Sabtu, 30 Mei 2009

Lika Liku Lelaki Persimpangan: Sebuah Dilema

03.56


“ Ya Tuhan, aku bukanlah orang yang layak masuk surgamu
Namun hamba juga tak kuat menghadapi Neraka Jahanam-Mu”
28 mei 2009 kemarin, ada yang berbeda di depan ruaRata Penuhngan Teater lantai 2 Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Meski udara pada saat itu terbilang cukup panas dengan frekuensi 320 cc, namun beberapa mahasiswa tampak tak terlalu memedulikannya, mereka rela mengantre panjang untuk mengisi daftar buku tamu pada sebuah acara di FDK. Memasuki ruangan berkapasitas 150 orang tersebut, sebagian besar kursi telah terisi penuh. Sebuah background bertulis “Biarkan Aku Memilih, Pengakuan Jujur Seorang Gay yang Coming Out”, terpampang rapi di dinding belakang kursi yang berderet rapi di panggung. Beberapa lelaki kemayu yang kemudian penulis ketahui sebagai lelaki Gay, tampak duduk di deretan kursi depan.
Sebagaimana tema yang diangkat, acara yang dikemas dengan seminar dan bedah buku tersebut, memang mengundang beberapa kalangan, semisal KOMNAS HAM, Intelektual Muslim sebagai pembanding, dan tentu saja pembicara dari Our Voice, sebuah komunitas yang bergerak dalam perjuangan Gay. Singkat cerita, ketika memasuki sesi tanya jawab, sebagian besar penanya melayangkan pertanyaan berupa: kenapa menjadi Gay; apa rasanya ketika tahu bahwa anda Gay; bagaimana tanggapan keluarga anda? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya, secara singkat mas Bobbo—pembicara dari Our Voice—menjawab, “biasa saja!” dan selanjutnya dilanjutkan dengan gelak tawa teman-teman yang rata-rata mahasiswa. Selanjutnya disudahi dengan menyatakan bahwa Gay adalah sebuah pilihan. Satu-satunya pilihan yang tersedia dalam hidup mereka. Jika ada pilihan lain untuk menjadi heteroseksual, tentu menjadi hetero akan dipilih. Namun mereka merasa bahagia dengan piliha tersebut.
Berbicara mengenai Gay, pada dasarnya memang bukan isu baru bagi masyarakat dunia, tak terkecuali Indonesia sendiri, bahkan di beberapa kitab agama dan cerita heroik masyarakat Yunani kuno, Gay memang telah ada. Tengok saja kisah kaum Nabi Luth dalam Al-Quran yang dikisahkan mendapat teguran berupa diturunkannya hujan dan bola-bola api sebagai akibat atas penyimpangan yang mereka lakukan, maupun cerita tentang Hercules yang di beberapa buku yang penulis baca menyebutkan, bahwa di samping bercinta dengan lebih 50 wanita dalam semalam, Hercules terkadang bercinta pula dengan sejenis. Cerita tersebut menggambarkan bahwa gay memang telah ada sejak dulu.
Sepanjang sejarahnya, kalangan Gay memang kerap dihadapkan dengan keadaan yang tidak menyenangkan, mulai perlakuan diskriminatif dari masyarakat, negara, bahkan tak jarang perlakuan serupa bersumber dari keluarga sendiri, dan terkadang justru bersikap antipati pada anak atau kerabat yang diketahui memiliki orientasi seksual berbeda dengan masyarakat kebanyakan, terlebih ketika pada tahun 1981-1982, masyarakat di dunia dikejutkan dengan adanya virus yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh pada lima orang Gay berupa penyakit Pneumocystis Carinii Pneumonia atau sakit napas yang disebabkan oleh jamur yang biasanya menyerang paru, di beberapa rumah sakit di Los Angeles California yang belakangan disebut sebagai Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).
Kehidupan gay memang serba dilematis. Di satu sisi, sebagai seorang lelaki, mereka dituntut oleh keluarga dan lingkungan masyarakatnya untuk bersikap dan bersifat laiknya laki-laki kebanyakan yang Hetero, menikah dengan wanita dan memiliki keturunan untuk meneruskan nama baik keluarga, namun di sisi lain mereka enggan untuk melakukan pernikahan, sebab dalam konteks seksual, hasrat mereka akan lebih terbakar justru terhadap sesama jenis.
Tak hanya berhenti di situ saja, dilematika kehidupan kaum Gay juga merambah pada eksistensi mereka di kalangan masyarakat umum. Maka ketika penulis tanya mengenai tujuan utama dari perjuangan mereka yang tak pernah mengenal lelah itu, apakah hanya sebatas pengharapan agar mereka diakui oleh sebagian besar masyarakat, bahwa mereka ada dan bisa hidup normal layaknya kebanyakan masyarakat Hetero, atau justru mengharap yang lebih kongkrit semisal legalisasi pernikahan antara golongan mereka, penyaji menjawab mungkin saja, alasannya, dengan adanya legalisasi pernikahan antar sejenis, akan mengurangi dampak penularan HIV / AIDS, ini karena ketika menikah, setiap pasangan akan terikat satu sama lain sehingga probabilitas ONS atau One Night Stand sebagai pemicu penularan HIV / AIDS dapat ditekan seminimal mungkin.
