Kamis, 20 Mei 2010

K.H Mohammad Syamsul Arifin: Simbol Kearifan Konsistensi dan Integritas

K.H. Mohammad Syamsul Arifin. Lc, nama lengkapnya, namun lebih suka dipanggil dengan sebutan K.H. Mohammad tanpa embel-embel Lc di belakangnya. Sosok arif, bijaksana dan sangat sederhana, namun dengan kesederhanaan itu pula, banyak orang yang bersimpati atas sikapnya yang banyak menginspirasi orang-orang di sekitarnya, termasuk penulis.

Beliau tinggal di desa Potoan Daya Palengaan Pamekasan, tepatnya di Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Madura, pesantren yang diasuhnya semenjak berpuluh tahun lalu. Dan hingga kini, santri yang mondok tercatat kurang lebih 7.000 orang.

Sesuai dengan gelar yang dipercayakan masyarakat sebagai Pengasuh Pondok Pesantren, aktivitas kesehariannya memang lebih banyak dihabiskan di kawasan pesantren. Semisal menghadiri Jamaah solat subuh, berikut Sholat Fardhu lainnya, mengajar Al-Quran bagi santri yang mendapatkan predikat Mumtaz (memuaskan) dalam membaca Al-Quran setiap paginya, mengajar Kitab ba’da sholat Duha untuk Santri yang sekolah sore,  mengajar kitab ba’da ashar bagi Santri yang sekolah pagi, maghrib dan juga Isya bagi semua Santri, tanpa terkecuali.

Seluruh kegiatan yang ada, beliau lakukan dengan seksama dan istiqomah. Sesibuk dan selelah apapun beliau, selalu saja ada waktu yang diluangkannya untuk bercengkrama dengan para santri. Sebut saja pada suatu maghrib, dimana santri termasuk penulis tengah duduk santai di beranda pondok, “menikmati” pot[1]-an ajian kitab karena bapak Kiai tengah berada di Pulau Jawa, hampir memasuki Isya, mobil yang ditumpanginya datang dan selang beberapa saat, Beliau datang dengan membawa Kitab Tafsir Jalalain, dan Ajian Kitab pun digelar.

Kegiatan lain yang menjadi alasan penulis mengambil sosok ini dalam Words Share Contest adalah karena ketekunan dan kesabaran yang tanpa lelah maupun keluhan dalam mengayomi dan mendidik para santrinya dalam mendidik. Atmosfere ini dapat dengan mudah saya rasakan ketika memasuki bulan ramadhan. Jam 07.00 hingga 12.00 morok[2] kitab tafsir Jalalin satu Juz dan malamnya dari ba’da sholat Tarowih hingga jam 01.00 bahkan lebih morok lagi satu juz juga, kegiatan ini berlangsung hingga kurang lebih lima belas hari hingga kitab tafsir sebanyak dua juz itu hatam sama sekali. Dan itu dilakukan tanpa istirahat, hanya sesekali jeda untuk meregangkan otot. Subhanallah.

Lebih dari itu, tanggung jawabnya terhadap masyarakatpun juga tak pernah kenal alpha. Bencana alam Tsunami yang menimpa Nagroe Aceh Darussalam tahun 2004 lalu misalnya, beliau datang langsung ke Aceh dan membantu saudara-saudara kita yang tengah ditimpa musibah, atau ketika gempa mengguncang Bantul Yogyakarta yang sebagai bentuk bela sungkawanya, beliau wujudkan dengan datang langsung dan membantu mereka, tanpa imbalan sepeserpun. Begitupun ketika saudara-saudara di Palestina kembali diberedel Israel, beliau tak pernah henti-hentinya melakukan Istighosah setiap sholat jamaah, dan berkali-kali melakukan Istighosah Qubro yang melibatkan banyak kiai di Madura.

Maka, adalah wajar jika kemudian sosoknya yang hangat dan selalu memanggil kami, para santrinya dengan sebutan “Anak ku” yang jika diartikulasikan dalam beberapa kata dapat mengandung banyak hal semisal; kehangatan, kasih sayang, mengayomi dan tentu saja membelah dikotomik antara Kiai dan Muridnya pada hubungan yang lebih harmonis sebagaimana Ayah dan Anak, dan tidak lagi kaku seperti yang jamak kita kenal di masyarakat umumnya, dikenal dengan sebutan Kiai Istiqomah karena memang sikap beliau yang tetap menjaga keistiqomahan dalam melakukan beragam ihwal positif dan berguna bagi masyarakat.

