sejak jam 09.00 sehabis saya mengajar di Sekolah Dasar Negeri I Perigi Baru kecamatan Pondok Aren Tangerang Selatan, saya sudah stand by di depan laptop sembari browsing menunggu lomba blogging day : 100 menti 1000 tulisan. sembari menunggu, saya sempatkan untuk menulis hal-hal lain yang mungkin bisa saya posting juga pada lomba tersebut. hingga jam 13.56 tak terasa saya sudah menulis tiga judul artikel dan satu cerpen.
jam 14.00 ketika jam di koompasiana sudah menunjukkan dibukanya lomba tersebut, saya kaget bukan kepalang, bukan karena tulisan yang diposting bagus-bagus atau karena banyaknya peserta yang membeludak, keterkejutan saya lebih dikarenakan kompasiana.com tidak lagi bisa diakse, namun saya terus dan tetap mencoba. saya coba masuk melalui Flock, tak bisa juga, masuk ke Mozilla nasibnya juga sama, begitupun ke Internet Explorer hasilnya sama-sama nihil.
saya lihat, jam ternyata sudah menunjukkan jam 14.45, ini berarti tinggal beberapa menit lagi lomba akan ditutup. karena takut penyebab kompasiana tidak bisa diakses karena jaringan yang tidak memadai, atau karena pulsa di modem yang saya pakai habis (tapi sepertinya tidak karena saya coba buka situs lainnya ternyata masih bisa dan sangat lancar sekali), akhirnya saya putuskan untuk pergi dari kontrakan mencari Warung Internet dengan maksud hendak memposting tlusian yang sejak 3 hari sebelumnya telah saya selesaikan.
namun lagi-lagi saya harus kecewa karena ternyata warnet yang saya samperin juga tidak bisa mengakses kompasiana.com. hasilnya sama dengan ketika saya masih di kontrakan. lalu untuk memastikan bahwa ini hana kesalahan yang saya buat, akhirnya saya chating dengan salah tiga teman saya yang ada di beberapa kota di indonesia. antara lain Halimah Bukhori di Kuningan Jakarta Selatan, Mohammad Hamli di Jogjakarta dan mas Ari di Makassar untuk mencoba membuka situs yang sama. namun apa yang mereka alami juga sama. “Problem Loading Page”, saya tanya apakah karena jaringan atau karena bandwithnya yang bermasalah, mereka sepakat mengatakan “TIDAK”.
akhirnya saya mengambil kesimpulan memang tengah terjadi kesalahan di kompasiana, dengan menaruk harapan besar bahwa akan ada dispensasi keterlambatan posting karena kesalahan bukan terletak pada saya, akhirnya saya memilih untuk tidak memposting 1 jam lagi dari saat saya diwarnet.
jam 17.15 saya akhirnya datang lagi ke warnet sembari membawa semua tulisan yang akan saya posting, namun alangkah terkejutnya saya ketika saya lihat di “rubrik” yang disediakan sudah tidak ada lagi kategori Lomba Penulisan. dan lebih terkejut lagi ketika saya lihat, sudah berlangsung proses voting tulisan terfavorit.
saya memang tidak menaruk harapan besar bahwa saya akan menang, hanya saja saya berharap ada orang yang bisa membaca tulisan saya di perang antar ide dari kompasioner di seluruh dunia, karena dengan ini, kualitas tulisan saya bisa dilihat.
Awan hitam mengarak di langit-langit kampus sore ini. Sepertinya hujan akan mengguyur! Lalu udara menghembus, menerpa kulit, menyisakan dingin yang gigil. Setitik, dua titik, bertitik-titik air turun dari langit, hinggap di dedahan pohon cemara yang berjejer rapi di sekeliling taman kampus, sebelum akhirnya ia jatuh ke tanah. Aroma khas tanah menyeruak, membiaskan sepenggal kisah, menggiring imaji pada romantisme masa lalu, romantisme yang ku yakini hanya aku saja yang merasakannya. Hmh,,, nikmatnya.
