Rabu, 22 Juli 2009

asuransi cinta monyet


Brakkk!!! Terdengar suara pintu dibanting keras. Kulihat Chika dateng dengan muka masamnya masuk, lalu segera naik ke lantai atas. Ada yang tak beres pekikku dalam hati. Beberapa hari belakangan memang ada yang berubah dengan Chika. Segera kususul ke atas dan dari celah pintu yang masih sedikit terbuka kulihat Chika tampak sesengukan. Tanpa pamit, aku masuk!

”Wah, ada yang lagi nangis nih???”, kataku membuka pembicaraan, Chika diam.

”Memang ada apa sih???”, masih tetap diam, tak ada reaksi sama sekali.

”Bagi-bagi dong kalau ada masalah!!!”, buruku, tapi chika masih tetap bergeming. Bahkan perlahan dia tambah dalam membenamkan diri di balik selimut.

Beberapa saat berlalu, chika masih tak mau keluar dari selimutnya. Aku juga memilih diam. Menghadapi sodari bungsuku yang tomboy ini memang harus dengan cara yang lain. Dia tak terlalu suka dengan gaya sok care ato apalah yang cendrung girly, katanya sih gak ada kata Letoy di kamus para Rocker! Maka kucoba keluar kamar, sekedar untuk memancingnya berbicara.

”Gue putus sama Rendy!”, ucapnya tanpa membuka selimut. Binggo! Seruku dalam hati. Kuurungkan niat untuk pergi dan mulai duduk di sampingnya.

”Jadi itukah yang membuat rocker kebanggaan kakak ini menangis? Memang kenapa kok bisa putus? Sejak kapan?”

Chika membuka selimut, ” Sejak gue tahu dia mata keranjang, lebih besar dari keranjang mpok salma penjual sayuran ntu! Masak ya sih dia ngemadu gue ma temen karib gue?”

”Ck ck ck..., tragis sekali cerita cinta, loe!!!”, candaku sembari tersenyum ke arah chika, chika memandangiku dalam, lalu juga ikut tersenyum, ”Lalu loe putuskan?”.

”Ya lah,,, kawin ajah gue gak mau dimadu, apalagi pacaran!”.

Thanks God!!! Seruku dalam hati. aku tau ndiri, rendi kayak apa, jadi aku pikir, putus memang adalah hal terbaik. ”makanya, apa dulu gue bilang, pacaran yah cari yang bener, jangan yang asal, ato kalo nggak yah diasuransiin biar hidup loe tak sesengsara ini! Pacaran kok kayak yang beli sayur ajah!”.

”Cinta diasuransikan?, wah menarik tuh, tapi gimana cara kerjanya?”

“ Kayak mesin pabrik ajah pake cara kerja, yah pastinya loe mesti buat komitmen berdua, komitmen tersebut harus mengikat antara satu sama lainnya, agar ntar kalo terjadi apa-apa, ya jadi tanggung jawab bersama”.

” Tapi kan ini hanya cinta monyet, kak? ”, burunya penasaran.

” itulah kenapa penting bagi loe ntuk ngeasurasiin cinta loe, yang cimon ajah bikin loe sakit hati, apalagi cinta sejati? Bisa ajah bukan nangis lagi ntar, tapi game!!!”

Chika mangut, lalu matanya yang sembab penuh air mata disaputnya. Beberapa saat kami terdiam.

Well, apa ajah yang loe lakuin beberapa hari belakangan ini? Jarang banget dirumah! ”

Wild Race! ” jawabnya singkat.

O Em Gi,,, jadi hanya karena cowok sayko ntu loe maen balapan liar? Sarap kali loe yah? Mang gak ada kerjaan laen yang lebih bermanfaat apa? “.

“ Mulae lagi deh ceramahnya, males banget dengernya, udah deh gue pergi ajah!!!”