Satu hal yang tidak basa saya lupakan ketika sosoknya melintas dalam benak saya adalah sikap arifnya yang begitu tinggi. Beliau selalu menghargai setiap orang, yang datang dari beragam background, mulai dari yang sangat bependidikan hingga yang tidak berpendidikan sama sekali, dari yang tua hingga muda, kaya miskin, dan beragama perbedaan lain tetap saja beliau hargai tanpa perbedaan, bahkan jika diukur dalam bentuk takaran, maka tidak 00,01% pun berbeda. Semuanya tetap disambut hangat, dihargai dan juga di hormati layaknya seorang tamu. Bahkan meski orang yang bertandang memiliki sisi pembeda yang sangat terjal, tetap saja beliau respek.

Namun demikian, sikapnya yang arif, helim, tawadhu’ dan juga baik bahkan terlewat baik untuk ukuran manusia itu juga kerap dijadikan pemanfaatan bagi orang-orang yang tidak suka, atau yang ingin menjadikan beliau batu loncatan saja untuk mendapatkan suara ketika hendak pemiihan umum atau dalam rangka tertentu yang hendak digelar mengingat suara yang dapat dikumpulkannya.

Gonjang-ganjing pemilihan Bupati di kota Pamekasan menjadi sejarah bernoktah dalam kehidupan beliau, bahkan lebih dari itu, kejadian ini dapat dikatakan menjadi  sejarah hitam dalam keikut sertaan para Ulama di kabupaten ini dalam ranah politik, sebab gonjang-ganjing politik yang mengakibatkan banyak Ulama berselisih pendapat hingga banyak kata-kata yang sangat tidak pantas sekali diucapkan, terlontar dari kalangan mercusuar ilmu keagamaan ini.

Dalam kondisi yang tidak menentu, dan dalam fitnah yang terus merajalela menyangkut beliau, banyak santri dan alumni yang merasa gemas bahkan naik pitam terhadap kaum elit parpol, gemas karena banyak ketimpangan antara realitas dan diskursus yang terjadi, dan tentu saja naik pitam karena semua fitnahan yang diarahkan pada beliau tidak benar sama sekali. Namun seperti halnya ranah politik yang jamak kita kenal dengan istilah ruangan tak bertuan dimana kebenaran menjadi hal yang mahal harganya, sementara spekulasi-spekulasi, baik yang mendasar maupun tanpa, terus saja merajalela, para santri terjerembab dalam pusaran politik yang kian memanas. Sementara itu, bapak Kiai sendiri memilih bersikap tabah, dan tetap Istiqomah dengan keseharian beliau, seperti tidak pernah terjadi sesuatu apapun.

Memikirkan beliau, penulis menjadi kasihan dan semakin sayang, kasihan karena kesalahan yang tidak pernah dibuatnya dilimpahkan kepadanya, dan sayang karena orang yang saya jadikan panutan, sungguh dan benar-benar layak menjadi panutan, baik bagi saya sendiri maupun semua orang. Sungguh saya ingin menangis dan memeluknya ketika memikirkan kondisi beliau pada saat itu. Namun Alhamdulillah di kemudian hari, banyak masyarakat yang semakin bersimpati pada beliau, bukan karena ternyata fitnahan yang dilontarkan kepadanya tidak benar adanya, bukan juga karena keistiqomahan atau kearifan beliau dalam mensikapi problematika, melainkan lebih karena keluasan hati yang dimilikinya hingga beliau tidak lantas reaksioner dalam menghadapi masalah yang tak hanya sekedar pelik itu.

Hal yang mengsinspirasi saya hingga saat ini adalah bagaimana menjadi seorang pemimpin arif yang mengetahui sekaligus memahami kapasitas para anggota atau orang yang dipimpinnya, sehingga kita menemukan cara untuk menghadapi sekaligus menyelesaikan problematika yang tengah terjadi. Disamping itu, juga pelajaran yang penting yang saya dapat dari beliau juga kesemangatan untuk melakukan perbuatan baik, sekecil apapun yang bisa kita lakukan untuk masyarakat, kapan pun dan dimana pun.




[1] Libur. Bahasa Madura yang jamak dikenal sebagai libur untuk belajar Kitab

[2] mengajar

Birokrasi Renumerisasi Ala Indonesia




Jika jamak dikenal oleh masyarakat dunia bahwa Reward (ganjaran) baru didapat setelah seseorang melakukan hal hebat atau luar biasa dan membanggakan, maka tidak dengan indonesia.

