Kamis, 30 April 2009

Ketika Holland Menjawab Kebutuhan Global

Membaca buku Rahasia Meede karya E.S.ITO, euphoria berada di tengah perpaduan antara kehidupan Belanda dan Indonesia sangat kental terasa. Setting tempat yang diambil di beberapa lokasi di Jakarta dengan pemakaian tempat-tempat bersejarah, semisal Musium Fatahillah, Bangunan Dasaad Musin dan beberapa bangunan tua lainnya yang arsitektur bangunan masa kolonialnya masih ada, kian menjadikan saya terpesona dengan deskripsi akulturasi dua hal yang berbeda tersebut; Belanda-Indonesia, Barat dan Timur, sebuah perpaduan yang tak ternilai harganya. Semakin terasa menarik membaca buku tersebut ketika imajinasi saya kembali dikoyak-koyak, mengintari masa VOC, lalu revolusi Indonesia hingga pada akhirnya sampai pada zaman sekarang.

Searus dengan berputarnya zaman, Belanda bergerak menjadi sebuah Negara maju yang keberadaannya sangat diperhitungkan di tengah komunitaas global. Namun meski begitu, pemerintah Belanda tidak serta merta menjadi introvert dengan hendak membagi-bagi resep keberhasilannya, sebagai respon atas kebutuhan masyarakat internasional di tengah desakan globalisasi. Sebagai salah satu jalan alternatifnya adalah dengan menjadikan dunia pendidikan sebagai mediatornya.

Apa saja resepnya? Lets describe its!

Semua yang Ala Internasional.

Mencari ihwal yang berbau internasional di Belanda, tentu bukan perkara sulit, terlebih jika ruang lingkupnya terkait dengan Pendidikan. Sentuhan internasional dapat dengan mudah dirasakan dan ditemukan di berbagai sudut daerah di Belanda.

Antra lain, Disediakannya lebih dari 1.400 Program Internasional, yang diperuntukkan bagi masyarakat yang haus keilmuan global. Hal ini masih ditopang dengan kurikulum yang intensif pada level yang lebih tinggi, lebih maju dan diproritaskan pada praktek, sehingga jaminan akan kemampuan peserta didik untuk dapat survive ketika bekerja nantinya tak lagi menjadi angan belaka.

Untuk mempermudah pencapaian cita-cita luhur itu, pemerintah Belanda memakai bahasa inggris sebagai bahasa pengantarnya, agar peserta didik yang datang dari Negara lain yang nota benenya hanya memakai bahasa Inggris sebagai bahasa internasionalnya tidak merasa kesulitan.

Hal lain yang juga masih syarat bau Internasional adalah Kualitas Pendidikan yang Internasional. Ini dapat dilihat dari berbagai pengakuan dunia internasional yang hingga kini masih terus mengalir. Sekedar menyebutkan saja, Utrecht University yang menempati kursi 47 Universitas terbaik di seluruh dunia pada the Shanghai’s Academic Ranking of The world Universities, 90 persen Perguruan Tinggi (PT) di Belanda masuk 200 PT terbaik dunia. Begitu pula tingkat akurasi hasil riset internasional di Belanda yang menempati posisi terbaik di dunia.

Atmosphere Budaya Mahasiswa di Belanda yang juga Internasional.

Menikmati Happines of Gathering dalam dunia nyata, agaknya Belanda yang patut untuk kembali menjawab. Perbedaan jenis kulit, Ras, Agama, Kultur dan lain sebagainya yang ada di seluruh dunia, ada di Belanda. Perbedaan-perbedaan tersebut berbaur dan bersinergi mencipta atmosphere internasional di dunia akademik Belanda.

Dan yang tak kalah penting adalah, Institusi Pendidikan yang juga Internasional.

Pendidikan Internasional telah dikenal di Belanda sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. 11 dari 14 Universitas diantaranya intens terhadap program studi pembangunan, berbasis pada keraj kelompok dalam skala kecil, dan pertukaran budaya antar peserta didik yang datang dari berbagai Negara, difasilitasi oleh pengajar yang secara track record cukup berpengalaman di Negara-negara berkembang. Hal ini akan semakin memperkaya, baik wawasan, keilmuan dan kebudayaan peserta didik, sehingga akan sangat berguna jika bekerja nantinya.

Serba Serbi Lain yang Juga Internasional

Ihwal lain yang juga masih kental aroma internasionalnya adalah. Eksistensi Multikultural di Tengah Masyarakat Belanda. Multikulturalisme tesebut muncul, sebagai buah dari terjadinya akulturasi antara berbagai kebudayaan dan pola tingkah yang dimiliki berbagai jenis masyarakat yang datang dari berbagai Negara, yang pada akhirnya bersinergi di Belanda. Multikultural yang ada tersebut, pada klimaksnya menambah rentet panjang identitas keragaman yang ada di Belanda. Hal ini akan sangat memberikan pengaruh positiv terhadap peserta didik yang menganyam pendidikan di belanda.

