta Selatan ke Jakarta Utara!

Alasan keempat, sebab Biaya Pendidikan di Belanda Relative Murah”.

18.750 Euro—jika di kurs ke Rupiah dengan jumlah per euro 14.000 sama dengan 2.622.500.000 Rupiah—untuk setiap tahun akademik, murah gak tuh? Yang lagi makan di warteg (warung tegal), pasti oreknya pada berguguran, yang lagi makan di Rumah Makan Padang, pasti ilfil (ilang feeling) sama rendangnya, yang lagi makan Sate Madura, pasti tusukannya hampir ketelen—moga ajah gak bener, ntar gue juga yang kena imbas, secara gue orang madura juga!—yukkk…, itu kalo kuliahnya di Leiden, namun tergantung juga sih ama program yang diambil! Lantas gimana dengan PT lainnya? Tentu gak jauh berbeda.

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, nominal tersebut memang bukanlah tergolong sedikit, ini sangat beralasan mengingat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia masih jauh dari memadai. Lantas apa alasan Rp 2.622.500.000 itu dibilang relative murah? Sebab nominal tersebut masih berada di bawah rata-rata biaya pendidikan PT di Negara eropa lainnya, sebab yang akan didapat nantinya pasti sesuai bahkan lebih dari jumlah digit uang yang dikeluarkan.

Alasan kelima, “sebab Belanda Memiliki Atmosphere Budaya Mahasiswa”.

Dari beberapa sumber yang saya baca, komunitas pendidikan di Belanda sangat memberikan perhatian terhadap intensitas peserta didik terhadap masyarakat sekitar. Oleh karenanya atmosphere budaya pelajar di tengah masyarakat yang multikulturalis sangat kental terasa.

Alasan keenam, “ sebab Belanda Menyuguhkan Dunia yang Serba Internasional”.

System pendidikan, Lingkungan, peserta didiknya, dan seabrek ihwal pendidikan di belanda memang tak pernah luput dari bau internasional. Sekedar menyebutkan, Belanda menawarkan program studi berbahasa inggris, hal ini menjadi tonggak dan bahan kacaan Negara lain yang nota benenya tidak menggagas program studi berbahasa inggris. Ini difasilitasi tak lain agar para pelajar yang datang dari berabagai Negara di dunia tidak kesulitan untuk belajar di Negara Tulip tersebut. Hal ini masih ditopang dengan dibukanya program internasional yang hingga kini mencapai lebih dari 1.400 program studi—Nah loe, kurang baik apa lagi sih pemerintah Belanda?—.

Alasan lain dari mahasiswa Internasional yang kuliah di Belanda.

Shenghua Tan (21), China

B in International Business and Management

Studies,

The Hague University of Applied Sciences

Studying in Holland is the best way to access the whole world. The tuition fees are lower

compared to other countries, and you can get a more specialized education. Make sure

you are familiar with Dutch regulations, and then you will have a nice experience in

the Netherlands. As overseas students studying in Holland, we have the responsibility of

being the link between our own country and the Netherlands. Just like Nuffic’s mission:

“Linking knowledge worldwide means bringing people together!”

Alasan terakhir adalah, “Tak Ada Alasan Lagi Untuk Tidak Belajar di Belanda”. Yuk ke Belanda!!!

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top