Belum jelas kasus Bank Century yang beberapa bulan belakangan menggoyang pemerintah cukup hebat, kini pemerintah kembali tertampar dengan goyangan maut Gayus Tambunan,  si markus (makelar kasus) pajak Rp 28 miliar. Dikatakan tamparan cukup keras, karena lembaga-lembaga pemerintah yang dari dulu dikenal sebagai lahan basah para koruptor, semisal ditjen pajak dan bea dan cukai, tengah gencar-gencarnya menyuarakan reformasi birokrasi.

Kasus tersebut terbongkar ketika mantan Komjen Polri Susno Duadji membeberkan bahwa di lembaga perdialan di negeri ini banyak markusnya. Meski pada awalnya kepolisian membantah ucapan Susno, namun toh hanya selang beberapa waktu, itu terbukti dengan pengakuan Gayus, PNS Golongan III A, pasca penangkapannya di Singapura oleh tim gabungan Mabes Polri dan satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

Akibatnya, banyak institusi pemerintah yang menindak aparat masing-masing. Kementrian Keuangan misalnya, telah menon-aktifkan atasan Gayus di Direktorat Keberatan dan Banding Dirjen Pajak, dan Polri sendiri, yang awalnya ngotot tidak ada markus di tubuh institusi Polri, juga turut mengambil sikap dengan menetapkan beberapa perwira menengah dan tingginya sebagai tersangka.

Masih banyaknya koruptor yang berkeliaran di lembaga-lembaga pemerintah, disebut-sebut sebagai implikasi dari minimnya gaji yang didapat oleh PNS, karenanya, banyak dari mereka yang mengambil jalan pintas dengan menyelewengkan posisi. Sehingga karena alasan itu pula, perlu diadakan renumerisasi atau penjumlahan—kenaikan tepatnya—ulang gaji karyawan.

Pada dasarnya, penulis pikir bahwa renumerisasi adalah hal wajar, tentu selagi langkah tersebut diambil memiliki alasan yang cukup rasional, artinya, kenaikan gaji di sini, memiliki dasar yang kuat. Misalkan kenaikan gaji diberikan jika seseorang maupun kelompok yang telah melakukan hal membanggakan, atau target yang hendak di capai mampu teralisasi. Maka wajar jika kemudian gaji dinaikkan. Ini disamping berfungsi sebagai reward atas kinerja mereka, ini juga akan berimplikasi lebih pada psikologi pekerja, membuat mereka lebih rajin dan tentunya dapat mengurangi beban hidup mereka.

Namun jika komparasinya adalah renumerisasi dan banyaknya koruptor, maka, dilihat dari sudut pandang manapun, komparasi ini tidak memiliki keterikatan dan keterkaitan satu sama lainnya. Renumerisasi dan koruptor adalah dualisme yang sangat berbeda.

Sebagai contoh, lihat saja banyaknya indifidu yang tersandung kasus korupsi, dari kalangan apa mereka datangnya? Bukankah banyak dari mereka yang datang dari institusi yang sejatinya menggaji anggotanya dengan nominal yang tidak sedikit? Ini membuktikan bahwa renumerisasi bukanlah alasan logis pengkambing hitaman banyaknya kasus korupsi di negeri ini.

Idealnya, kinerja diperbagus dulu, baru memikirkan kenaikan gaji. Bahkan kenaikan akan menjadi hal wajib jika kinerja masuk pada kategori memuaskan, lah ini, kerja saja belum becus, malah keburu melakukan renumerisasi.

Alih-alih menaikkan kinerja pegawai dan mengurangi tindak korupsi di instansi pemerintahan, kasus korupsi justru kian mudah kita temukan di kolom-kolom media di negeri ini. Jangan-jangan wacana reformasi birokrasi hanya sebatas wacana saja untuk menambah digit gaji.

Tidak kah kita cukup merasa malu dengan hasil survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC), lembaga survey berkantor di Hong Kong yang melakuka survey kepada para investor dan menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup nomor I se-Asia Tenggara?

Jika sudah begini, slogan Apa Kata Dunia agaknya harus dirubah menjadi Apa Kata Dunia dan Akhirat?




[1] Ketua Umum FKMSB dan Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Jakarta

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top