Catatan Kecil untuk Indonesia.

Tentu masih segar dalam ingatan kita, ketika beberapa bulan yang lalu, Wakil Presiden Jusuf kalla (JK) bertandang ke Belanda. Diberitakan, Pak JK sempat menyambangi beberapa daerah tempat bongkar muat barang dari dan ke Belanda, beliau sangat terkesan dengan sistem yang diaplikasikan. Efisiensi dan tingkat keamanan yang ada , dinilai patut untuk dijadikan bahan kacaan bagi Indonesia, hal ini sangat beralasan mengingat sistem bongkar muat di banyak pelabuhan yang katanya bertaraf internasional di Indonesia, masih jauh dari standar internasional yang ada. Begitu pula sistem pengairan yang cukup baik, yang ada di Belanda, ini berlandas pada kondisi kota-kota di Indonesia, terlebih Jakarta yang rentan banjir.

Lantas apa konstelasinya dengan sistem pendidikan serba internasional di Belanda serta pendidikan di Indonesia? Tentu sangat erat kaitannya. Globalisasi menjadi hal yang tak mungkin terpisahkan dari kehidupan masyarakat moderen, ia hadir dengan segala efek negativ dan positivnya, Negara yang kuat pasti akan bisa survive, bahkan tidak menutup kemungkinan mampu menguasai pasar. Sementara Negara lemah yang secara pengetahuan masih lemah terhadap kans kancah global dalam sisi progresifitas dan kompetifitas, tidak akan mampu menjadi pemain (subjek), lebih dari itu, ketidak siapan tersebut sangat memungkinkan negara sejenis untuk pasif sama sekali.

Seperti yang sudah diurai di paragraph sebelumnya mengenai keberadaan Belanda yang berperan tak ubahnya miniatur masyarakat global, saya pikir hal ini patut mendapatkan perhatian. Pendidikan yang serba internasional akan membantu peserta didik untuk lebih matang dalam menghadapi globalisasi. Sosialisasi dengan berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda, semisal Negara, Kebangsaan, Agama, Ras, Suku budaya dan seabrek perbedaan lainnya akan memperkaya pengetahuan dan wawasan peserta didik. Oleh karenanya, hal ini akan sangat berguna ketika peserta didik kembali ke tanah air.

Maka, mari belajar di belanda, kenali masyarakat dunia, buka cakrawala berpikir kita, bersaing sehat dengan calon-calon pemimpin bangsa lain di Belanda, untuk kemajuan Indonesia di masa mendatang.

Selasa, 28 April 2009

Ada Aja Alasan Belajar di Belanda

Malu juga sih, pas mau ngomongin alasan-alasan kenapa Belanda cocok untuk dijadikan tujuan belajar, secara, penulis belum pernah menganyam pendidikan di negeri Ratu Beatrix tersebut, ntar dikirain asal lagi, namun demi keinginan kuat untuk merubah rumor menjadi fakta—o em ji, kayak infotainment ajah!—maka, alasan-alasan tersebut patut dikemukakan, agar alasan penguat Belanda sebagai tujuan belajar, tak hanya jadi Gossip belaka!—halah!—.

Apa ajah si alasannya? Neh dia!

Alasan pertama, “sebab Masyarakat Belanda Multikultural”

Enggak ngerasa comfort-kan kalo belajar di tengah lingkungan yang tak sejalan dengan pola pikir kita yang nota benenya berpendidikan? Terlebih jika mereka memilih bersikap apatis bahkan antipatif terhadap kita—biasanya kepergok ama kayak ginian di desa-desa terpencil nun jauh dari peradaban—dengan tanpa alasan yang jelas. Hal tersebut tentu sangat mengganggu proses belajar kita. Sungguh sangat menyebalkan! Dapat nilai –D hanya karena masyarakat yang enggak bisa nerima kita! Banyak kok korbannya, Mbak ku salah satunya!(curhat).

Jika tempat belajarnya adalah Belanda, tentu ceritanya akan berbeda. Masyarakat yang multikulturalis dan sangat open mind di Belanda terhadap segala perbedaan, memungkinkan kita ngerasa comfort untuk belajar dan mengoptimalisasi segala bentuk potensi kita dan ide-ide lainnya dengan berbagai cara tanpa sibuk memikirkan kungkungan mindset masyarakat tradisional lagi—ck ck ck—maka, gak usah ngerasa malu lagi atau ngerasa nggak enak jika pola pikir dan tingkah laku yang kita miliki berbeda dengan kebanyakan orang!

Alasan kedua, “Kualitas Pendidikan yang Beragam”.