“ Gak gitu, cuman sayang ajah ntar kalo loe game hanya karena mikirin cowok brengsek yang gak pernah mikirin loe ntu! Ingat, cinta ntu memang penting buat hidup kita, tapi jiwa kita juga lebih penting, buat kita sendiri dan semua orang yang ada di sekitar kita”, ucap gue sok bijak.

“ Jadi mesti pake asuransi juga gitu???”

“ Ya iya lah, masak ya iya dong?! Kalau cinta monyet saja mesti diasuransikan, apalagi hidup kita yang sangat berarti ini?

”Bener-bener males denger omelan gak jelas nih!!! Capcuz ah!!!

”Kemane???”, buruku, takut ntar bunuh diri di kali ciliwung—ngarang ajah—.

”ke AJB Bumiputera, sebelum terlambat!!!”.

hati dan sepotong rembulan


Dingin malam itu. Malam yang tak berbintang, hanya sepotong rembulan

yang mengintip malu dari arakan awan yang memijar di riak air, berkecipak, seolah berdawai, searus hati kami yang tengah mabuk.

Dingin malam itu. Hatiku terpecah, menjadi beberapa bagian, sebagian bergerumun di pojok rongga dada, berkisah tentang dia, sutradara dibalik pecahnya hati ini, sebagian lagi memilih untuk diam, sebagian lainnya sibuk berdebat, mengenai efek dan dampaknya, sebagian lainnya sibuk bersikukuh mempertahankan argumennya, bahwa ini adalah cinta! Maka kurasakan hatiku membentuk blok-blok, antara yang pro dan kontra,ada pula yang memilih abstain.

Dingin malam itu. dia terdiam, sama sepertiku, yang masih bungkam seribu bahasa. Kudengar suara gemeretak di dalam rongga dadanya, sepertinya dia mengalami hal serupa, hatinya terpecah menjadi beberapa bagian, dan beberapa pecahan darinya sibuk mengambil tikar, ngobrol tentang hatinya yang tengah berserakan, sama persis dengan pecahan-pecahan hati lainnya yang tak mau kalah pamer menggelar tikar dan mengobrol sekenanya, sebagian besar lainnya juga membenarkan dugaan beberapa potong hatiku bahwa ini memang cinta.

” Aku yakin ini cinta!!!”, seru seserpih.

“Cinta? Jangan ngaco deh! Mana mungkin ada cinta disini?”, bantah salah satu serpihan hati.

” Kenapa tidak? Cinta muhammad saja datangnya pada wanita berumur separoh lebih tau darinya, kenapa ini kau bilang tak mungkin?”, bantah yang lain.

“ Itu beda kasusnya!”

“ Beda apanya? Lah ini cerita tentang dua orang yang tengah dimabuk asmara, begitupun Muhammad, begitupun cinta semua orang!”, seserpih tak mau kalah.

“Ngaca! Bagaimana dan dengan siapa cinta itu datanganya?!”, dihirupnya udara sejenak, berharap udara jadi lebih nyaman dihirup, namun tetap saja terasa sesak, ” Bapak sama Ibu kamu, Kakek sama Nenek kamu, Om sama Tante kamu, Derry sama Dinda, dan seterusnya!!!”

” Dan aku sama dia!”, ucap seserpih mantap.

” Salah! Bahkan sebelum kamu mencintainya pun, Tuhan telah mengutukmu! Dia murka padamu!”.

” Aku tidak pernah berharap alur cintaku berjalan seperti ini!”

” Kenapa kau tetap berjalan seperti itu?”

” Inilah nikmat Tuhan! Kita memang tak selalu diciptakan sama!”

” Tapi tetap saja ini melawan kodrat!”

Serpihan lainnya yang awalnya tampak tak begitu tertarik memperdebatkan, akhirnya angkat bicara juga, ”mau cinta mau enggak, kenapa kalian yang repot?” berhenti sejenak, ” membina cinta, selaksa hendak menuliskan kata-kata di atas kertas yang masih putih sama sekali, mau kita nulisnya dari kiri ke kanan, boleh, kanan ke kiri, tentu saja, atas ke bawah, kenapa tidak? Ada tulisan Latin, Arab dan China yang bisa kita jadikan acuan!”