Niatnya selesai jam mata kuliah pak Teguh Santosa, dosen pada matakuliah Negosiasi dan Resolusi Konflik langsung balik ke kosan, tapi agaknya cuaca memang tidak mengijinkan, maka sembari menanti hujan mereda, aku akan ceritakan padamu sepenggal kisah tentang aku dan seseorang yang istimewa bagiku, istimewa karena hanya dia saja yang mampu membuat hidupku lebih berwarna, membuat hidupku nyaman dan... abstrak! Bah, selalu!
Well, Tak usahlah ku sebut siapa nama yang sesungguhnya, toh walaupun ku sebutkan, aku yakin tak akan ada seorangpun yang mengenal dia, bahkan dengan bantuan data base kependudukan milik catatan sipil negara sekalipun!.
Baiklah, langsung saja. Dot, ku memanggilnya, memanggilnya dalam hati maksudku, sebab kata Dot tak pernah kulafalkan ketika kami saling bertatap, atau saat bersapa dalam pesawat telepon, pun juga rerajut kalimat yang biasa ku kirimkan melalui layanan pesan pendek. Tak pernah sama sekali, sebab hubungan antara kami berdua memang amat terlalu abstrak.
Kenapa dot? Karena bagiku, ia tak ubahnya sebuah titik, noda, noktah, dan kecil. Meski ia hanya sebatas titik, namun tak akan bisa mengembalikan putih warna asli sebuah kertas. Seperti semua tentangnya yang masih kerap mengisi pikiran dan perasaan, realitas maupun mimpi. Terlebih saat musim penghujan seperti sekarang. Sangat menggangu! Hah...
Tak ada yang istimewa dari pertemuan pertama kami. Baik situasi dan kondisinya. Semua tenang tak ada riak sama sekali. Aku masih tetap melaksanakan aktifitasku seperti biasanya. Dia juga. Lari sembari menikmati sunrise yang menyembul di ufuk timur, mengusir halimun yang pekat dan bening embun, bersua di sekolah, bertukar pikiran, saling bagi tulisan untuk kemudian diedit, menggambar, bersenda, dan beragam aktifitas lainnya. Dan itu tetap berlanjut sejak pertemuan kami di tahun pertama hingga tahun kedua sejak kami bertemu, kami masih tetap bersahabat baik laiknya pria dan wanita kebanyakan. Hingga kemudian ada rasa berbeda yang perlahan menghantui benak.
Aku masih memilih diam. Aku tak mau melukai hubungan persahabatan hanya karena perasaan cinta. Tersiksa sih iya, namun kisah serupa yang kemudian berakhir dengan permusuhan yang banyak mewarnai perjalanan hubungan persahabatan banyak kawan lain, mencegat ku untuk tidak terlalu berharap banyak. Tak apalah ku pendam perasaan ini, yang penting bertemu dengannya menjadi rutinitas tiap hari, berdekatan dengannya menjadi sering, dan bersenda menjadi selalu. Demikian, sikap dan sifatnya tetap menjadi candu bagi ku.
* * *
Kulirik jam di pergelangan tanganku, jarum kecilnya menunjuk angka 04.00 PM. Hujan masih deras mengguyur. Kulirik pak Salim, satpam di kompleks gedung kampus yang terlihat masih terkantuk-kantuk di Lobby gedung utama. Sejurus kemudian aku mulai lagi mengetik.
Atau sore itu, ah yah, salah satu sore yang tak terlupakan bagiku. Bagaimana ia mengenalkanku hangat mata hari di penghujung senja, meniti kecipak air di bibir pantai, menuntunku menghitung gemintang yang mengintip malu di jingga sore itu, mengajakku berkenalan dengan ranum bulan di tangga ke lima belas itu.