Kerapkali ngerasa bingungkan pas pertamakali mau masuk Perguruan Tinggi (PT)? Seabrek alasannya, seperti PT-nya nggak berkualitas, biayanya mahal namun tidak dibarengi dengan kualitasnya, dan pastinya jurusan atau program studi enggak ada yang sejalan dengan pemikiran kita—manja banget, Bhu??? Yang ini cerita pribadi loh!!!—yup alasan-alasan tersebut emang kerap menjadi pengganjal yang gak enak bener rasanya pas mau ngelanjutin studi.

Belanda hadir untuk menjadwab problema tersebut. Pendidikan di Belanda sangatlah beragam. Banyak pilihan yang dapat diambil, tinggal gimana pinter-pinternya kita memosisikan diri.

Meski kuantitas jenis pendidikan di Belanda sangatlah beragam, namun pemerintah Belanda tidak serta merta melupakan kualitasnya, ini dapat dilihat dari pengakuan dunia internasional berupa apresiasi terhadap hasil riset internasionalnya yang menempati peringkat tertingg—uh… bikin ngiler ajah!—.

Alasan ketiga, “sebab Belanda Jantung Eropa”.

Tau kan gimana keadaan eropa? Yap…! Eropa merupakan sebuah benua yang didalamnya terkumpul berbagai perbedaan-perbedaan unik yang nyaris tak dimiliki oleh benua lain di dunia. Mulai dari Negara yang memiliki territorial yang lumayan gede seperti Spanyol, Perancis, Jerman dan Polandia hingga yang paling kecil sekalipun semisal Belgia, Belanda dan juga Slovenia. Tiap Negara memiliki keunikan tersendiri yang hingga kini masih terawat dengan baik, tak mengherankan jika masih saja ada ada perasaan kurang ketika ke eropa hanya bertandang ke satu wilayah saja.

Untuk masalah yang satu ini, agaknya hanya Belanda yang bisa menjawab. Secara, letak geografis Belanda yang berada di tengah-tengah benua eropa, hal ini sangat memungkinkan para pelancong atau pelajar di Belanda untuk menjelajah Negara eropa lainnya—Andrea Hirata sampai ke eropa pertamakali ke Bandara Schipol kan? Enggak tau deh alasanya apa!—, Ke Belgia saja hanya butuh waktu tak lebih dari dua jam dengan kendaraan darat, ini kan sama halnya perjalanan dari Jakarta Selatan ke Jakarta Utara!

Alasan keempat, sebab Biaya Pendidikan di Belanda Relative Murah”.

18.750 Euro—jika di kurs ke Rupiah dengan jumlah per euro 14.000 sama dengan 2.622.500.000 Rupiah—untuk setiap tahun akademik, murah gak tuh? Yang lagi makan di warteg (warung tegal), pasti oreknya pada berguguran, yang lagi makan di Rumah Makan Padang, pasti ilfil (ilang feeling) sama rendangnya, yang lagi makan Sate Madura, pasti tusukannya hampir ketelen—moga ajah gak bener, ntar gue juga yang kena imbas, secara gue orang madura juga!—yukkk…, itu kalo kuliahnya di Leiden, namun tergantung juga sih ama program yang diambil! Lantas gimana dengan PT lainnya? Tentu gak jauh berbeda.

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, nominal tersebut memang bukanlah tergolong sedikit, ini sangat beralasan mengingat pendapatan perkapita masyarakat Indonesia masih jauh dari memadai. Lantas apa alasan Rp 2.622.500.000 itu dibilang relative murah? Sebab nominal tersebut masih berada di bawah rata-rata biaya pendidikan PT di Negara eropa lainnya, sebab yang akan didapat nantinya pasti sesuai bahkan lebih dari jumlah digit uang yang dikeluarkan.

Alasan kelima, “sebab Belanda Memiliki Atmosphere Budaya Mahasiswa”.

Dari beberapa sumber yang saya baca, komunitas pendidikan di Belanda sangat memberikan perhatian terhadap intensitas peserta didik terhadap masyarakat sekitar. Oleh karenanya atmosphere budaya pelajar di tengah masyarakat yang multikulturalis sangat kental terasa.

Alasan keenam, “ sebab Belanda Menyuguhkan Dunia yang Serba Internasional”.

System pendidikan, Lingkungan, peserta didiknya, dan seabrek ihwal pendidikan di belanda memang tak pernah luput dari bau internasional. Sekedar menyebutkan, Belanda menawarkan program studi berbahasa inggris, hal ini menjadi tonggak dan bahan kacaan Negara lain yang nota benenya tidak menggagas program studi berbahasa inggris. Ini difasilitasi tak lain agar para pelajar yang datang dari berabagai Negara di dunia tidak kesulitan untuk belajar di Negara Tulip tersebut. Hal ini masih ditopang dengan dibukanya program internasional yang hingga kini mencapai lebih dari 1.400 program studi—Nah loe, kurang baik apa lagi sih pemerintah Belanda?—.

