Umh, darimana ya harus saya mulai
tulisan ini? Deuuuhhh,,, galau tingkat tinggi nih berasanya. Hahaha.
Jadi ceritanya Agustus 2012
kemaren, saya kembali mendapatkan kesempatan luar biasa, yakni mengunjungi
Negara Portugal, tempat pemain sepak bola terkenal, Christian Ronaldo berasal,
dalam rangka mengikuti beasiswa Summer School dari the United Nations di Universidade
de Coimbra, sebuah universitas katholik yang terletak di tengah-tengah Negara
Portugal. Banyak sekali pengalaman berharga yang saya dapatkan. Mau tau apa
saja? Yuk langsung saja.
Pre-Departure
Adalah perasaan khawatir yang
menimpa saya saat baru pulang dari Russia pada tanggal 23 Juli 2012 kemaren.
Perasaan khawatir tersebut tentu beralasan, sebab meski sejatinya saya sudah
mendapatkan tiket P.P Jakarta-Lisbon, namun saya belum mengantongi Visa
Schengen, salah satu jenis Visa yang menurut isu beredar, visa tersebut susah
untuk didapat, sementara saya hanya punya waktu kurang dari 10 hari untuk
menyelesaikan semuanya, dari mengumpulkan berkas, wawancara ke Kedutaan dan
berbagai persiapan lainnya. Namun Alhamdulillah, saat saya mengurus Visa, saya mendapat
sambutan hangat dari Mrs Carla, staff di kedutaan serta mendapat pelayanan
khusus, “kamu menjadi prioritas utama kami, karena kamu diundang oleh mantan
presiden kami!”, ungkapnya, “hal lain yang harus kamu ketahui adalah, kamu
tidak dipungut uang speserpun untuk pegurusan visa ini!”, dan yesss,,, Visa
saya jadi hanya dalam waktu tiga hari. Thanks
God!
Taukah kamu tentang apa yang ada
dalam benak saya saat saya mempersiapkan semuanya? Pada saat-saat tersebut saya
merasa menjadi seorang diplomat sepenuhnya. Hehehe. Lebbay sih, tapi memang
benar kok, sensasi tersebut yang saya rasakan. Bayangkan, baru selang 10 hari,
sejak saya pulang dari Russia, saya
harus berangkat lagi ke luar negeri dalam rangka membawa nama baik Indonesia di
mata internasional. Dan berangkatlah saya ke Portugal menggunakan Singapore
Airlines dan Emirates dengan transit dulu di Singapore dan Dubai sebelum
akhirnya sampai di Lisbon. And guess what, I was just alone! J
My Summer Dream
Coimbra Down Town
Sesampainya di bandara Lisbon,
saya langsung bertemu dengan beberapa sahabat dari Negara lain yang sebelumnya
telah melakukan kontak di jejaring social. Ada Jan Ufuk dari Afghanistan, Yvone
dari Afrika, Alafadhil dari Dubai, Shidiq dari London dan beberapa teman
lainnya. Kami langsung akrab dan berbincang banyak terkait aktivitas
masing-masing. Rasa lelah dan jetlag tidak terasa sama sekali karena terlalu
diasyikkan dengan ngobrol.
Universidade de Coimbra
Menjelang jam 18.00, kami
berangkat dengan Bus menuju kota Coimbra, kota tempat kami belajar. Sesampai di
Coimbra, kami langsung dihantar ke Asrama Mahasiswa Kedokteran yang letaknya
sekitar 1 kilometer dari letak Kampus.
Beragam kegiatan yang kami
lakukan selama di kampus, dari Lecture class, workshop, diskusi dan debat.
Tentu kegiatan tersebut semakin menarik karena peserta yang ada benar-benar
variatif, yakni ada sekitar 130 peserta dari 69 Negara yang terpilih, kondisi
ini memungkinkan saya untuk mempelajari lebih dalam lagi terkait disiplin ilmu
yang kami pelajari, sesuatu yang sangat sukar bahkan mustahil saya dapatkan di
UIN Jakarta, tempat saya menimba ilmu.
Ohya, saat saya masih di
Pesantren dulu, saya pernah bercita-cita untuk mencicipi bangku kuliah di
sebuah Universitas Katholik, sebab info yang saya dapat, banyak lembaga
pendidikan berbasis agama katholik, selalu memiliki kualitas yang baik, dan itu
benar-benar saya alami saat saya di Universidade de Coimbra.
Lisbon Sightseeing
Lisbon Down Town
Seperti program kepemudaan
lainnya, salah satu program kami selama di Portugal adalah kegiatan mengunjungi
situs-situs menarik yang ada di Negara penyelenggara, maka selama di Portugal
juga, ada program Lisbon Sightseeing yakni acara kunjungan ke beberapa tempat
menarik di kota Lisbon seperti Gereja Kathedral, Sinagog, Masjid Jamik, serta
beberapa museum menarik di kota tersebut. Tempat-tempat ibadah tersebut menjadi
tujuan kami karena memang program tersebut bertemakan Intercultural Dialogue. Well, I got a lot of new experiences while I
was in Lisbon.
Europea da Juventude
Braga 2012
Pasca program Summer School
selesai, semua peserta diajak untuk ke Braga City, sebuah creative city yang
terletak di ujung utara Portugal. Tujuan utama kami kesana adalah menghadiri
undangan dari Europea da Juventude untuk merayakan bersama kegiatan
International Youth Day yang dilaksanakn serentak di berbagai Negara di dunia.