Sejenak merasa terlempar di sebuah titik, titik yang tak pernah aku singgahi sebelumnya, dimana mimpi dan realitas berkali-kali datang, memperebutkan sadarku, bahwa ini mimpi, bahwa ini nyata. Dan dalam kebingunganku itu, aku terkapar kaku, sesak nafasku, sebelum akhirnya aku menggelepar tak berdaya sembari mendesah, “Ahhhh!!!”.
Tak pernah ku bayangkan sebelumnya, di sepenggal episode sore itu, dimana aku dan dot membintanginya, benar-benar terjadi. Sama seperti episode-episode dari epik yang juga kubintangi kelak, di sela rentan waktu yang tak hanya sesaat.
Manis? Iya, tak terlupakan? Pasti, ketagihan? Tentu saja! Dan senasib dengan logika yang tak mampu menyadarkanku tentang kejadian sore itu, episode yang telah kami bintangi bersama juga perlahan kurasakan hanya menyiksa dan menyiksa.
Perlahan waktu dan jarak mulai membatasi pertemuan kami, intensitas pertemuan juga kian jarang, karena kami sudah tinggal di daerah yang berbeda. Kemudian pagi, siang, sore dan malamku menghampa, seperti ruang angkasa yang hampa, serasa hanya benda mati yang berjalan, mengitari arus normatif yang telah digaris oleh Rabb-nya, khidmat.
Hari-hari tetap berjalan sebagaimana wajarnya, tapi jiwaku tak lagi sinkron dengan jalur yang semestinya. Saat berjalan, ku rasakan sesuatu menghilang dari kehidupanku, saat beraktifitas, hanya hampa yang ku rasakan, dan saat melakukan hal sekecil apapun itu, tetap saja ada gunduk gundah yang terus menggerayang kehidupanku.
Terkadang kami menjelma selaksa pohon kurma dan bunga edelweis, sama-sama hidup, namun di tempat berbeda dan jauh, terkadang juga seperti bunga-bunga kertas atau bunga Tulipe yang duduk berdampingan sembari mengumbar senyum di taman Keikenhoff Belanda saat musim semi bertandang, seakan dengan pongah ingin berkata “lihatlah kami, penuh warna, menebar senyum pada setiap makhluk hidup, penawar jiwa yang lama beku karena lama digugu musim salju!”, begitu hidup, namun meski begitu, kami tetaplah sebuah tumbuh-tumbuhan, dimana warna kami akan terasa lebih hidup hanya jika duduk bersama.
* * *
Ku hirup udara sejenak, menikmati sejuk udara yang biasanya susah untuk ku temukan di Jakarta yang panas dan merangas ini. Hujan masih belum menampakkan ia akan mereda, awan kian menggunduki kelam lelangit kampus. Beberapa orang terlihat tengah termangu di kursi yang berderet rapi di balkon, menunggu hujan reda, sama sepertiku yang masih menunggu seraya mengetik, menuangkan sedikit kenangan masa lalu yang masih meremah di setiap sudut pikiran, hati dan jiwaku, agar sepenggal cerita dapat ku rajut, untuk ku kenang di kemudian waktu.
Kamu mungkin tau, atau setidaknya pernah mendengar istilah, “Mata adalah jendela hati!”. Setiap kali mendengar istilah ini, aku jadi teringat sebuah kejadian dimana lagi-lagi kami membintangi episode gerimis ini.
Di seperempat malam yang larut dan temaram dimana gerimis turun khidmat, kami tengah duduk di pelataran bangunan tua peninggalan kolonial. Berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing yang telah menjadi jeda jumpa kami selama beberapa waktu belakangan. Tak banyak yang berubah dengannya. Warna kulitnya, tubuhnya, mukanya pun tak banyak yang berubah. Masih manis seperti dulu kala, kecuali dua hal. Tatapan mata dan senyumnya yang kulihat kian manis dan menggenit. Membuatku tergerak untuk mendaratkan secuil cubit rasa sayang. Namun ku urungkan karena ku pikir sikap itu tak sopan pada wanita.