Alasan lain dari mahasiswa Internasional yang kuliah di Belanda.

Shenghua Tan (21), China

B in International Business and Management

Studies,

The Hague University of Applied Sciences

Studying in Holland is the best way to access the whole world. The tuition fees are lower

compared to other countries, and you can get a more specialized education. Make sure

you are familiar with Dutch regulations, and then you will have a nice experience in

the Netherlands. As overseas students studying in Holland, we have the responsibility of

being the link between our own country and the Netherlands. Just like Nuffic’s mission:

“Linking knowledge worldwide means bringing people together!”

Alasan terakhir adalah, “Tak Ada Alasan Lagi Untuk Tidak Belajar di Belanda”. Yuk ke Belanda!!!

Selasa, 21 April 2009

Menerima Perbedaan Cinta



Jika ditanya tentang cinta, tentu saya akan mejawab Abstrak. Abstrak karena hingga kini orang mengangapnya sebagai ihwal yang tak mampu dideskripsikan melalui kata-kata. Abstrak karena mata kaca yang dipakai kerap berbeda antar satu indifidu dengan indifidu lainnya. Meski abstrak adalah kata sifat, namun sifat tersebut mampu menjadi representasi dari substansi cinta. Kadang ia datang penuh suka, penuh cita dan penuh tawa. Namun tak jarang ia juga datang dengan penuh duka, penuh pedih dan penuh airmata. Tak mengherankan jika kedatangannya ditengah masyarakat yang beragam, beragam pula nasibnya. Kadang dipuja karena sama dengan kisah cinta yang dialami masyarakat kebanyakan, atau paling tidak sedikit menyamai kesamaan cerita cinta yang dirasa dan dikarsa oleh maysarakat umumnya. Dan kadang dihujat karena ia datang dengan versi berbeda sama sekali, atau paling tidak sedikit tak selaras dengan kewajaran yang menjadi ukuran masyarakat pada umumnya.

Sepenjang sejarah manusia diciptakan, sepanjang itu pula kisah cinta berbaur dan berasimilasi dengan manusia. Aneka etnis, bangsa, suku dan kultural yang berbeda, menjadikan kisah cinta di masing-masing etnis, bangsa, suku dan kultural yang berbeda tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya. Entah dalam ihwal representasinya ataupun konsepsinya. Baik kisah cinta antara satu kelompok masyarakat tertentu, atau satu kelompok dengan kelompok lainnya. Namun dari sekian banyak hal pembeda, semuanya mengerucut pada satu titik; kasih sayang dan cinta yang mampu tercurah dan dicurahkan.

Masyarakat indonesia yang masih memiliki mindset tradisional, baik pemikiran maupun lifestyle mereka, kerapkali merasa—jika tidak mau dibilang antipatif—kurang suka jika salah satu tetangganya yang masuk kategori cantik atau tampan, bertunangan dengan seseorang yang secara fisik sangat tidak sepadan dengannya, pun juga sebaliknya. Perasaan tidak terima kadang muncul meski kedatangan dan tuntutannya kerap tidak mendasar. Hanya rasa tidak senang saja yang menjadi acuan.

Atupun ketika derajat, entah harta maupun kedudukan di mata masyarakat yang timpang, maka cinta tersebut dirasa dan dipandang sebagai cinta abal-abal yang tak patut untuk direkonstruksi. Sebab realitas mengatakan, di klimaks cerita sejenis, perbedaan-perbedaan tersebut kerap kali mengundang kesalah pahaman dan mungkin juga perselisihan. Oleh karenanya, tanya ”untuk apa mempertahankannya?” tak mampu terjawab.

Pada dasarnya, penilaian masyarakat yang beragam terhadap perbedaan cinta merupakan hal lumrah yang memang telah ada sejak zaman dahulu. Oleh karenanya sangat tidak mungkin jika ini dihilangkan sama sekali dengan cara revolusioner. Terlebih jika pandangan masyarakat yang masih skeptif terhadap perbedaan cinta terkait dengan perbedaan yang melatarinya masih ambigu dari sisi salah benarnya, ini mengakibatkan kian menyulitkan proses identifikasi dan justifikasinya pula.

Namun meski begitu, ada beberapa hal kecil yang saya pikir harus diingatkan terhadap masyarakat. Bahwa perbedaan cinta yang hadir di tengah-tengah masyarakat, entah yang dianggap proporsional karena persamaan historisnya, pun juga kontroversial yang mengundang multipersepsi dan interpretasi dari halayak ramai, penilaiannya haruslah kembali pada substansi cinta itu sendiri. Pemahaman masyarakat akan multi interpretatifitas dan ambiguitasnya substansi cinta, harusnya dijadikan alasan kuat, bahwa ketak selarasan, dapat juga hadir dengan wajah berbeda. Perbedaan disini juga dapat merambah pada bentuk, orientasi dan berbagai aspek lainnya, termasuk seberapa banyak individu mencintai.

