Sebagai mahasiswa, memenuhi
hasrat traveling, memang tidaklah mudah, tugas kampus yang menumpuk, seabrek
kegiatan di organisasi serta yang paling krusial adalah urusan keuangan, adalah
salah tiga hal penghambatnya. Jangankan ke luar negeri, berwisata ke kota-kota
di Indonesiapun, mesti saya pikirkan matang-matang. Kecuali gratis, maka
kemanapun dan kapanpun, akan saya jabanin, bahkan meski dalam keadaan puasa
sekalipun. hehehe
Awal Agustus tahun 2012 itu,
sudah memasuki hari kesepuluh bulan puasa, saat saya memutuskan untuk mudik. Sengaja
saya memilih mudik lebih awal, karena disamping tidak ada lagi program di
kampus dan organisasi, saya juga masih ingin jalan-jalan terlebih dahulu
sebelum sampai di Madura. Dan dari sinilah petualangan itu bermula.
Usai mengepak semua barang yang
akan saya bawa, akhirnya saya berangkat juga ke bandara dengan angkot dari
Ciputat ke Blok M, lalu dilanjutkan dengan Bus Damri Blok M-Seokarno Hatta.
Meski flight saya masih jam 20.40 malam, namun sengaja saya berangkat lebih
awal, karena disamping takut kemacetan di Jakarta menggila, saya juga memburu
tempat duduk yang nyaman, baik untuk berbuka puasa maupun saat di pesawat
nanti.
Jam 17.00, saya baru sampai di
Soetta dan langsung bergegas ke sebuah tempat makan di terminal 2, dan memesan
makanan asli Indonesia untuk berbuka puasa. Kelar berbuka puasa, saya sempatkan
dulu untuk sholat maghrib, sebelum akhirnya bergegas pergi ke check in counter Singapore Airlines (loh?)
yang alhamdulillah sesuai dengan kursi yang saya inginkan, serta dilanjutkan ke
konter imigrasi (loh loh??).
Saat pengumuman boarding untuk
penerbangan SQ 967 didengungkan, bergegas saya pergi ke petugas di pintu masuk
untuk boarding, berbaris dengan para
penumpang lainnya yang kebanyakan bule itu, lalu disambutlah saya dengan senyum
SQ Girls yang manis dan kinyis-kinyis itu sembari berujar “Welcome sir!”, melting
saya! Untungnya tidak dalam keadaan berpuasa XD. Tidak berapa lama saya duduk,
saat pesawat mulai pushback, SQ Girls
datang lagi ke saya. Saya pikir mau ngapain, ternyata mau ngasih handuk basah
hangat. Hmh, langsung deh saya usapkan kemuka, dan, viola… segarnya! Pesawatpun
mulai masuk runway dan… take off. Dan sesuatu sekali, karena selama
dalam perjalanan, tidak ada turbulensi sama sekali, serta makanan yang
disajikan sesuai dengan selera saya yang biasanya hanya makan di warteg ini. :p
Setelah menempuh perjalanan tidak
kurang dari 1.30 menit, sampai juga saya di Changi. Awalnya saya masih ingin explore dulu bandara favorit saya
tersebut, namun karena waktu tidak memungkinkan, maka urung saya lakukan, dan
memilih segera mencari gate untuk connecting
flight saya, yakni EK 355 (loh loh
loh!). lalu boardinglah saya. Karena penerbangan saat itu tengah malam,
jadi, dalam perjalanan, saya lebih banyak istirahatnya, yah kecuali saat makan
saja. Hehe…
Selama kurang lebih tujuh jam
mengudara, lalu pesawat saya rasakan mulai descent,
pertanda pesawat sudah mendekati bandara Dubai, terus turun dan turun
hingga akhirnya benar-benar touch down.