Sejak malam itu, kami kian intens bertukar kabar melalui layanan pesan singkat. Bertukar info, cerita dan berbagai hal tak penting lainnya. Dan aku senang melakukannya. Hingga sampai pada suatu ketika, tanggal 12 Juli 2009 saat gerimis kembali memberikan kehidupan di gemunduk tanah yang lama gersang, kami kembali memutar rekam jejak perjalanan pertemanan kami, tentang sore itu, tentang bagaimana ia mengenalkanku hangat mata hari di penghujung senja, meniti kecipak air di bibir pantai, lalu menuntunku menghitung gemintang yang mengintip malu di jingga sore itu, mengajakku berkenalan dengan ranum bulan di tangga ke lima belas itu.
Lagi-lagi aku menggelepar. Aku merasa berada di sebuah titik dimana aku tak lagi sadar tentang ruangan itu, tentang segala takut atas prasangka-prasangka masalalu yang hanya bisa membelenggu.
Sungguh, mendugapun aku tak berani! Terlebih hingga berhayal bahwa di suatu masa, kebersamaan antara kami akan kembali terulang! Maka sama dengan keterperangahan akan kejadian yang tidak diduga-duga itu, malam itu juga seakan menjadi titik kulminasi dari hubungan kami berdua. Kejadian yang ku pikir akan menjadi awal dari lembar-lembar catatan sejarah penuh warna perjalanan cintaku kelak, justru malam ini menjadi akhir dari hubungan kami. Aku kecewa dan... aku tetap sayang!
* * *
“Hy, gak balik ke kosan, Bro?”, ramah seorang teman menyapaku seraya menutup notebook Aplle-nya, “Yuk, ntar lagi, Say! Tanggung tinggal dikit lagi nih!”, ucapku sembari mereka kalimat yang akan ku jadikan ending dari tulisan ini. satu persatu mahasiswa yang tadi duduk berderet di kursi spiral balkon kampus pergi, termasuk temanku yang barusan menyapaku, hingga hanya tinggal beberapa saja.
Tak terasa gerimis mulai mereda, maka harus ku sudahi cerita sore ini, sepenggal kisah tentang gerimis, tentang dera yang kerap menggugu di benak dan pikiranku, terlebih ketika siklus musim kembali berganti memasuki penghujan.
Dan hingga kini, aku masih belum tau bagaimana dia memandangku, seperti apa pandangannya tentang diriku, anggapan dia terhadap statusku. Sungguh dia abstrak sama sekali, sama abstraknya dengan perjalanan hubungan kami yang masih ambigu, sahabat, teman tapi mesra, atau pacaran. Tak pernah ada kalimat seperti itu dalam kamus perjalanan hubungan kami. Ah... Semakin abstrak saja hidupku!
Suatu sore di Sky Dining The Plasa Semanggi. Secangkir kopi hangat duduk manis di atas meja kayu minimalis yang dinaungi kanopi hijau ala Eropa, menemani hangat sore yang mulai beranjak malam.
Seorang wanita berumur 20 tahunan duduk manis menikmati udara sore Jakarta yang masih menyisa ranggas dan panas. Syarifah Alfasana nama lengkapnya, namun ia lebih senang dipanggil Reva. Lebih marketable begitu alasannya ketika ditanya kawannya di kampus.
Rambut panjangnya yang hitam pekat menambah ayu perawakannya. Matanya sesekali menatap pelanggan restoran, atau orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya, sembari sesekali membanding-bandingkan gambar seorang pria yang tersimpan rapat di salah satu folder handphone-nya.
“ Mana ya? Kok belum nongol-nongol juga? ”, ucapnya lirih sembari tetap awas melihat lalu-lalang orang di sekitarnya. Ada gurat kesal di kedalaman tatap matanya. Meski jam telah menunjukkan angka 16.45, keterlambatan selama 40 menit dari kesepakatan sebelumnya, namun ia berusaha untuk tetap sabar.