Maka, hargailah cinta. Meski ia datang melalui wajah berbeda dengan kita

Senin, 20 April 2009

HI Jurusanku


Ada Apa Dengan HI

Selasa 16 desember kemarin, mahasiswa Hubungan Internasional (HI) di semester I dari kelas A dan B kuliah bersama dalam satu ruangan, yakni Ruangan Theater lantai II Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS). Hal yang menarik perhatian bagi sebagian besar mahasiswa adalah, pada saat sebelum pelajaran dimulai, pak Nazaruddin Nasution, selaku kepala jurusan di HI sempat menyoal ihwal salah seorang mahasiswa yang berhasil menyabet juara pada salah satu lomba penulisan. Beliau sangat responsif akan keberhasilan salah satu anak didiknya dengan memberikan semangat pula terhadap seluruh mahasiswa yang hadir untuk meniru keberhasilannya. Beliau juga menambahkan, agar mahasiswa HI pada khususnya untuk tidak hanya berani berunjuk kebolehan di "kandang" sendiri, melainkan pada ranah yang lebih universal, semisal sekala Nasional atau bahkan Internasional.

Pada dasarnya, kebanggaan akan sesuatu, merupakan hal lumrah yang dapat dirasakan dan diungkapkan oleh tiap individu, toh setiap orang memiliki hak untuk menyatakan rasa, sikap dan pikiran. terlebih jika keberhasilan ini menyangkut milik seseorang yang posisinya sebagai bawahan yang dalam hal ini peserta didik. Sah-sah saja jika seorang dosen memberikan apresiasi, meski hanya sebatas sanjungan belaka.

Menarik untuk disimak, seringkali masyarakat salah persepsi mengenai kwalitas akan suatu hal. Dalam pendidikan misalnya, keberhasilan yang dicapai oleh seorang peserta didik, seringkali dikaitkan dengan lembaga yang menaunginya, atau terhadap kwalitas pengajar yang mendidiknya. Bahwa si peserta didik "mungkin" tidak akan berhasil jika tidak ditangani oleh pengajar yang berkwalitas, bahwa sistem pendidikan yang baguslah, yang menunjang keberhasilannya. Hingga tidak mengherankan jika pada gilirannya nama baik lembagalah yang akan meningkat di mata masyarakat luas. Sementara hal lain, yakni tingkat intelegensia peserta didik, yang pada hakikatnya menjadi sumber utama keberhasilannya, justru dinomor sekiankan.

Secara umum, keberadaan pengajar yang berkualitas dan sistem pendidikan yang cukup baik, memang menjadi menunjang perkembangan intelegensia peserta didik, namun untuk melihatnya dalam konteks realitas, dapat dinilai masih terlalu rancu, oleh karena itu, perlu kiranya kita memakai suatu parameter untuk mengukurnya. Misalnya dengan melihat kwantitas peserta didik yang secara kwalitas masuk pada kategori baik.

Kwalitas sistem, baru akan dikatakan baik jika sistem tersebut mampu mencetak jumlah kwalitas output yang dihasilkan lebih dari separuh jumlah barang yang diproduksi. Ini juga berlaku dalam hal pendidikan. Baiknya sistem pendidikan, akan sangat berpengaruh terhadap kwalitas peserta didik yang dihasilkan. Jika jumlah peserta didik yang berhasil mencapai 95%, atau paling tidak diatas separuh jumlah keseluruhan peserta didik, maka boleh dikata sistemlah yang berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika kwantitas peserta didik yang terpuruk dalam kategori "orang-orang gagal" justru lebih banyak, maka kwalitas tersebut masih patut untuk dipertanyakan. Atau dalam ihwal kwalitas pengajar. Baik buruknya kwalitas pengajar akan sangat berpengaruh terhadap kecakapan dan kecerdasan peserta didik.

Lantas bagaimana dengan HI, jurusan kebaggaan kita ini? Adakah diantara kedua unsur penunjang keberhasilan mahasiswa tersebut yang telah teraplikasi di jurusan tercinta ini? Saya pikir sudah ada, hanya keberadaannya baru sebatas ujung kuku jari kelingking saja. Namun ini patut kita maklumi, mengingat HI merupakan jurusan yang baru berdiri dua setengah tahun yang lalu.

Dalam konteks keberhasilan ini, harus diakui, bahwa kemauan dan daya kompetensi peserta didiklah yang menjadi sumbernya. Hal ini tidak bisa ditampik, sebab salah dua tesis yang telah dipaparkan di pragrap sebelumnya belum ada di jurusan HI ini.

