Kamis, 22 Juli 2010

Menunggu Hujan



Awan hitam mengarak di langit-langit kampus sore ini. Sepertinya hujan akan mengguyur! Lalu udara menghembus, menerpa kulit, menyisakan dingin yang gigil. Setitik, dua titik, bertitik-titik air turun dari langit, hinggap di dedahan pohon cemara yang berjejer rapi di sekeliling taman kampus, sebelum akhirnya ia jatuh ke tanah. Aroma khas tanah menyeruak, membiaskan sepenggal kisah, menggiring imaji pada romantisme masa lalu, romantisme yang ku yakini hanya aku saja yang merasakannya. Hmh,,, nikmatnya.
Niatnya selesai jam mata kuliah pak Teguh Santosa, dosen pada matakuliah Negosiasi dan Resolusi Konflik langsung balik ke kosan, tapi agaknya cuaca memang tidak mengijinkan, maka sembari menanti hujan mereda, aku akan ceritakan padamu sepenggal kisah tentang aku dan seseorang yang  istimewa bagiku, istimewa karena hanya dia saja yang mampu membuat hidupku lebih berwarna, membuat hidupku nyaman dan... abstrak! Bah, selalu!
Well, Tak usahlah ku sebut siapa nama yang sesungguhnya, toh walaupun ku sebutkan, aku yakin tak akan ada seorangpun yang mengenal dia, bahkan dengan bantuan data base kependudukan milik catatan sipil negara sekalipun!.
Baiklah, langsung saja. Dot, ku memanggilnya, memanggilnya dalam hati maksudku, sebab kata Dot tak pernah kulafalkan ketika kami saling bertatap, atau saat bersapa dalam pesawat telepon, pun juga rerajut kalimat yang biasa ku kirimkan melalui layanan pesan pendek. Tak pernah sama sekali, sebab hubungan antara kami berdua memang amat terlalu abstrak.
Kenapa dot? Karena bagiku, ia tak ubahnya sebuah titik, noda, noktah, dan kecil.  Meski ia hanya sebatas titik, namun tak akan bisa mengembalikan putih warna asli sebuah kertas. Seperti semua tentangnya yang masih kerap mengisi pikiran dan perasaan, realitas maupun mimpi. Terlebih saat musim penghujan seperti sekarang. Sangat menggangu! Hah...
Tak ada yang istimewa dari pertemuan pertama kami. Baik situasi dan kondisinya. Semua tenang tak ada riak sama sekali. Aku masih tetap melaksanakan aktifitasku seperti biasanya. Dia juga. Lari sembari menikmati sunrise yang menyembul di ufuk timur, mengusir halimun yang pekat dan bening embun, bersua di sekolah, bertukar pikiran, saling bagi tulisan untuk kemudian diedit, menggambar, bersenda, dan beragam aktifitas lainnya. Dan itu tetap berlanjut sejak pertemuan kami di tahun pertama hingga tahun kedua sejak kami bertemu, kami masih tetap bersahabat baik laiknya pria dan wanita kebanyakan. Hingga kemudian ada rasa berbeda yang perlahan menghantui benak.
Aku masih memilih diam. Aku tak mau melukai hubungan persahabatan hanya karena perasaan cinta. Tersiksa sih iya, namun kisah serupa yang kemudian berakhir dengan permusuhan yang banyak mewarnai perjalanan hubungan persahabatan banyak kawan lain, mencegat ku untuk tidak terlalu berharap banyak. Tak apalah ku pendam perasaan ini, yang penting bertemu dengannya menjadi rutinitas tiap hari, berdekatan dengannya menjadi sering, dan bersenda menjadi selalu. Demikian, sikap dan sifatnya tetap menjadi candu bagi ku.
*          *          *
Kulirik jam di pergelangan tanganku, jarum kecilnya menunjuk angka 04.00 PM. Hujan masih deras mengguyur. Kulirik pak Salim, satpam di kompleks gedung kampus yang terlihat masih terkantuk-kantuk di Lobby gedung utama. Sejurus kemudian aku mulai lagi mengetik.
Atau sore itu, ah yah, salah satu sore yang tak terlupakan bagiku. Bagaimana ia mengenalkanku hangat mata hari di penghujung senja, meniti kecipak air di bibir pantai, menuntunku menghitung gemintang yang mengintip malu di jingga sore itu, mengajakku berkenalan dengan ranum bulan di tangga ke lima belas itu.