Disamping itu, kami juga
berkesempatan untuk jalan-jalan di downtown Braga city, kota yang juga dikenal
dengan istilah the Rome of Portugal karena aroma religious yang terasa dari
socio dan culturalnya yang sooo Rome. And well, that’s true!
Dan ending dari semua cerita
tersebut adalah, selama beberapa minggu, jetlag
menjadi persoalan serius yang saya rasakan. Sampai-sampai saya merasa kapok
dalam beberapa waktu untuk naik pesawat lagi. J
Russia, mendengar namanya, yang
terlintas dalam benak saya pertamakali adalah, masyarakatnya yang rasis,
tertutup, kejam, tidak beragama—implikasi konstruksi social yang dibangun pasca
peristiwa 65—dan segala hal yang konotasinya negative. Wajar mungkin yah, sebab
dari semua film Hollywood yang pernah saya tonton, orang Russia memang selalu
digambarkan demikian, sebut saja misalnya film Transporter 3, James Bond dan
mungkin juga film The Tourist. Demikian, setelah pergi kesana dan berinteraksi
dengan masyarakatnya, ada kesan berbeda yang saya dapatkan.
Global Village
Yap, ceritanya, dari tanggal
07-22 Juli 2012 kemaren saya berkesempatan untuk mengunjungi Negara tersebut
dalam rangka mengikuti kegiatan International Youth Forum yang dikemas dalam
bentuk Summer Camp. Sekilas info tentang kegiatan tersebut, IYF2012 merupakan
sebuah forum yang dihelat setiap tahun oleh Kementerian Luar Negeri Russia, dan
tahun 2012 ini merupakan tahun ketiga. Acaranya sendiri ditaruk di sebuah danau
cantik di kawasan Ostashkov, kota kecil di daerah Tver.
Lalu, hal unik apa saja yang saya
temukan? Let’s find out!
The People
In front of Cathedral with my US Fellas
Umh, orang-orangnya? Sebenarnya
teori relativitas dalam disiplin ilmu social memang benar adanya, sama persis
dengan kesan yang saya dapatkan selama di Russia. Saat di Ostashkov, saya
tinggal di sebuah desa kecil. Tidak jauh dari tempat acara ada sebuah Gereja
Kathedral yang cantik sekali. Arsitektur bangunan yang indah, dipadu dengan
kondisi lingkungan asri serta berada tepat di sisi danau Seliger, membuat
bangunan tersebut semakin Indah. And guess what? Masyarakat di sekitar area
sangat ramah sekali. Mereka senang menyapa kami, mengajak foto bersama dan yang
paling mengasyikan adalah, kami dikasih buah Cherry yang masih segar! Alamak!
Yet, beda tempat beda pula
isinya. Kondisi yang berbalik 180 derajat terjadi saat saya di Moscow.
Masyarakatnya sangat dingin, individualistic dan egois saya pikir. Dan itu saya
alami bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali di tempat yang berbeda-beda pula
seperti di Subway, Restoran dan di jalanan.
Vodka
Salah seorang kawan sempat
menyinggung, “Jika di banyak Negara setiap anak yang baru lahir akan diberi Air
Susu Ibu (ASI) eksklusive, maka di rusia, justru akan dikasih Vodka!”, istilah
tersebut tentu hanyalah sebuah anekdot, namun munculnya istilah tersebut tentu
bukan tanpa alasan, sebab memang, orang Rusia paling suka dengan jenis minuman
yang satu ini. Mengitari jalanan di Russia, akan dengan sangat mudah kita
temukan botol-botol bekas minuman keras, terlebih di Moscow. Well, tapi memang
begitulah Russia. J
The Never Ending Party Country
Yes, they love party so much!
Bayangkan, dari sejak matahari terbenam hingga matahari kembali terbit, mereka
masih kuat buat party! Mungkin saya memang termasuk orang yang tidak gaul, jadi
kurang paham dan tidak akan pernah kuat untuk melakukan hal serupa! Tapi
agaknya memang, label “The Never Ending
Party Country” cocok untuk untuk disematkan ke Negara paling luas di dunia
tersebut. hohoho
St.Petersburgh
The Beautiful St.Petersburgh
Salah seorang teman bertanya,
jika kamu punya kesempatan untuk megunjungi Negara atau kota yang sudah pernah
kamu kunjungi sebelumnya, maka Negara atau Kota apakah itu? Dengan sigap saya
jawab, “St. Petersburgh!” why? Sebab
selama hidup saya, tidak pernah sekalipun saya merasa jatuh cinta pada sebuah
kota sejak pertama melihat, but St.Petersburgh! arsitek bangunannya,
kanal-kanal cantiknya, akses transportasi yang mudah, banyaknya
bangunan-bangunan bersejarah yang dapat dengan mudah ditemukan, hingga museum
Hermitage yang dikenal sebagai salah satu museum terbesar di dunianya, gak
heran jika kota ini disebut sebagai salah satu kota teromantis di dunia.
Moscow, Just Big City
Kremlin
Nothing interest regarding with Moscow. Yes, itu kesan yang saya
dapatkan saat tiba di Moscow, mungkin karena hanya kota metropolitan just like
Jakarta atau karena sebelumnya telah dibikin melting sama St.Petersburgh, saya
kurang tau, yang pasti, tidak ada yang menarik dari kota ini. Palingan hanya
kawasan Red Square dan Kremlin saja, selebihnya gak ada!