Dan sayapun lagi-lagi bergegas mencari connecting
flight (loh loh loh loh loh!!!)
dengan kode EK 191. Sesampainya di gate yang memang sudah ditentukan, saya
memilih untuk rebahan di lantai. Kursi-kursi yang tersedia sudah terisi semua
oleh orang-orang yang berbeda warna kulit. Ada merah, kuning, hijau (lah, ini
warna balon?) eh enggak dink, maksud saya dari berbagai etnis dan kebangsaan.
Memasuki jam 08.00 pagi, akhirnya
boarding untuk penerbangan EK191
didengungkan, dan lagi-lagi bergegas saya masuk. Tapi ternyata tidak dibolehin
sama petugasnya. Setelah saya tanya, ternyata saya di kelas ekonomi, dan
masuknya belakangan katanya. Oalaaahhh, saya pikir sama aja masuknya! Hihihi…
Saat di pesawat, saya memilih
untuk tidak banyak istirahat, sekedar mencoba menyesuaikan diri dengan tempat
yang akan saya kunjungi, agar tidak kena jetlag.
Tiba gilirannya makanan datang, saya jadi galau, mau lanjut puasa, atau memilih
membatalkan puasa! Namun setelah melakukan kontemplasi dan merefresh ilmu fiqh
yang saya pelajari di pesantren beberapa tahun lalu, akhirnya saya putuskan
untuk membatalkan puasa. L
. sedih sih, tapi setelah melahap habis semua makanan yang disediakan, saya gak
sedih lagi. Nah, agar pembatalan puasa itu tidak sia-sia, maka hampir tiap ada flight attendant melewati saya, udah
pasti saya minta Apple Juice. Hohoho
Selama delapan jam tiga puluh
menit mengudara, akhirnya pesawat itu mulai descent,
pertanda pesawat akan segera sampai, serta dilanjutkan dengan pengumuman dari
kapten yang kurang lebih kontentnya begini, “Hey ncang, ncing, nyak babeh, udah
hampir nyampe nih, pasang ye sabuk pengamannye!” dan sampailah saya di Lisbon
Portela Airport, yup, welcome to
Portugal! ^_^.
 |
my suitcase |
Usai melewati imigrasi, saya
langsung mencari tempat pengambilan bagasi. Tidak lama menunggu, suitcase sudah di tangan, dan
bergegaslah saya mencari pihak ‘berwenang’ yang sudah menuggu di dekat lobby
bandara. Sampai di lobby yang sudah ditentukan, saya dapati kerumunan massa
yang nampak colorful karena datang
dari berbagai etnis yang berbeda. Usai “hai hai hai” dan cipika-cipiki,
akhirnya rombongan kecil itu mulai beranjak keluar bandara, menuju bis yang
terletak di parking lot, untuk
melanjutkan ke tujuan yang sebenarnya, Coimbra City. J
Kesan pertama saat menginjakkan kaki
di negara asal Cristiano Ronaldo ini adalah suasana perpaduan timur tengah dengan
eropa setelah mendapati banyaknya pepohonan yang mirip pohon kurma (apa memang
pohon kurma?) serta Madura. Apah? Madura? Yup! entahlah, mungkin karena tekstur
tanahnya yang rada gersang serta landscape
tanahnya, mengingatkan saya sama desa Batu Marmar di Madura (are you insane?). Terlebih saat dalam
perjalanan dari Lisbon ke Coimbra itu, saya memilih tetap terjaga dan
memandangi pemandangan sekitar yang saaaaaangat Madura (*slap!).
Coimbra, School Inside of Transit
Kota Coimbra merupakan sebuah
kota yang terletak di tengah Portugal, dan butuh sekitar 3-4 jam perjalanan
dari Lisbon melalui jalan darat. Disamping dikenal dengan kota yang pernah
menjadi ibu kota selama masa pertengahan, kota ini juga dikenal dengan sebutan
kota pelajar, sebab di kota kecil yang berpenduduk hanya berkisar 100 ribuan
ini, ada banyak perguruan tinggi seperti
Instituto Politécnico de Coimbra,
Escola Superior de Enfermagem de Coimbra
serta
Universidade de Coimbra (UC) yang
termasuk salah satu universitas tertua di Portugal, bahkan eropa (wikipedia).
