The
world is a book, and those who do not travel, read only a page
~
St.Augustine ~
Seperti kertas lusuh
nan usang, hanya sekelumit cerita yang masih saya simpan samar dari kejadian di
tahun 2006 silam itu, saat sebuah advertising
promo tiket ke luar negeri dengan warna latar syarat warna merah yang
terpampang di Majalah Gantung kawasan asrama Blok E sebuah pesantren salaf di
pelosok Madura. Tak banyak yang saya tau tentang pesawat terbang dan luar
negeri pada waktu itu, sebab di samping bahan bacaan tentang dunia luar yang
disediakan di pesantren cukup terbatas, segala bentuk media elektronik pun juga
diharamkan, sehingga praktis, info dari luar hanya bisa kami nikmati dari koran
maupun majalah, itupun terbatas. Namun melihat gambar Flight Attendant yang tersenyum renyah dengan balutan baju merah di
iklan tersebut, seperti mentransfer semangat pada saya bahwa kelak saya harus
mencicipi terbang bersamanya, berkunjung ke tempat baru yang asing, berkenalan
dengan masyarakatnya, dan mempelajari kebudayaannya.
Berbekal semangat tersebut,
awal tahun 2012, saat saya sudah menjadi mahasiswa di Universitas Islam Negeri
Jakarta, akhirnya bisa mewujudkan impian tersebut dengan mengunjungi Singapura sebagai
negara pertama yang saya kunjungi dalam rangka backpack-an. Yang membuat perjalanan tersebut istimewa adalah
karena saya ditemani salah dua sahabat karib yang sama-sama dari desa, jarang
jalan jauh, apalagi ke luar negeri yang kemudian mencipta cerita tawa ngakak,
lirak-lirik kebingungan, serta marah karena hal sepele yang mewarnai perjalanan
kami, well, sebentar saja sih
marahnya, sebab dalam Islam, marah itu dilarang. Hehehe.
Ticket AA - CGK-SIN |
Siang tanggal 18
Januari 2012 kami bertiga akhirnya berangkat bersama naik bis P21 dari Ciputat
ke Blok M, lalu dilanjutkan dengan bis Damri Blok M-Bandara. Kekocakan kemudian
dimulai saat kami hendak masuk bandara di mana petugas keamanan bandara, x-ray line, pintu metal detector dan trolley
gate berdiri berbaris di pintu masuk. Usai memasukkan tas ke x-ray line, saya langsung bergegas ke
pintu metal detector agar bisa check in sesegera mungkin. Namun belum sampai ke pintu yang saya
tuju, di belakang terjadi keributan kecil. Awalnya tidak saya gubris, namun
setelah mendapati keributan itu berasal dari ulah teman saya, akhirnya saya
kembali. Usut punya usut, ternyata setelah memasukkan tas ke x-ray line, teman saya itu justru hendak masuk ke dalam melalui trolley gate dengan cara membungkuk.
Kontan tingkahnya itu membuat petugas dan beberapa penumpang yang tengah antri
tertawa semua.
Singkat cerita, kami
sampai di Changi jam 21.25 dan mengingat kami masih belum mengantongi Hostel yang
akan kami tuju [alibi sih! Alasan sebenarnya karena uang sangat tipis *LoL*], akhirnya kami memilih bermalam di
Changi, minum air sebanyak yang kami bisa di water tap, serta sholat
di ruangan ibadah untuk semua agama yang disediakan di Changi, hingga boboklah
kami bertiga dengan begitu nyenyaknya.
Esok paginya, usai
menunaikan ibadah sholat subuh dan menyantap sisa makanan yang kami bawa dari
Jakarta, kami memutuskan untuk pergi ke bagian imigrasi agar bisa memulai
pengalaman backpack-an perdana kami
itu sesegera mungkin. Keluar dari stasiun Mass
Rapid Transit [MRT] tepat di CBD Singapore,
mata kami langsung dimanjakan dengan realitas yang serba moderen, teratur, dan
bersih. Di mana-mana terdapat rambu-rambu dan plang peraturan seperti dilarang membuang
sampah sembarangan, dilarang makan permen karet, dan meludah, lengkap dengan aneka
hukumannya. Yang mengherankan, warganya pada patuh terhadap semua peraturan
yang ada, jomplang sekali dengan keadaan di Jakarta yang jaraknya hanya
sepelemparan batu [tapi pakai bantuan pesawat ya! XD] yang… ya sudahlah tidak
harus saya elaborasi lagi...