Well, They Identified Russia is Moslem, Serious Like Serious???
Yes, sebagaimana rasa shock kamu
saat membaca poin ini, saya juga tidak akan pernah percaya sebelum akhirnya
ungkapan itu keluar sendiri dari mulut orang Russia sendiri. Jadi ceritanya,
dalam sebuah workshop, setiap peserta, disuruh untuk mengidentifikasi Negara
masing-masing. Saya sendiri mengidentifikasi Indonesia dengan Bali, Diversity
dan Sate. Teman saya dari China mengidentifikasi negaranya dengan Komunis dan
Chopstick, nah saat tiba giliran teman-teman dari Russia, salah satu istilah
yang keluar adalah kata, “Moslem”. What???
Masa Moslem? Tanya saya secara personal, lalu dia menjawab, “yes, Moslem, cause
20% of people in this country are Moslem!” glek… gitu tah?
Dan, sebenarnya masih ada cerita
menarik lain sih, tapi agaknya sukar untuk saya ceritakan dalam tulisan ini.
Jika masih penarasan Russia itu kayak gimana, ya pergi saja kesana! Hohoho… I love St.Petersburgh but Moscow, that’s all….
Ini merupakan kali kedua saya
mengunjungi Malaysia setelah sebelumnya pada pertengahan Januari kemaren, saya
kesana dalam rangka backpack. Berbeda dari kunjungan sebelumnya,
kunjungan yang kedua adalah murni dalam rangka tugas, yakni menghadiri acara
Southeast Asian American Alumni Youth Conference di Hotel Maya pas di depan
Twin Tower Petronas.
Sebagaimana namanya, kegiatan ini
merupakan sebuah konferensi yang melibatkan para pemuda di ASEAN yang pernah
mendapatkan beasiswa dari pemerintah Amerika seperti Study of the U.S
Institutes, YES, UGRAD dan lain sebagainya. Impressive? Tentu saja!
Sebab peserta yang berpartisipasi notabene adalah alumni US yang dari segi
keilmuan dan leadership skill cukup memadai.
the delegations
Dalam kegiatan tersebut, ada
banyak sekali yang kami bicarakan seperti masalah Brain Drain,
Pendidikan, serta masalah social lainnya. Indonesia sendiri berkesempatan
memberikan speech terkait persoalan economic disparity dan environment.
Kedua masalah tersebut memang menjadi masalah serius bagi Indonesia. dalam hal economic
disparity misalnya, di tengah-tengah menjamurnya gedung-gedung pencakar
langit, perumahan mewah serta pusat perbelanjaan kelas atas, disana-sini masih
banyak dan mudah kita temukan gembel, pengamen jalanan, serta penderitas busung
lapar. Sementara dalam persoalan Environment, meski sejatinya pemerintah
telah membuat beberapa departemen seperti Kementerian Lingkungan Hidup serta
Kementerian Kehutanan yang secara umum keduanya memiliki konsern yang sama,
namun masalah lingkungan hidup di Negara ini masih saja terseok-seok pada
problematika klasik, kedua departemen tersebut baru bergerak pada tahapan
normative dan bukan pada substansi.
Indonesian Team
Disamping kegiatan tersebut, ada
juga kegiatan lain yang tidak kalah menarik seperti Cultural Performance
dimana setiap peserta dari seluruh Negara yang berpartisipasi menampilkan
kesenian dan kebudayaan masing-masing, serta kegiatan Cultural Exhibition,
yakni semua diberikan kesempatan untuk memamerkan semua barang-barang dari
Negara masing-masing.
Oh ya, hal lain yang bagi saya
menarik untuk dishare juga adalah terkait kota Kuala Lumpur. Bagi saya pribadi,
Kuala Lumpur lebih tepat disebut sebagai the Middle East of ASEAN, kenapa?
Sebab banyak arsitektur bangunan yang saya lihat di kota tersebut menggunakan
gaya timur tengah, dari gedung-gedung pemerintahan, perkantoran serta tentu
saja kediaman Raja di kawasan Putra Jaya, asli seperti di negeri dongeng Alladin
dan Lampu Ajaib, “They had too much money, so our government spent it for
our beloved king!”, ujar temen ku, JR, teman satu program saat ke Amerika,
saat dia mengantarkan saya berkeliling Kuala Lumpur serta Putra Jaya.
Sebenarnya masih banyak pengalaman
berharga saat saya berkunjung ke Negara yang menampung banyak pekerja kita itu,
dari hal yang paling tidak enak, hingga yang enak-enak, dari cerita sukses
teman-teman TKI kita hingga cerita memilukan yang sukar ditemukan di media
massa. Namun, mengingat tulisan ini saya tulis tak lebih hanya untuk notes from
SEAL Youth Conference, jadi, di sambung lain waktu saja ya… J
Term of “The price reflects the
quality” is presumably right, not only on business, but also on education, as
happening now in my village.
Since 2004, when our government
allocated 20% of national budget for education, most of people turn their hopes
on, due the budget reflects of free and have certain quality of school.
Unfortunately, since the
implementation of the policy, not too much changes with our education,
especially in the rural areas such as villages in Madura island, where most of
the people as farmer with more than 60% on tobacco and the rest are corn, bean
etc. The problems are; the lack of laboratory, library seems an expensive stuff
and the most horrible thing is teacher quality. It becomes worsen due their
truancy of teaching.