Kembali pada apresiasi tersebut, saya pikir perasaan bangga saja tidak cukup untuk meningkatkan taraf keilmuan, apresiasi yang hanya berbentuk sanjungan ini tidak akan memberikan dampak yang cukup berarti terhadap tingkat intelegensia peserta didik. Lebih dari itu, Perasaan bangga ini, seharusnya dibarengi dengan sikap tanggap terhadap segala kebutuhan mahasiswa yang mampu menunjang daya kreatifitas mereka, setidaknya dalam sarana yang dapat dijangkau oleh jurusan. misalnya dengan menyediakan Koran untuk dibaca oleh mahasiswa, tentunya Koran yang up to date—bukan sisa hari atau tahun kemarin—setidaknya HI sebagai prioritasnya. Bukankah budget yang diturunkan untuk perkembangan HI diatas rata-rata jurusan lain di UIN? Ini penting karena kecerdasan yang dimiliki setiap peserta didik akan lebih cepat akselerasinya pada tahap yang baik jika ditunjang dengan fasilitas yang memadai. Dengan ini, perasaan bangga tersebut akan tidak terasa "memalukan" jika dinikmati oleh pihak atasan, sebab ada usaha yang dilakukannya untuk menuju kesuksesan tersebut.

Terlepas dari kebanggaan yang pada akhirnya hanya berperan sebagai "Nina Bobo" belaka, apresiasi tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai sebuah penghargaan yang baik untuk meningkatkan kecakapan dan nilai kompetensi mahasiswa, ya, kalau dianalogikan dengan nilai Kartu Hasil Studi (KHS), saya pikir nilai "C" sudah cukup untuk mewakilinya.