Sejauh ini, informasi yang dikantonginya tentang lelaki itu kurang lebih: manis, cakep, tampan, menarik, tajir, pintar, cerdas, talented dan tentu saja mapan, namun demikian, dia paling tidak suka dibohongi, tapi itu bukan masalah, toh dari semua informasi yang dia tanyakan saat chat, tidak ada satupun yang dijawab salah, apalagi sampai mengada-ada, dan satu lagi hal yang sangat tidak ia sukai, namun apa itu ya? Ah Reva lupa.
Beberapa pelayan terlihat tengah sibuk kesana-kemari membawa nampan yang berisi makanan, makanan yang asing baginya, karena semenjak dia pergi ke kota Metropolitan, baru kali ini dia makan di tempat seperti ini. ‘Tempat yang akan merubah hidupnya’, simpulnya. Seringai mengembang di mukanya.
Yah tentu saja, bagaimana mungkin orang yang ditunggu-tunggunya adalah orang miskin, label yang akrab dengan dirinya dan kehidupan orang-orang di desanya, jika di pertemuan pertama saja sudah mengajak bertemu di tempat senyaman ini? Ia mencoba menguatkan spekulasinya.
Tapi kenapa dia lambat? Ah mungkin saja dia tengah terjebak macet, mungkin juga dia tengah berada di dalam mobil mewahnya, mobil yang kerap dilihatnya di album foto pribadi facebook lelaki itu, lelaki impian, begitu ia menyebutnya, dan bukankah jam-jam seperti sekarang macet adalah problem yang tidak bisa ditawar-tawar lagi? Lalu mengapa dia tidak memilih naik Busway saja! Bukankah naik busway lebih cepat sampainya! atau mungkin dia tengah berada di dalam ruangan meeting bersama investor-investor asing, kesibukan yang kerap mengisi hampir tiap waktunya, seperti cerita dia ketika chating. Beragam spekulasi bergumul di benaknya, membuat pikirannya kacau. Siluet rasa pesimis kemudian menari-nari.
Dan orang yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seorang pria, berumur kurang lebih 27 tahunan datang mendekat. Umur yang matang untuk menjalin hubungan serius! Seraut wajah yang ternyata jauh lebih tampan dari foto-foto dalam album facebook yang telah dia simpan di memori handphone-nya. Debar aneh tiba-tiba menjalari tubuhnya. Finally!
“Slamat sore”, sapanya datar. Suara yang khas, berkarakter, dan merdu sekali didengarnya. Dan debar itu kian menggila, “ Reva?”, tanyanya memastikan. Diiringi senyuman manis, wanita itu mengangguk, “Maaf, tadi masih ada meeting di kantor!”, susulnya sembari meletakkan sebuah tas berisi Notebook.
Selama beberapa saat lamanya Reva masih tertegun dengan lelaki di depannya. Penyakit akut yang biasa menderanya ketika berhadapan dengan lelaki tampan kembali menyerang. Ya, meski banyak orang mengatakan tampan itu relativ, namun lelaki yang satu ini adalah pengecualian, sungguh dia mutlak tampan.
“Sudah pesan makanan?”, lelaki itu mencoba mencairkan suasana.
“Baru minuman saja”, Reva mencoba menetralisir perasaannya. Hmh, semangat Rev, ini adalah awal untuk merubah kehidupan mu. Satu langkah lagi, maka kamu akan say good bye pada dunia kemiskinan. Reva menyemangati diri.
“Nikmat sekali ya suasana di tempat ini, mengingatkan ku pada Kafe Le Procope, berkarakter dan sangat berbeda dari tempat kebanyakan di daerah sini”. Apa katanya? Kafe Le Proc? Porc? Pocropoc? Ah, susah sekali melafalkannya, sesusah mentralisir suasana sore ini. Tempat makan seperti apa itu? Abstrak. “sebuah kafe tertua di 13 Rue de l'Ancienne de comedie 6 Arrondisement Perancis”, lanjut lelaki itu panjang lebar.