The Gimcrack Education, Their Stories.
Zen, 17, is a young man from
Serabarat, small village in Bluto sub-district. He is an only son of single
mother. His mother divorced 4 years ago when he was in the secondary school.
The miserable of life makes him having big ambition to get an education as high
as he can to improve their life. Sadly, he has to struggle alone to study
because the teachers always in absence. “I go to school so early every day for
nothing!” he said.
“I don’t know what to do when
they are in absence. Want to go to laboratories, the school doesn’t have, they
don’t even have a library, it is crappy! We did sharing, exchange an
outstanding student from each class to another, but not now anymore, I am
boring with that, I just need teachers to teach us!” said Susan, 16, a girl
from Talang, Saronggi sub-district. She thought that education is really
important to make people’s life better; due it will improve their knowledge,
creativity and skill, three important things to get a better job for a better
life.
Different story comes from Holis,
19, a young man from Dempo, Pasean sub-district where now he is an amateur
mechanic of small machine shop in the village. Formerly, he was a student at a
secondary school. He was never know that the school was free, because he was
asked to pay for some books, cleaning cost, and other annually events while he
had to struggle and suffer to get the money as porter of small stores in the
sub-district market, freelance of tobacco harvest belong to his neighbor and
construction laborer at 13 on his age, “I was sad. I have suffered to get money
but paid for nothing”
Another interesting and
disappointing story comes from Syaiful, 20 from Bira Timur. In 2009, he just
graduated from senior high school in Madura. He cannot continue to university
due he had a contract with the school to teach another school in a lack
village. The problem is not only about his quality as fresh graduate from
senior high school, but also his duty to handle and tackle Six Classes
with his only a friend.
The stories reflecting how expensive
the education in this country is, that can be enjoyed by certain people only,
no wonder if Hasbul, 25, a university student give comment, “Just like second China stuffs, education here
in the village is cheap and perishable. There is too much chinch inside!”
The Sun is Still Shining
In the messy of our education in
the country from upstream to down one, there is still hope. IBBIeducare is the example.
A community made by young community in the village has big ambition called “Become
knowledge epicenter in Madura”. They have collected hundreds of book, tens
programs was being held either for children, youth or adult, annually or
accidentally programs.
One of the most appreciated
program they are doing is Skill School, an entrepreneur program segmented for
young people that expected to be sustainable program by giving them training
and practice such as making Batik in the workshop nearby, Keris—Indonesian
traditional weapon—etc toward sustainable development refers to local wisdom.
The basic reason they made this
is to effort their skills and entrepreneurs of young people in the village in
order to they can face challenging and competitive work place, even more, they
can do their own business as a result of training and workshop they have ever had,
“We cannot rely on the government or school, we have to struggle to effort our
education, knowledge and skill!”, said Khoirul, 17, the chairman of
IBBIeducare.
Regarding finance, so far, the
program runs by self funding, especially from the stuffs they produce to sell
out. “But we still find a lot of obstacles such as books and computer to
monitor books out, because so far, we did it manually, so that, support from
Government, corporate and of course NGO’s concerns on education development are
really needed, for instance special allocation for special areas program, in
this case, lack region such as here in Madura island”, add Khoirul.
Suatu sore di Sky Dining The Plasa Semanggi. Secangkir kopi hangat duduk manis di atas meja kayu minimalis yang dinaungi kanopi hijau ala Eropa, menemani hangat sore yang mulai beranjak malam.
Seorang wanita berumur 20 tahunan duduk manis menikmati udara sore Jakarta yang masih menyisa ranggas dan panas. Syarifah Alfasana nama lengkapnya, namun ia lebih senang dipanggil Reva. Lebih marketable begitu alasannya ketika ditanya kawannya di kampus.
Rambut panjangnya yang hitam pekat menambah ayu perawakannya. Matanya sesekali menatap pelanggan restoran, atau orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya, sembari sesekali membanding-bandingkan gambar seorang pria yang tersimpan rapat di salah satu folder handphone-nya.
“ Mana ya? Kok belum nongol-nongol juga? ”, ucapnya lirih sembari tetap awas melihat lalu-lalang orang di sekitarnya. Ada gurat kesal di kedalaman tatap matanya. Meski jam telah menunjukkan angka 16.45, keterlambatan selama 40 menit dari kesepakatan sebelumnya, namun ia berusaha untuk tetap sabar.
Sejauh ini, informasi yang dikantonginya tentang lelaki itu kurang lebih: manis, cakep, tampan, menarik, tajir, pintar, cerdas, talented dan tentu saja mapan, namun demikian, dia paling tidak suka dibohongi, tapi itu bukan masalah, toh dari semua informasi yang dia tanyakan saat chat, tidak ada satupun yang dijawab salah, apalagi sampai mengada-ada, dan satu lagi hal yang sangat tidak ia sukai, namun apa itu ya? Ah Reva lupa.
Beberapa pelayan terlihat tengah sibuk kesana-kemari membawa nampan yang berisi makanan, makanan yang asing baginya, karena semenjak dia pergi ke kota Metropolitan, baru kali ini dia makan di tempat seperti ini. ‘Tempat yang akan merubah hidupnya’, simpulnya. Seringai mengembang di mukanya.