Dari kawasan CBD, kami
kembali lagi masuk ke stasiun MRT untuk melanjutkan perjalanan ke Merlion
Statue yang cukup terkenal itu. Setelah beberapakali gonta-ganti MRT, saya
mendapati masyarakat Singapura cukup ramah dan helpful kepada wisatawan seperti membantu menukar uang dengan
tiket, menjelaskan detail kegunaannya, bahkan info tentang tourism spots yang wajib dikunjungi namun jarang diekspose di media
mainstream, realitas yang lagi-lagi berbeda dengan keadan masyarakat kita,
khususnya di kawasan Jakarta yang, maunya foto bareng, cuma buat dipajang di
sosial media biar banyak yang komentar. Sempat terpikir di benak saya,
jangan-jangan pemerintah dan masyarakat Singapura berkonspirasi untuk menjamu
pengunjung dengan secara terstruktur dan massive
[*Salah Fokus*]
China Town - Singapore |
“Tak ada akar rotan pun
jadi”… eh bukan, “tak ada gading yang tak retak” maksudnya, cerita tentang
Singapura memang tidak melulu tentang cerita indah penuh warna seperti di iklan
Uniquely Singapore di tivi-tivi itu,
ada saja cerita kurang menyenangkan, seperti tidak adanya suara adzan [atau
mungkin karena kami keasikan jalan-jalan? :p ] sehingga menyulitkan kami untuk
menentukan waktu sholat maupun masjid yang sukar kami temukan selama berada di
sana sehingga [lagi-lagi] menyulitkan kami untuk menunaikan ibadah sholat.
Hal kedua yang cukup
mengganggu adalah mengenai makanan halal. Paham bahwa di berbagai food stall dan hawker cukup banyak menyediakan masakan halal, namun kebanyakan
justru masakan asia selatan yang aromanya membuat kami menyesal karena tidak
membawa obat anti mabuk dari Jakarta, sekali lihat makanan yang menggugah
selera, malah tidak halal karena berlumur minyak babi yang bikin lapar tujuh
turunan, atau kalau tidak, ya mahal! Personal
matter and preference sih ya, tapi…
Hal terakhir yang
membuat saya pribadi harus geleng-geleng kepala adalah Sex Store yang menjual aneka alat bantu seksual di kawasan Bugis.
Sebagai Muslim yang menghabiskan sebagian besar waktu di lingkungan religius,
hal seperti itu tentu merupakan hal baru dalam kehidupan kami bertiga.
Mendapati beberapa barang anyar yang kelak saya kenal dengan istilah Vibrator di etalase, Pecut yang saya yakini tidak akan banyak membantu jika digunakan
untuk Karapan Sapi, serta aneka jenis Dildo
beragam warna dan ukuran bergelantungan di dinding dan atap ruangan, membuat
kami bergumam “Ya Alloh!” sambil tersenyum simpul satu sama lain. “Beli gak ya
kita?” celetuk salah satu diantara kami. [ ;p ]. Masih terkait dengan poin
ketiga ini adalah, begitu mudahnya kami mendapati pasangan yang bercium*n di
ruangan publik, tingkah yang membuat kami selalu beristighfar, memalingkan
pandangan, yah, meski sesekali tetap kami intip [:”>] maklum, barang langka.
Hehehe.
Dan perjalanan dua hari
tersebut, menyisakan kesan mendalam dalam diri saya, bukan hanya tentang negara
baru yang saya datangi, masyarakatnya yang saya kenal, serta kebudayaannya yang
saya pelajari, lebih dari itu, saya menyadari bahwa menjadi minoritas itu bukan
perkara mudah dan kita tidak akan pernah tau betapa susahnya menjadi minoritas
sebelum kita mengalami dan merasakannya sendiri. Sebagai Muslim, di Indonesia
saya merasa sangat dimanja; sholat tinggal menunggu adzan, masjid tersebar di
setiap kelurahan, komplek, pelosok gang kecil, yang bahkan jaraknya hanya
beberapa meter saja, makanan halal, hampir semua tempat makan entah di mall
maupun emperan halal, dan sex store maupun
tempat mesum, masih bermain petak umpet dengan ormas setempat.
Dan kini, saya sudah
tidak sabar untuk memulai perjalanan baru lagi, mengunjungi tempat baru yang
jaraknya ribuan mill, berkenalan dengan masyarakatnya, dan mempelajari
kebudayaannya.
*Tulisan ini diikut sertakan dalam "Kompetisi Blog 10 Tahun AirAsia Indonesia"