Perlahan suasan mulai netral. Seperti kebanyakan kopdar yang jamak dikenal masyarakat umum, pertemuan itu dimulai dengan beberapa ‘prosesi’, semisal bertanya kabar, saling mengenalkan diri satu sama lain lebih dalam dari pada perkenalan mereka di dunia maya, berbagi cerita, dan berbagai ihwal klise lainnya. Ya klise, tapi tetap berarti sekali bagi Reva.
Agak lama berbincang-bincang, Rifat mengenalkan diri bahwa ia bekerja sebagai seorang konsultan di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Belum lama dia bekerja di perusahaan tersebut, karena beberapa tahun sebelumnya di tengah menempuh kuliah di Perancis, atas beasiswa dari pemerintah sana, serta beberapakali sempat mengikuti shortcourse di beberapa negara di Eropa dan Amerika karena beasiswa juga. Sebuah pengalaman yang sangat bernilai, tak mengherankan jika sepulangnya dari negeri Eifeel itu, ia mendapat banyak tawaran untuk bekerja di berbagai perusahaan ternama di berbagai kota di tanah air.
Aih... sudah kaya, baik, pintar lagi. Nambah satu poin untuk lelaki yang satu ini. Pikir Reva. Selanjutnya berbagai topik pembicaraan mengalir diantara mereka berdua. Mulai dari keluarga, hobby hingga kesibukan masing-masing.
“ Oh jadi kamu masih kuliah?“, Rifat, nama lelaki itu bertanya lebih dalam tentang Reva.
“Iya, masih semester IV”.
“Ngambil prodi apa?”
“Komunikasi...!!!” dan Penyiaran Islam, lanjutnya dalam hati.
Ah, pertanyaan yang enggak penting dan bukan pertanyaan yang diharapkan Reva. Seharusnya kan tanya hal lain yang lebih menyenangkan dari pada tentang kuliah ku! Masalah aku lagi deket sama siapa kek! Aku pernah pacaran berapa kali kek! Atau aku biasanya ke salon berapa kali dalam seminggu! Atau apalah, yang penting bukan tentang kuliah ku. Gerutunya dalam hati.
“Hello!”
“Aih..., di hmh... ada deh...!”, kilahnya blingsatan sembari tersenyum malu. Disambarnya Pan Cake yang tergeletak di atas piring persegi empat, dan perlahan masuk kemulutnya “eh, mas Rifat udah punya pacar, tah?”, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ada senyum simpul yang mengembang di bibir lelaki tampan itu. Senyum yang menelisik, mencari tahu keanehan dari jawaban Reva. Seakan ada yang memberitahu, bahwa ada yang janggal dari jawabannya. Oh God!
“Pacar? Hmh... belum ada nih, belum ada yang mau!”.
“Bohong, masa setampan dan semenarik mas Rifat gak ada cewek yang mau?”.
“Beneran!, makanya sekarang lagi nyari. Gak enak juga sih sering ditanya kapan mau nikah, kapan mau tunangan, kapan mau mengenalkan calon istri dan banyak lagi pertanyaan lain sejenis. Padahal pacar saja belum ada!”
“Memang teman dekat nggak ada mas?”.
“Ada sih, tapi kan kalau udah jadi teman, terasa aneh jika kemudian berubah status menjadi Istri. Hahaha...!!!”, ia tertawa.
Reva tersenyum dikulum.
“Niatnya sih mau segera naik pelaminan, tapi kalo gak ada chemistry, susah juga kan?”, diseruputnya Coffee Latte yang sedari tadi duduk tepat di samping piring persegi empat berisi Pan Cake, “ terlebih kesibukan ku di berbagai LSM dan organisasi lain, memaksaku untuk tidak terlalu sering berpikir tentang menikah!”, matanya di lempar ke gedung-gedung pencakar langit kota Jakarta. Beberapa saat lamanya, jeda menyela perbincangan antara mereka. pengunjung Sky Dining kian banyak. “Eh kamu belum jawab pertanyaan ku, kamu kuliah dimana?”, sekali lagi ia menyeruput Coffee Latte-nya.