 |
Universidade de Coimbra |
 |
Berjubah |
Selama di Coimbra, kebanyakan
kegiatan saya berkutat di sekataran UC, sebab program Summer School yang saya
ikuti memang dihelat di universitas tersebut. Pagi berangkat dari Dorm yang letaknya sekitar satu kilo
dari kampus, dan malamnya kembali lagi ke Dorm,
sahingga saya berpikir, Coimbra hanya kota kecil yang tidak jauh berbeda dengan
Sumenep (Please wake me up!). Selain
arsitektur bangunan yang tipikal Europe,
khususnya UC sendiri yang sangat tua, serta pakaian khas yang biasa digunakan
para mahasiswa berupa jubah besar hitam, yang kemudian mengingatkan saya pada
sekolah sihir Hogwarts di film Harry Potter (is that a thing?), maka tidak ada lagi yang istimewa, hingga pada
suatu ketika, empat teman saya dari Brunei, Egypt, Palestine dan Rumania, mengajak
saya bolos kelas (I know I’m not a good
student! -_-), dan memilih jalan-jalan ke belakang kampus. Guess what! I got this!
 |
Mondego River |
 |
Salah stu sudut Coimbra |
Yess, Coimbra isn’t small town! Dan yang paling penting, kota ini bukan
hanya sekedar cantik, tapi cantiiiiiikkkk sekali! Mondego River yang membelah
kota, tekstur tanah berbukit sehingga memungkinkan pengunjung melihat indahnya
arsitektur bangunan yang menjumput di atasanya, serta toko-toko khas eropa berikut
trotoar café-nya, adalah salah empat hal yang akan membuat pengunjung “sakau”
kamera dan bawaannya pengen memfoto—bagi photograddict—serta difoto—bagi yang
narsis—,terlebih jika datang pas sore hari, béééhhh, ndak semaput masih untung! (I’m
kidding)
Lisbon, Trip Inside of Transit
Salah satu kegiatan yang sudah
diprogramkan oleh panitia Summer School adalah trip ke Lisbon. Di ibu kota ini
kami mengunjungi beberapa site menarik dan sangat penting dalam meningkatkan
pemahaman lintas kultural seperti Gulbenkian Museum, sebuah museum yang
dibangun oleh keluarga Gulbenikan asal Turki, the Ismaili Center, Gereja
Cathedral, Synagogue serta tentu saja Masjid.
Dan untuk menghindari ihwal SARA
di comment box, maka saya share foto-fotonya saja ya. As we know, orang Indonesia gampang terprovokasi J .
Mungkin dengan melihat apa yang kami lakukan selama di Portugal, para pembaca
bisa lebih memahami, bahwa ini bukan tentang mempengaruhi maupun dipengaruhi,
melainkan mencoba untuk berpikir terbuka, berbagi sudut pandang dalam rangka
mencapai kehidupan yang lebih harmonis dan damai. #PeaceUp
 |
Cathedral |
 |
Gulbenkian |
 |
Lisbon Synagogue |
 |
Masjid di Lisbon |
 |
Down Town Lisbon |
 |
Foto bersama usai kegiatan |
Finally I Go Home
Kegiatan selesai, semua peserta
akhirnya pulang ke negaranya masing-masing, termasuk saya yang merupakan
satu-satunya orang dari Indonesia, dengan rute kepulangan LIS-DXB-SIN-CGK. Ada
yang cerita menarik saat saya transit di Singapore. Karena delay saat transit di Dubai, akhirnya saya telat juga sesampainya
di Singapore.