Yah tentu saja, bagaimana mungkin orang yang ditunggu-tunggunya adalah orang miskin, label yang akrab dengan dirinya dan kehidupan orang-orang di desanya, jika di pertemuan pertama saja sudah mengajak bertemu di tempat senyaman ini? Ia mencoba menguatkan spekulasinya.
Tapi kenapa dia lambat? Ah mungkin saja dia tengah terjebak macet, mungkin juga dia tengah berada di dalam mobil mewahnya, mobil yang kerap dilihatnya di album foto pribadi facebook lelaki itu, lelaki impian, begitu ia menyebutnya, dan bukankah jam-jam seperti sekarang macet adalah problem yang tidak bisa ditawar-tawar lagi? Lalu mengapa dia tidak memilih naik Busway saja! Bukankah naik busway lebih cepat sampainya! atau mungkin dia tengah berada di dalam ruangan meeting bersama investor-investor asing, kesibukan yang kerap mengisi hampir tiap waktunya, seperti cerita dia ketika chating. Beragam spekulasi bergumul di benaknya, membuat pikirannya kacau. Siluet rasa pesimis kemudian menari-nari.
Dan orang yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seorang pria, berumur kurang lebih 27 tahunan datang mendekat. Umur yang matang untuk menjalin hubungan serius! Seraut wajah yang ternyata jauh lebih tampan dari foto-foto dalam album facebook yang telah dia simpan di memori handphone-nya. Debar aneh tiba-tiba menjalari tubuhnya. Finally!
“Slamat sore”, sapanya datar. Suara yang khas, berkarakter, dan merdu sekali didengarnya. Dan debar itu kian menggila, “ Reva?”, tanyanya memastikan. Diiringi senyuman manis, wanita itu mengangguk, “Maaf, tadi masih ada meeting di kantor!”, susulnya sembari meletakkan sebuah tas berisi Notebook.
Selama beberapa saat lamanya Reva masih tertegun dengan lelaki di depannya. Penyakit akut yang biasa menderanya ketika berhadapan dengan lelaki tampan kembali menyerang. Ya, meski banyak orang mengatakan tampan itu relativ, namun lelaki yang satu ini adalah pengecualian, sungguh dia mutlak tampan.
“Sudah pesan makanan?”, lelaki itu mencoba mencairkan suasana.
“Baru minuman saja”, Reva mencoba menetralisir perasaannya. Hmh, semangat Rev, ini adalah awal untuk merubah kehidupan mu. Satu langkah lagi, maka kamu akan say good bye pada dunia kemiskinan. Reva menyemangati diri.
“Nikmat sekali ya suasana di tempat ini, mengingatkan ku pada Kafe Le Procope, berkarakter dan sangat berbeda dari tempat kebanyakan di daerah sini”. Apa katanya? Kafe Le Proc? Porc? Pocropoc? Ah, susah sekali melafalkannya, sesusah mentralisir suasana sore ini. Tempat makan seperti apa itu? Abstrak. “sebuah kafe tertua di 13 Rue de l'Ancienne de comedie 6 Arrondisement Perancis”, lanjut lelaki itu panjang lebar.
Perlahan suasan mulai netral. Seperti kebanyakan kopdar yang jamak dikenal masyarakat umum, pertemuan itu dimulai dengan beberapa ‘prosesi’, semisal bertanya kabar, saling mengenalkan diri satu sama lain lebih dalam dari pada perkenalan mereka di dunia maya, berbagi cerita, dan berbagai ihwal klise lainnya. Ya klise, tapi tetap berarti sekali bagi Reva.
Agak lama berbincang-bincang, Rifat mengenalkan diri bahwa ia bekerja sebagai seorang konsultan di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Belum lama dia bekerja di perusahaan tersebut, karena beberapa tahun sebelumnya di tengah menempuh kuliah di Perancis, atas beasiswa dari pemerintah sana, serta beberapakali sempat mengikuti shortcourse di beberapa negara di Eropa dan Amerika karena beasiswa juga. Sebuah pengalaman yang sangat bernilai, tak mengherankan jika sepulangnya dari negeri Eifeel itu, ia mendapat banyak tawaran untuk bekerja di berbagai perusahaan ternama di berbagai kota di tanah air.
Aih... sudah kaya, baik, pintar lagi. Nambah satu poin untuk lelaki yang satu ini. Pikir Reva. Selanjutnya berbagai topik pembicaraan mengalir diantara mereka berdua. Mulai dari keluarga, hobby hingga kesibukan masing-masing.
“ Oh jadi kamu masih kuliah?“, Rifat, nama lelaki itu bertanya lebih dalam tentang Reva.
“Iya, masih semester IV”.
“Ngambil prodi apa?”
“Komunikasi...!!!” dan Penyiaran Islam, lanjutnya dalam hati.
Ah, pertanyaan yang enggak penting dan bukan pertanyaan yang diharapkan Reva. Seharusnya kan tanya hal lain yang lebih menyenangkan dari pada tentang kuliah ku! Masalah aku lagi deket sama siapa kek! Aku pernah pacaran berapa kali kek! Atau aku biasanya ke salon berapa kali dalam seminggu! Atau apalah, yang penting bukan tentang kuliah ku. Gerutunya dalam hati.
“Hello!”