” Ini sangat berbeda!”

” Beda apanya?”

” Yah... Beda saja! Tidak bisa diperdebatkan lebih panjang lagi!”

” Perbedaan itu ada dalam jiwamu! Ketika menerima masih menjadi imaji, tentu semua seakan tak selaras! Lihatlah dari mata, hati dan juga jiwamu!”

” Benar itu! ” seru yang lain, ” dimanapun dan pada siapapun cinta itu bersemi, yang mendasarinya pastilah jiwa! Sebab ia yang punya rasa!”, simpul yang lain.

” Dan, siapa sih yang mengajari kita tengtang rasa?”.

Si serpihan hanya terdiam, sama persis denganku yang mash diam, nyaris tanpa suara, bahkan bernafaspun terasa sulit.

Maka dalam perjalanan, tak banyak perbincangan yang mengalir antara kami. Dia terlalu sibuk mengemudi, sementara aku juga hanya terdiam, tak tau kata-kata apa yang harus kuperbincangkan. Ini adalah salah satu penyakit akut yang kuderita, setiap bersama dengan orang yang kusuka, pasti ada alasan lidah untuk kelu. Otak juga tak dapat diajak kompromi untuk sedikit memberikan sumbangsih ide topik pembicaraan agar menciptakan suasana tampak relaks. kami seakan hidup di satu daerah namun dengan dua kutub berlawanan. Aku sibuk dengan duniaku, dan dia juga hidup di dunianya, dan roda motor tetap berjalan. Perlahan kendaraan kami memasuki pelataran flowgard yang memang disulap menjadi parking area. Dan ...

Dingin malam itu, namun keringat mengalir deras di kening dan badanku, pakaian yang aku kenakan ternyata tidak sama dengan dresscode yang memang ditentukan, aku salah kostum! Pekikku dalam hati. lebih malu lagi ketika kudapati perbedaan antara kami dengan semua yang datang, sungguh, andai bisa mengecil laiknya semut, tentu aku akan mesuk ke lubang semut dan baru akan keluar ketika semua orang telah tiada, bahkan serpihan-serpihan hati yang tadi sibuk berdebat, sok supel dan comel juga kini memilih diam, malu yang teramat sangat memaksa mereka untuk pasrah pada nasib... oh tunggu, bukan nasib, keadaan tepatnya! Maka kami merasa seperti dua orang pesakitan, di tengah orang yang pada sehat semua.

Dingin malam itu. malam yang mulai beranjak larut, meninggalkan sepotong demi sepotong kisah kami yang hanya berdurasi 2,5, berbagai macam rasa berkecamuk, antara suka, malu, takut, rindu yang menggebu, hasrat yang bertalu-talu, entah ada tabu atau tidak, pastinya kami terkapar!

Dan, ”Berpeganglah!”, ucapnya sebelum kami meninggalkan flowgard, lalu malam itu aku lupa segala masalah yang tengah ku alami, segala pembeda antara kami, segala pemisah antara kami, segala persoalan yang kami alami, segala jenuh yang telah lama menguntiti kami, dan segala cinta yang dulu terpasung karena ketakutan yang sungguh tidak mendasar. Maka kini aku mulai tak perduli lagi dengan segala masalah yang akan menghadangku kelak, sebab bersamanya, kurasakan semua masalahku hilang, aku juga mulai tak perduli dengan pandangan semua orang tentang cerita cinta antara kami, sebab cinta ini hanya milik kami, bukan orang lain, cinta yang hanya bisa dirasakan antara kami berdua. Tak ada yang tahu, sebab hanya kami yang merasakan.

Dan dingin malam itu, kami terus berjalan, mengitari lorong dingin yang kian gelap, bersama rembulan yang terus beranjak naik.*


* inspired by Orgg Story

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top