Kamis, 09 April 2009

Ada Luka Di Pelataran Aqsho


Lelaki berumur dua puluh lima tahunan itu duduk di pelataran masjid Al-Aqsho, masjid yang menjadi transit nabi dalam perjalanannya ke Sidratul Muntaha. Semilir angin bulan desember yang dingin membelai lembut kulit kasarnya, rasa dingin langsung menjalari tubuhnya dan perlahan menusuk hingga bagian terdalam tulangnya yang kokoh.
Dahulu, desember yang dingin, baginya adalah akhir dari sebuah penantian. Penantian panjang selama hampir satu tahun. Desember menjadi saat terpenting dalam hidupnya, sebab desember kerap menjawab mimpi-mimpi malamnya yang kelam. Terlalu berlebihan kiranya menyebutnya, namun itulah yang ia rasakan.
Sejak kecil, Rasheed, nama pemuda itu memang jarang sekali bertemu dan mendapatkan curahan kasih sayang dari orang tuanya, terutama dari Abynya. Saat teman-teman sebayanya bergelayut manja di dekapan Ummi mereka masing-masing, ia hanya melihat nanar nenek tua yang kerap menemani malam-malamnya yang sepi. saat temannya yang lain mulai bermain di taman dekat sekolah bersama Ummi mereka, maka ia hanya meringkuk di kamar sempitnya yang pengap. Saat petir datang di bulan-bulan pancaroba menyambar dahsyat dengan suara yang memekakkan telinga, maka ia hanya bisa menutup mata dalam balutan selimutnya yang kumal. Temannya yang lain berada hangat di dekapan ummi mereka masing-masing. Ia iri melihat keadaan yang sungguh sangat tidak adil itu. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa, langkah kakinya yang hanya dua jengkal tak akan mampu melintasi jarak antara Egypt dan Palestina.
Desember yang dingin, menjadi jawaban ketidak adilan itu. Umminya pulang rutin pada bulan tersebut. Maka Rasheed merasa menjadi satu-satunya anak yang paling bahagia yang pernah ada. Desember yang dingin menjadi saat ia memamerkan pada teman-temannya, bahwa ia juga punya Ummi, bahwa ia juga bisa bergelayut manja, laiknya anak-anak lainnya, dan bahwa senyum juga bisa mengembang dari bocah ingusan seperti dia.
Desember, adalah bulan yang tak ingin ia lewatkan meski hanya sedetik saja. Maka ia pegang erat tangan ummi, maka ia peluk Ummi dengan eratnya, bahkan kadang ia terjaga pada malam hari, hanya untuk memastikan Umminya masih ada. Selanjutnya ia memilih untuk berlindung di dekap hangat Ummi, berlindung dari udara dingin bulan Desember. Dan itu berulang hingga sebulan penuh.
Suatu malam ia bertanya pada nenek, kenapa Umminya lebih memilih tinggal di Palestina, kenapa Ummi tidak memilih untuk tinggal dan hidup bersamanya di Mesir, Nenek hanya menjawab pendek, ” Seringkali tanya tak selalu beriringan dengan jawab, Anakku! ”, jawaban yang terlalu abstrak untuk ditelannya pada saat itu, jawaban yang kelak ia ketahui sebagai imbas ambisi Ummi untuk tetap berada di Gaza karena sikap kukuhnya mempertahankan negara. Jujur ia tidak pernah merasa puas dengan jawaban itu, namun ia lebih memilih diam, menutup mata sembari berharap desember kembali datang esok pagi.
Namun, kehangatan itu telah lama sirna. Kehangatan itu perlahan berubah, meremah dan bermetamorfosis menjadi asap, menguap hilang ditelan dinginnya bulan desember. Desember yang ia harap menjadi dermaga tanya-tanya tak terjawab, justru berubah wujud, menjelma tanya-tanya lain yang kian rumit untuk terjawab.
” Ummi kemana, Nek? ”, tanyanya setelah hampir sehari semalam ia menunggu kedatangan Ummi di beranda gubuk reotnya. Nenek menjawab dengan gelengan pilu. Tragis nasib pertanyan itu, sebab jawaban tak pernah kunjung datang.
Sementara itu, radio setempat kian gencar mengabarkan ihwal invasi serdadu Israel yang kian menggila membombardir kawasan Gaza, nama daerah yang Rasheed ketahui sebagai tempat tinggal Ummi.
Bombardir oleh tank-tank biadab israel itu dikabarkan kian menggila mencari tumbal, tak perduli tua, anak-anak, wabita, mereka tetap memuntahkan lahar laknat itu dengan dalih mencari pejuang Hamas di tanah Anbiya’. Desing desau peluru dan aroma menyengat mesiu kian membubung di langit langit kota, disusul aroma anyir darah yang menggerayang pekat kota Gaza.
Maka sejak saat itu ia tidak pernah lagi merasakan hangat di tengah dinginnya bulan desember. Desember-desember berikutnya lebih sering berujung hampa, dan itu berlanjut hingga saat ini. Ummi dikabarkan telah tewas dalam serangan malam itu.
* * *
Desember yang dingin lima tahun yang lalu.
Rasa kehilangan yang begitu dalam menohok ulu hatinya, mengantarkannya pada negara konflik ini. Meski kabar yang beredar mengatakan, wanita bernama Khadijah, disebut-sebut telah meninggal dalam sebuah serangan di tepi barat beberapa tahun lalu, namun ia masih tetap keukeuh untuk pergi, toh neneknya di Egypt telah meninggal dunia, tak ada alasan lagi baginya untuk tetap tinggal di mesir, tak ada lagi keluarga yang akan menangisinya ketika duka melanda, dan tak ada lagi orang yang perduli terhadapnya.
” Untuk apa hidup, jika tiap saat hanya aroma penjajahan yang terdengar ? ”, ucapan salah seorang ulama di suatu masjid masih segar dalam ingatannya. Ucapan yang mengiringnya untuk bergabung dengan orang-orang terjajah itu. Orang-orang yang tak pernah lelah memperjuangkan kemerdekaan, atau lebih tepatnya tak pernah mengenal lelah berusaha mengambil kembali tanah mereka yang telah dicuri secara terang-terangan itu. Sejak saat itu, ia kerap bersama mereka. Hampir seluruh kegiatan mereka diikutinya. Mereka seakan menjadi keluarga nonbiologisnya.