Masih terkait dengan ihwal HIV/AIDS, secara umum, kalangan ini masih tergolong rentan, sebab anal yang dijadikan media pemuasan hasrat seksual mereka merupakan sumber kotoran kuman dan bakteri, terlebih kulit di dalamnya yang tipis dan tak elastis yang memungkinkan terjadinya luka di dalam anus yang dari luka tersebut, akselerasi masuknya kuman pada sistem organ dalam tubuh akan tumbuh lebih cepat. Hal ini masih ditopang dengan minimnya kesadaran kalangan ini terhadap urgensitas pemakaian kondom sebagai salah satu langkah preventif pengurangan dampak penularan HIV / AIDS.
Banyak orang beranggapan bahwa gay merupakan salah satu penyakit, oleh karenanya harus dibasmi, agar hal serupa tak lagi terjadi dan menjangkiti individu lainnya, bahkan beberapa ulama dan dokter sekalipun berpikir sama, meski dengan argumentasi berbeda sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Namun ada beberapa hal yang agaknya perlu dicatat, bahwa perbedaan nyata antara kalangan Homoseksual dengan Heteroseksual bertumpu pada satu hal, yakni perasaan. Jika Heteroseksual merasa ada hasrat terhadap lawan jenis, baik laki-laki terhadap wanita, maupun sebaliknya, maka Homoseksual justru akan lebih bergairah terhadap sejenis. Sederhananya persoalan perbedaan antara keduanya hanyalah persoalan rasa. Sekedar mengutip pernyataan mas Bobby, siapa yang mengajari kita tentang rasa?
Kompleksitas permasalahan Gay yang ada, nyatanya tidak mampu menekan pembengkakan kuantitas mereka, bahkan dari waktu ke waktu, jumlah mereka terus bertambah. ini menunjukkan, “pembasmian” Gay, bukan merupakan hal yang mudah, bahkan cenderung tidak rasional. Yang terpenting adalah bagaimana cara agar penularan HIV / AIDS dapat ditekan seminimal mungkin agar rentet panjang kasus penyakit mematikan tersebut tak lagi bertambah. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:
- Hindari Seks Bebas. Resiko tertular HIV / AIDS yang disebabkan seks bebas sejatinya tidak hanya terjadi pada kalangan Homoseksual, sebab kalangan Heteroseksual sekalipun dapat terjangkiti, bahkan di beberapa penelitian yang ada menyebutkan, persentase pengidap HIV / AIDS justru lebih banyak bersumber dari kalangan Heteroseksual.
- Hindari ONS. Pemuasan hasrat seksual dengan One Night Stand yang hanya menjadikan Heaving Sexs sebagai tujuannya sangat memungkinkan terjadinya penularan HIV / AIDS. Sebab gay yang demikian, kerap kali hanya berfikir pragmatis dengan mengedepankan kenikmatan sesaat, hingga kesehatan lawan main dikesampingkan.
- Setia terhadap pasangan. Hampir sama dengan poin pertama, setia terhadap pasangan juga efektif untuk mengurangi dampak penularan HIV / AIDS baik bagi kalangan Heteroseksual maupun homoseksual. Ini sangat beralasan mengingat dengan setia terhadap pasangan, segala jenis penyakit menular seks akan lebih mudah dikontrol.
- Jangan Lupa Memakai Kondom. Hasil penelitian yang dilakukan oleh IBBS pada tahun 2007 menyatakan bahwa penggunaan kondom di kalangan Gay masih sangat rendah. Kurangnya kesadaran terhadap pemakaian kondom semakin memperumit persoalan di tubuh kalangan Gay, ini karena kondom merupakan salah satu langkah preventif utama untuk penanggulangan penularan HIV / AIDS.
- Dekat dengan agama. Membaca buku atau kitab keagamaan penulis pikir tidak ada salahnya. Di samping kita diajari untuk membiasakan hidup teratur den mendekatkan diri dengan tuhan, kita juga akan merasakan ketenteraman dalam menjalani hidup. Stigma negatif masyarakat yang kerap membuat depresi, akan tereliminasi, sebab jiwa lebih tertuju untuk berfikir terhadap kodrat tuhan yang telah digariskan. Bukankah perbedaan itu adalah berkah?
Sebagai penutup, pada dasarnya penulis sangat mafhum terhadap lika liku nasib percintaan kalangan Gay. Penulis menilai, cinta itu memang tidak pernah memakai rasio sebagai alat ukur untuk menilai kebenaran cinta itu. Ia datang bersamaan dengan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul ketika kita dekat dengan seseorang yang menurut kita istimewa, bahwa cinta itu memang tak pernah memandang bulu. Namun perlu diingat pula, bahwa HIV / AIDS juga memiliki beberapa sisi persamaan sifat dan sikap dengan cinta. Ia menjangkiti tanpa memandang rasio sebagai tolak ukurnya, tak pernah memandang umur, bisa saja ia menjangkiti manusia segala jenis umur, sehat maupun yang sakit. Maka, setia terhadap pasangan, biasa berprilaku sehat dan tetap memakai kondom ketika melakukan hubungan intim, penulis pikir tak ada salahnya. Bukankah kesehatan jauh lebih penting dari apapun? Selaras dengan ungkapan kalangan Gay yang kerap mengatakan bahwa Gay adalah pilihan, dan hidup sehatpun juga merupakan sebuah pilihan. Maka apa pilihan anda?

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Posting Komentar

let's share knowledge! :)

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top