“Santai saja lagi, tidak ada masalah bagiku kamu kuliah dimana saja. Kan yang penting kualitas kita pribadi!”, menyemangati.
“Umh... UIN, mas!” jawabnya malu-malu.
Sejenak lelaki di depannya terlihat berpikir, lalu mengangguk, “Oh..., Ciputat ya?”. Ia menyimpulkan. Reva mengangguk pelan. Ah... kenapa dia bisa tau sih kalau dia kuliah di sana?
“Sepengetahuan ku sih, bukannya di UIN itu yang ada hanya jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam bukan? Bukan pure Komunikasi maksudnya”, ia menelisik. Anjrit! Kok bisa sejauh itu dia mengenal UIN! Serunya dalam hati. Reva tersudut. Ia bagai maling yang kepergok mencuri ayam.
“Oh... KPI tah? Kenapa mesti malu-malu gitu sih kalo hanya untuk menyebutkan kampus dan jurusan mu itu, Rev?”.
“Malu, Mas!””
“Malu kenapa?”.
“Yang berlabel Islam suka enggak marketable!” kemudian ia tertawa. sekali kena air, mending mandi ajah sekalian. Sekali ketahuan, ya sudah kasih tau ajah semuanya. Simpulnya dalam hati.
“Oh...!”, Rifat mengerti, “Reva yakin semua spekulasi itu benar adanya?” jeda sejenak. Dihirupnya udara petang itu. “Sepertinya ada yang salah dengan kesimpulan mu sekarang”, ia melanjutkan. “Tahukah Reva bahwa peradaban-peradaban maju dari zaman dulu hingga sekarang itu terbangun karena agama kita?”.
Reva diam. Tidak mengerti dengan sikap Rifat yang kemudian berubah drastis. “Peradaban Mesir terbangun karena ada Nabi Musa disana, Peradaban Islam pun juga sama karena nabi Muhammad, kejayaan Turki Usmani pun juga sama. Bahkan orang-orang Eropa dan Amerika sekalipun patutnya berterimakasih terhadap Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, salah dua dari banyak Ilmuan Islam lainnya yang telah menyelamatkan, menjaga bahkan mengembangkan ilmu nenek moyang mereka yang mulai ditinggalkan saat negara barat mengidap penyakit Dark Age, tak terkecuali peradaban-peradaban lain yang ada di dunia ini”.
“Wah, sepertinya kak Rifat tau benar tentang agama”, Reva mencoba mengembalikan lagi suasana hangat tadi, “dari mana belajarnya? Bukankah saat ini kakak sibuk dengan kerja, organisasi dan LSM, sementara tahun-tahun kemaren kuliah di luar negeri yang nota bene masyarakatnya non-muslim?”. Rifat diam.
Reva baru tersadar, bahwa disamping kebohongan, ada satu lagi sifat yang paling Rifat tidak suka. Rasa ketidak percaya dirian. Sebab baginya, tidak percaya diri berarti tidak percaya terhadap Tuhan, tidak percaya terhadap makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan-Nya. Ah, kenapa aku bisa segoblok ini? Rutuknya. Kemudian bayang-bayang kemiskinan kembali menggerayangi benaknya. Ah kenapa ia tidak menjawab dengan benar saja, penuh dengan kepercaya dirian? Sikap yang menjadi alasan Rifat mencintai?
“ Sebab aku S1 di UIN”. Lalu ia pergi.
Sore telah tenggelam sempurna, berganti malam yang pekat. Separuh jiwanya pergi. Di tatapnya gedung-gedung pencakar langit. Ada kesal, ada sesal, namun perasaan itu kini tak lagi berguna.