Memasuki disembark, saya bergegas ke keluar, mencoba menerobos jubelan
penumpang lainnya, untuk mengejar flight SQ968 ke Jakarta, hingga kemudian saya
mendapati seorang pria tengah berdiri tepat di depan pintu keluar garbarata
sembari mengacungkan papan kecil berukuran A4 ber-tagline “Mr. Hafiz Al Asad” dengan paniknya. Hey, itu kan nama
saya! Seru saya dalam hati. Untuk beberapa saat lamanya saya berasa seperti
artis, yang ditunggu penggemar. Iya, merasa seperti artis, sebelum akhirnya
bapak itu menginformasikan bahwa saya mesti buru-buru pindah gate jika tidak
mau ketinggalan pesawat. Panik jugalah saya akhirnya.
“Gimana kalau ketinggalan? Gimana
kalau enggak bisa pulang? Gimana kalau enggak bisa lebaran di rumah? Bagaimana
kalau kehabisan duit? Bagaimana kalau nasib Tom Hanks di film Terminal
menimpaku?” Setidaknya pertanyaan-pertanyaan itu yang menggulung di pikiran
saya saat itu. terlebih saat melihat dompet yang hanya bersisa €50
serta uang IDR 50.000 untuk ongkos dari Jakarta ke Madura (what???).
Segera lah kami berdua keluar,
mencari gate untuk flight berikutnya ke Jakarta. Namun ditengah kepanikan saya
tersebut, jauh di dalam hati, saya bersorak ria, sebab untuk pertamakalinya,
saya naik Golf Car (*Kotrok tingkat 7 -_-).
Tak lama berselang, akhirnya kami
sampai di depan pusat informasi Singapore Airlines. Bapak yang mengendarai Golf
Car tadi segera beringsut pergi ke pusat informasi, meninggalkan saya sendirian
di Golf Car tersebut. Untuk beberapa saat lamanya mereka nampak tengah
berbincang, lalu si bapak datang ke saya lagi dengan muka kuyu,
menginformasikan bahwa saya masih bisa naik pesawat SQ968 malam itu juga, namun
suitcase saya baru bisa dikirim ke
Jakarta esok paginya.
“What! Are joking?” seru saya ke bapak tadi, “I won’t fly to Jakarta without my suitcase!”, tambah saya. Tak lama
bernegosiasi, akhirnya sampai pada satu kesepakatan; saya bisa mendapatkan
penerbangan lanjutan ke Jakarta bersamaan dengan suitcase saya, namun flightnya diganti keesokan harinya. Dan
sayapun mengiyakan. Andai saya memaksakan untuk ikut flight malam itu juga,
saya tidak bisa membayangkan harus bermalam di CGK yang banyak kecoaknya, hanya
untuk menunggu barang saya tersebut. Lebih baik di Changi kemana-mana, bersih,
free wifi, kursi pijat serta yang paling penting, bisa spotting (*dasar Avgeek yah? ^_^), dan asli, semalaman saya tidak
tidur, memilih jalan-jalan di bandara tersebut, sembari bernostalgia ke setahun
silam saat saya hendak ke USA.
Esok paginya saya sampai di CGK,
langsung mencari Bus ke Gelora Bung Karno, dan bergegas mencari teman-teman
saya yang juga akan ikut program Mudik Gratis Bareng, yang difasilitasi salah
satu partai. Istilahnya mah, apapun partainya, yang penting bisnya gratis! Dan
berangkatlah saya pada hari itu juga ke Madura dan baru bisa berkumpul dengan
keluarga keesokan harinya.
Catatan tentang Transit
Beberapa catatan penting yang
membuat perjalanan tersebut sangat berkesan antara lain, untuk pertamakalinya
saya menunaikan ibadah puasa di negeri orang, belajar bersama dengan pemuda
dari seluruh dunia di lembaga Katholik, menemui saudara-saudara seiman di
negeri Katholik, mendapati sahabat dekat saya yang berbangsa yahudi dari Israel
menggunakan Jilbab di Masjid, serta mendapati sahabat-sahabat saya yang atheis
menggunakan Kipa di Synagogue. Sungguh, perjalanan tersebut memiliki kesan
tersendiri yang sangat mendalam bagi saya pribadi, khususnya dalam ihwal
spiritualitas.