“Aih..., di hmh... ada deh...!”, kilahnya blingsatan sembari tersenyum malu. Disambarnya Pan Cake yang tergeletak di atas piring persegi empat, dan perlahan masuk kemulutnya “eh, mas Rifat udah punya pacar, tah?”, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ada senyum simpul yang mengembang di bibir lelaki tampan itu. Senyum yang menelisik, mencari tahu keanehan dari jawaban Reva. Seakan ada yang memberitahu, bahwa ada yang janggal dari jawabannya. Oh God!
“Pacar? Hmh... belum ada nih, belum ada yang mau!”.
“Bohong, masa setampan dan semenarik mas Rifat gak ada cewek yang mau?”.
“Beneran!, makanya sekarang lagi nyari. Gak enak juga sih sering ditanya kapan mau nikah, kapan mau tunangan, kapan mau mengenalkan calon istri dan banyak lagi pertanyaan lain sejenis. Padahal pacar saja belum ada!”
“Memang teman dekat nggak ada mas?”.
“Ada sih, tapi kan kalau udah jadi teman, terasa aneh jika kemudian berubah status menjadi Istri. Hahaha...!!!”, ia tertawa.
Reva tersenyum dikulum.
“Niatnya sih mau segera naik pelaminan, tapi kalo gak ada chemistry, susah juga kan?”, diseruputnya Coffee Latte yang sedari tadi duduk tepat di samping piring persegi empat berisi Pan Cake, “ terlebih kesibukan ku di berbagai LSM dan organisasi lain, memaksaku untuk tidak terlalu sering berpikir tentang menikah!”, matanya di lempar ke gedung-gedung pencakar langit kota Jakarta. Beberapa saat lamanya, jeda menyela perbincangan antara mereka. pengunjung Sky Dining kian banyak. “Eh kamu belum jawab pertanyaan ku, kamu kuliah dimana?”, sekali lagi ia menyeruput Coffee Latte-nya.
“Santai saja lagi, tidak ada masalah bagiku kamu kuliah dimana saja. Kan yang penting kualitas kita pribadi!”, menyemangati.
“Umh... UIN, mas!” jawabnya malu-malu.
Sejenak lelaki di depannya terlihat berpikir, lalu mengangguk, “Oh..., Ciputat ya?”. Ia menyimpulkan. Reva mengangguk pelan. Ah... kenapa dia bisa tau sih kalau dia kuliah di sana?
“Sepengetahuan ku sih, bukannya di UIN itu yang ada hanya jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam bukan? Bukan pure Komunikasi maksudnya”, ia menelisik. Anjrit! Kok bisa sejauh itu dia mengenal UIN! Serunya dalam hati. Reva tersudut. Ia bagai maling yang kepergok mencuri ayam.
“Oh... KPI tah? Kenapa mesti malu-malu gitu sih kalo hanya untuk menyebutkan kampus dan jurusan mu itu, Rev?”.
“Malu, Mas!””
“Malu kenapa?”.
“Yang berlabel Islam suka enggak marketable!” kemudian ia tertawa. sekali kena air, mending mandi ajah sekalian. Sekali ketahuan, ya sudah kasih tau ajah semuanya. Simpulnya dalam hati.
“Oh...!”, Rifat mengerti, “Reva yakin semua spekulasi itu benar adanya?” jeda sejenak. Dihirupnya udara petang itu. “Sepertinya ada yang salah dengan kesimpulan mu sekarang”, ia melanjutkan. “Tahukah Reva bahwa peradaban-peradaban maju dari zaman dulu hingga sekarang itu terbangun karena agama kita?”.
Reva diam. Tidak mengerti dengan sikap Rifat yang kemudian berubah drastis. “Peradaban Mesir terbangun karena ada Nabi Musa disana, Peradaban Islam pun juga sama karena nabi Muhammad, kejayaan Turki Usmani pun juga sama. Bahkan orang-orang Eropa dan Amerika sekalipun patutnya berterimakasih terhadap Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, salah dua dari banyak Ilmuan Islam lainnya yang telah menyelamatkan, menjaga bahkan mengembangkan ilmu nenek moyang mereka yang mulai ditinggalkan saat negara barat mengidap penyakit Dark Age, tak terkecuali peradaban-peradaban lain yang ada di dunia ini”.
“Wah, sepertinya kak Rifat tau benar tentang agama”, Reva mencoba mengembalikan lagi suasana hangat tadi, “dari mana belajarnya? Bukankah saat ini kakak sibuk dengan kerja, organisasi dan LSM, sementara tahun-tahun kemaren kuliah di luar negeri yang nota bene masyarakatnya non-muslim?”. Rifat diam.
Reva baru tersadar, bahwa disamping kebohongan, ada satu lagi sifat yang paling Rifat tidak suka. Rasa ketidak percaya dirian. Sebab baginya, tidak percaya diri berarti tidak percaya terhadap Tuhan, tidak percaya terhadap makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan-Nya. Ah, kenapa aku bisa segoblok ini? Rutuknya. Kemudian bayang-bayang kemiskinan kembali menggerayangi benaknya. Ah kenapa ia tidak menjawab dengan benar saja, penuh dengan kepercaya dirian? Sikap yang menjadi alasan Rifat mencintai?
“ Sebab aku S1 di UIN”. Lalu ia pergi.
Sore telah tenggelam sempurna, berganti malam yang pekat. Separuh jiwanya pergi. Di tatapnya gedung-gedung pencakar langit. Ada kesal, ada sesal, namun perasaan itu kini tak lagi berguna.