* * *
Desember yang dingin. Kini saat penantian itu kembali lagi, namun dengan wajah yang berbeda. Beberapa buah bom rakitan dengan daya ledak tinggi membungkus rapat tubuhnya. Bom rakitan yang akan menghancurkan tubuhnya. Tubuh lelaki yang hanya hidup sebatangkara. Seorang sahabatnya mengatakan bangga dengan langkah yang diambilnya, sebab tindakan tersebut dinilai sebagai representasi pengambilan tiket ke sorga, namun benaknya justru berkata lain. Ia malu dengan pelbagai hal yang berkecamuk di hatinya, ia masih bimbang, apakah langkah yang diambilnya kini merupakan wujud nyata dari sebuah jihad, atau justru ini dikarsa tak lebih karena kesendiriannya hidup di dunia fana ini, sebagai pelampiasan atas kekesalannya terhadap serdadu israel. Ah tak tahulah, semakin dalam ia berkutat dengan gejolak batin, semakin membengkak pula rasa bimbang di dalam hatinya..
Waktu telah menginjak angka 21.00. Malam itu ia bersujud begitu lama. Ia merasa bahwa malam ini adalah saat terakhir ia bisa bercengkrama dengan Tuhan. Seusai sholat, ia kembali duduk di pelataran Masjid. Melihat orang-orang yang berlalu lalang. Sirat luka warga palestina yang dalam tak tersamar meski udara dingin mengembun. Puluhan tahun terjajah di negeri sendiri, sungguh menyakitkan.
Ia rasakan ada sesuatu yang meraba pundaknya. Ditolehnya, dan dia dapati sosok wanita, tengah memandanginya lekat. Kerutan di beberapa bagian muka tirusnya menandakan umurnya yang kian menyenja. Namun sorot mata tajamnya tak turut luntur bersama umur dan raganya yang kian merapuh. Matanya yang tajam seakan mampu meruntuhkan tembok besar yang mengisolasi warga palestina. Dia adalah wanita yang kerap ditunggunya kala desember datang, wanita itu adalah Umminya, Ummi Khadijah.
Perlahan rasa rindu yang menggerayang kuat itu mulai berriak. Mencipta kecipak di hatinya yang telah karat oleh rindu tak terperi. Maka air mata itu tak mampu tertahankan lagi, luruh, merembes tak terbedung. Dirangkulnya wanita malang itu. Wanita yang telah kehilangan suami karena serangan israel, saat umurnya baru tujuh bulan dalam kandungan..
Maka desember syarat penantian itu kini terhempas sudah. Dipeluknya wanita tua itu, tubuhnya kurus hanya disisakan sedikit daging oleh kejamnya hidup. Ah, Ummi! Serunya. Lagi-lagi ia merangkul wanita tua yang sangat disayanginya itu. Seakan tak mau kehilangan lagi untuk kesekian kalinya. Lama ia peluk, lepas sudah rasa rindu itu. Tuhan maha mendengar! Kesendirian itu kini terhempas sudah. Mimpi-mimpinya untuk bersua dengan Ummi terjawab sudah.
Namun kini ia sadar kembali, bahwa ajal telah berada di depannya. Ajal itu akan menjemputnya dalam hitungan beberapa menit lagi. Ingin sekali ia mencabut kembali bom yang telah membungkus tubuhnya itu, membuangnya jauh-jauh, atau seandainya bisa, maka ia akan merubah sejarah, merubah keputusannya untuk menhantarkan nyawa dengan inisiatif sendiri, agar ia kembali bersua dengan jawab dari tanya-tanyanya yang lapuk. Namun juntaian kabel yang terkoneksi antar satu dengan lainnya tak mungkin dapat dibuka. Bahkan oleh seorang ahli sekalipun. Bom tesebut memang telah dirancang agar meledak pada jam dan saat tertentu. Jika kabelnya dilucut paksa, maka akan memicu ledakan.
Rasa takut tiba-tiba menggerayangi jiwanya. Ia merasa jiwanya telah terbang, pergi entah kemana, yang tersisa hanya seongok tubuh tak berdaya yang beberapa detik lagi, akan melebur, menjadi serpihan daging tak berarti. Ia merasa malaikat maut telah manari pongah di kepalanya, geram untuk membawanya ke tempat antah berantah sesegera mungkin.
” Ah Tuhanku.... !”, ucapnya lirih.
Ummi kian erat memeluk tubuh putranya yang telah lama tidak bertemu. ”Maafkan Ummi, sayang !”, bisisknya. ” setelah Abymu meninggal, Ummi berjanji untuk tidak membiarkan orang yang Ummi sayangi, mengalami hal yang sama! Alhamdulillah itu terjadi. Ummi sayang padamu, Anakku! ”, tambahnya. Air mata kebahagiaan tak henti-hentinya luruh.
Di persimpangan hidup dan mati itu, Rasheed masih mengimpikan bersua dengan Ummy dan Aby, namun bukan begini caranya.! Hatinya memberontak. Ia mengimpikan bersua di telaga firdaus-Nya, menikmati nikmatnya hidangan yang telah Allah janjikan dalam Al Quran-Nya.
Dalam kegundahan itu, Rasheed memilih beranjak pergi, pergi sejauh mungkin untuk menyelamatkan Ummi. Ia tidak ingin Ummi menjadi korban dari aksi bom bunuh diri yang dikarsanya. Sempat ia menatap tatapan nanar Ummi di tengah kebingungannya. Ada luka yang menggelayuti hati Rasheed. Ummi, maafkan Rasheed! Dan
Boom...! suara ledakan hebat mengguncang kota konflik itu.
Sejenak Ummi memejamkan mata. Ada harap ledakan itu hanyalah mimpi belaka. Teriakan dan tangisan masyarakat yang disusul raunga sirene ambulance memecah dingin bulan desember, menyadarkannya, bahwa peristiwa ini nyata.
Air mata merembes tak terbendung. Entah apa artinya, bangga atau justru miris mendapati realitas yang tak beriring dengan harap.
Esoaknya.
Harian Gaza
Gaza. Sebuah aksi bom bunuh diri kembali terjadi di daerah pemukiman padat penduduk. Dua orang meninggal dan tiga lainnya luka-luka akibat terkena radiasi ledakan bom. Hingga berita ini diturunkan, belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas aksi bom bunuh diri tersebut.

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top