Well, awalnya sih gue pengen
berbagi cerita mengenai kiat-kiat tentang jalan-jalan ekstra murah meriah,
cuman karena udah banyak tulisan yang mengupas tentang hal serupa, makanya gue
mau nulis hal lain ajah!
Umh, jadi ceritanya liburan ini
Alloh, Tuhan gue yang paling gw sayang dan cintai sepanjang masa ngasih
kesempatan ke gue buat nginjakin kaki ke Singapore. Dan, selama kurang lebih 4
hari di sana, ada beberapa hal yang pengen banget gue share. Apa ajah tuh?
Oke, Pertama, hal yang paling gw
suka tentang Singapore nih, gak lain adalah masyarakatnya. Gue ga tau gimana
cara pemerintah situ ngajarin masyarakatnya yang macem-macem itu (Melayu, China
dan India) buat ngadepin pendatang, sebut saja pelancong begitu, buat bersikap
ramah yang kadarnya udah kebangetan. Hahaha, lebe kali yah, tapi seriously,
mereka tuh ramaaaaaaah banget, kalau kita nanya arah nih sama—hampir—setiap
orang yang melintas, biasanya mereka akan dengan SANGAT, sekali lagi, SANGAT
senang hati ngasih wangsit dan petunjuk ke arah mana si penanya seharusnya
ngambil jalan. Gak perduli lo orang mana, kalau udah nanya, ya udah pasti
dikasi banyak informasi yang lo butuhin. Bahkan nih yah, kalaupun lo ga nanya
karena misal alesan bahasa inggris lo cemen atau karena alesan lainnya,
biasanya orang yang ada di dekat kita akan nyamperin dan akan dengan senang
hati buat ngebantu. Heran deh, kayaknya nih, masyarakat sama pemerintahnya udah
berkoalisi buat nyambut ramah tiap turis yang dateng!!! Hahaha!!!
Hal kedua yang gw suka juga
tentang Singapore adalah, transportasinya itu loh yang aman nyaman dan
menyenangkan. Semua itu karena sistem transportasi di negara yang luasnya jauh
lebih kecil dibandingin Madura itu, terintegrasi antar satu sama lain, dari
Terminal Bus, Bandara hingga Mass Rapid Transit (MRT) yang Ya Alloh,,, sumpah
deh, sangat sistematis!!! Ga usah takut kesasar kalau di Singapore, karena di
samping wilayahnya kecil banget, ditambah dengan sistem transportasi yang
terintegrasi antar satu sama lain, serta map yang mudah didapatkan, baik di pusat
informasi, hotel or hostel hingga di beberapa toko tertentu yang berisi tentang
info jalur MRT serta tempat-tempat menarik di Singapore, aduh, jad pengen lagi
deh ke Singapore.
Hal ketiga yang gw pikir cukup
unik untuk dibagi adalah, kehidupan Singapore yang paradok. Gue bilang begitu
karena di satu sisi Singapore tuh yah kental banget dengan dunia modernnya,
sistem transportasi yang moderen, masyarakat yang moderen, sistem
pemerintahannya yang bersih, menjadi negara dengan predikat sebagai salah satu negara
dengan tingkat keamanan terbaik di dunia, beberapa universitas terbaik di dunia
pun juga ada di sana, belum lagi beragam hiburan yang emang paling moderen di
kawasan Asia Tenggara ini, namun di sisi lain, masih aja dengan mudah gue
dapetin aroma kemenyan yang hampir gue temuin di banyak tempat. Tau lah cint, gimana itu kemenyan yang identik
dengan orang-orang awam dan jauh dari moderen. Sangat kontras sekali dengan
identitas Singapore yang moderen! Seriusan, gue enggak mau terlalu banyak
cingcong dengan kemenyan, hanya saja emang baunya itu loh ngeganggu banget, mau
makan di kedai orang China atau orang India, sama-sama banyak kemenyannya,
serius, bikin gue gag nepsong buat maem. L
Dari situ, gue jadi bingung,
sebenernya kemenyan itu identik dengan kebiasaan orang ga berpendidikan dan
jauh dari nilai-nilai modernitas, atau emang jadi bagian dari modernitas itu
sendiri, atau jangan-jangan, sebenernya kemenyan itu tidak pernah tersekat oleh
perkara modernitas-tradisionalitas yang sejak beberapa dekade lalu kerap
dipersoalkan oleh banyak kalangan, termasuk dalam Islam sendiri? Aduh, jadi
berat gini deh pertanyaannya, haha,,, gak apa-apa, sekalian ajah curhat!
Demikian, mau banyak kemenyan
atau enggak, gw tetep suka sama Singapore!!! Singapore, Ai Lof Yu So Mac!!!
Cuaca begitu terik siang itu, namun tidak menyurutkan langkah
saya dan dua sahabat saya untuk mengunjungi Muncie Islamic Center (MIC). Alasan
saya bersikukuh untuk mengunjungi MIC, karena hari itu adalah hari terakhir
saya berada di Ball State University, tempat saya kuliah, beasiswa dari U.S
Departement of State, yang memang terletak di Muncie, kota kecil di negara
bagian Indiana, sehingga akan rugi bila saya tidak mengunjungi dan menjalin
ukhwah islamiyah dengan saudara seiman.
Sesampainya di depan MIC saya disambut oleh seorang bapak
berumur sekitar 50 tahunan bernama Mumtaz, beserta seorang remaja bernama
Habeeb dan tiga anak kecil. Hangat dia menyambut kami dengan senyum
bersahajanya sembari mempersilahkan kami masuk membuat saya merasa seperti baru
pulang ke rumah sendiri dan bertemu keluarga.
Seusai menunaikan sholat ashar, saya langsung duduk bersama
mereka sembari berbincang-bincang hangat, berbagi pengalaman bagaimana saya
bisa sampai ke Muncie, dalam rangka apa, berapa lama hingga kehidupan di
Indonesia. sedikit berbagi, entah ini benar atau hanya ingin membuat saya
senang, tapi menurut pak Mumtaz, “Masyarakat Indonesia terkenal ramah!”.
Dan tidak mau ketinggalan, saya pun bertanya banyak hal tentang
kehidupan Muslim di Amerika, khususnya di Muncie dan sekitarnya, sebab sejauh
ini, info yang saya dapatkan mengenai kehidupan Muslim di Amerika, baik dari
media Mainstream maupun ecek-ecek, selalu saja tentang ketidak harmonisan,
hubungan yang destruktif dan jauh dari konsep Tasamuh Diin[1]i
yang memang diajarkan dalam Islam.
Menurut pak Mumtaz, hubungan antara Muslim dan masyarakat di
Muncie cukup baik. hubungan personal baik antar muslim dengan non muslim, MIC
dengan warga sekitar dan lain sebagainya. Hal ini misalnya direpresentasikan
dari salah satu kegiatan Open House berupa
mengajak masyarakat di Muncie, baik yang Muslim maupun Non-Muslim untuk berbuka
puasa bersama. Disamping berguna untuk menjalin hubungan yang baik dengan
masyarakat sekitar, ini juga berfungsi sebagai bentuk dakwah untuk
memperkenalkan Islam yang jauh berbeda dari informasi yang didapat di media.
Mumtaz menambahkan, adanya ketidak harmonisan antara Muslim
dengan masyarakat di Amerika memang ada, khususnya pasca terjadinya serangan
911, namun satu hal yang harus dicatat, bahwa kehidupan muslim di Amerika,
khususnya di Muncie, tidaklah separah yang diberitakan media massa, “media
memang berlebihan dalam pemberitaannya! Bahkan terkesan, karena pemberitaan di
medialah, hubungan yang awalnya baik, menjadi merenggang!” tandas pak Mumtaz.
Selama beberapa waktu di Amerika, berikut hasil perbincangan
saya dengan pak Mumtaz, saya mendapatkan tiga pelajaran berharga yang agaknya
sukar saya temui di Indonesia.
Pertama, kebebasan beragamanya. Ini tentu sangat benar, sebab
Amerika sendiri merupakan negara sekuler yang tidak pernah mempersoalkan
keagamaan seseorang. Kalaupun ada beberapa ketentuan yang diberlakukan di
beberapa lembaga—biasanya private sector—yang
mensyaratkan harus menanggalkan jilbab atau hal lain yang—mungkin—akrab dengan
nilai keagamaan tertentu, biasanya hanya perkara ketentuan dalam instansi
tersebut dan tidak terpaut urusan negara. tidak jauh berbeda dengan ketentuan
menjadi seorang pramugari yang harus memiliki tinggi badan tertentu dan lain
sebagainya.
Kedua, kebebasan melakukan ibadah. Menjelaskan poin kedua,
agaknya tidak ada salahnya jika saya cerita sedikit saat saya berkesempatan
mengunjungi New York City, tepatnya Times Square yang menjadi salah satu ikon
Amerika.
Saat saya tengah asik berfoto-foto dengan teman-teman dari
the Philippines dan Malaysia di tengah keramaian Times Square, saya tertegun
sejenak melihat seorang pedagang kaki lima dengan kopiah putih ala pak Haji di
kepalanya, yang terlihat tengah menggelar kardus, lalu beberapa jenak kemudian
ia mendirikan sholat. Ia seakan tak perduli dengan keramaian yang ada,
kesibukan orang di sekitarnya, hingga pandangan orang-orang yang berlalu
lalang, yang dia perdulikan hanya, panggilan untuk menghadap Tuhannya. Dan tak
seorangpun mencegah, apalagi sampai menahannya. Subhanallah.
Terakhir, nilai ukhuwah islamiyah. Poin terakhir ini mungkin sifatnya
subjektif, hal tersebut mungkin saja terjadi, karena pengalaman ini hanya saya
dapatkan satu kali dengan satu orang saja. Saya belum sempat mengeksplorasi
lebih jauh lagi tentang muslim di sana, namun demikian, berdasar dari cerita
pak Mumtaz, berikut kesempatan saya bertemu dengan seorang mahasiswa asal Saudi
Arabia yang semuanya ramah-ramah dan sangat bahagia karena bisa bertemu saya
yang notabene Muslim, saya dapat merasakan betapa ukhuwah islamiah di Muncie
benar-benar tinggi.
Akhirnya, karena waktu yang makin larut, kami memutuskan
untuk segera kembali ke asrama. Pak Mumtaz menyarankan agar kami diantar oleh
Habeeb. Awalnya saya menolak, dengan alasan tidak mau merepotkan serta bisa
pulang sendiri, namun pak Mumtaz justru memaksa sembari berucap, “Sesama muslim
bersaudara, tidak pernah ada kata merepotkan dan direpotkan!” akhirnya kami
pulang.