Sejenak merasa terlempar di sebuah titik, titik yang tak pernah aku singgahi sebelumnya, dimana mimpi dan realitas berkali-kali datang, memperebutkan sadarku, bahwa ini mimpi, bahwa ini nyata. Dan dalam kebingunganku itu, aku terkapar kaku, sesak nafasku, sebelum akhirnya aku menggelepar tak berdaya sembari mendesah, “Ahhhh!!!”.
Tak pernah ku bayangkan sebelumnya, di sepenggal episode sore itu, dimana aku dan dot membintanginya, benar-benar terjadi. Sama seperti episode-episode dari epik yang juga kubintangi kelak, di sela rentan waktu yang tak hanya sesaat.
Manis? Iya, tak terlupakan? Pasti, ketagihan? Tentu saja! Dan senasib dengan logika yang tak mampu menyadarkanku tentang kejadian sore itu, episode yang telah kami bintangi bersama juga perlahan kurasakan hanya menyiksa dan menyiksa.
Perlahan waktu dan jarak mulai membatasi pertemuan kami, intensitas pertemuan juga kian jarang, karena kami sudah tinggal di daerah yang berbeda. Kemudian pagi, siang, sore dan malamku menghampa, seperti ruang angkasa yang hampa, serasa hanya benda mati yang berjalan, mengitari arus normatif yang telah digaris oleh Rabb-nya, khidmat.
Hari-hari tetap berjalan sebagaimana wajarnya, tapi jiwaku tak lagi sinkron dengan jalur yang semestinya. Saat berjalan, ku rasakan sesuatu menghilang dari kehidupanku, saat beraktifitas, hanya hampa yang ku rasakan, dan saat melakukan hal sekecil apapun itu, tetap saja ada gunduk gundah yang terus menggerayang kehidupanku.
Terkadang kami menjelma selaksa pohon kurma dan bunga edelweis, sama-sama hidup, namun di tempat berbeda dan jauh, terkadang juga seperti bunga-bunga kertas atau bunga Tulipe yang duduk berdampingan sembari mengumbar senyum di taman Keikenhoff Belanda saat musim semi bertandang, seakan dengan pongah ingin berkata “lihatlah kami, penuh warna, menebar senyum pada setiap makhluk hidup, penawar jiwa yang lama beku karena lama digugu musim salju!”, begitu hidup, namun meski begitu, kami tetaplah sebuah tumbuh-tumbuhan, dimana warna kami akan terasa lebih hidup hanya jika duduk bersama.
*          *          *
Ku hirup udara sejenak, menikmati sejuk udara yang biasanya susah untuk ku temukan di Jakarta yang panas dan merangas ini. Hujan masih belum menampakkan ia akan mereda, awan kian menggunduki kelam lelangit kampus. Beberapa orang terlihat tengah termangu di kursi yang berderet rapi di balkon, menunggu hujan reda, sama sepertiku yang masih menunggu seraya mengetik, menuangkan sedikit kenangan masa lalu yang masih meremah di setiap sudut pikiran, hati dan jiwaku, agar sepenggal cerita dapat ku rajut, untuk ku kenang di kemudian waktu.
Kamu mungkin tau, atau setidaknya pernah mendengar istilah, “Mata adalah jendela hati!”. Setiap kali mendengar istilah ini, aku jadi teringat sebuah kejadian dimana lagi-lagi kami membintangi episode gerimis ini.
Di seperempat malam yang larut dan temaram dimana gerimis turun khidmat, kami tengah duduk di pelataran bangunan tua peninggalan kolonial. Berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing yang telah menjadi jeda jumpa kami selama beberapa waktu belakangan. Tak banyak yang berubah dengannya. Warna kulitnya, tubuhnya, mukanya pun tak banyak yang berubah. Masih manis seperti dulu kala, kecuali dua hal. Tatapan mata dan senyumnya yang kulihat kian manis dan menggenit. Membuatku tergerak untuk mendaratkan secuil cubit rasa sayang. Namun ku urungkan karena ku pikir sikap itu tak sopan pada wanita.
Sejak malam itu, kami kian intens bertukar kabar melalui layanan pesan singkat. Bertukar info, cerita dan berbagai hal tak penting lainnya. Dan aku senang melakukannya. Hingga sampai pada suatu ketika, tanggal 12 Juli 2009 saat gerimis kembali memberikan kehidupan di gemunduk tanah yang lama gersang, kami kembali memutar rekam jejak perjalanan pertemanan kami, tentang sore itu, tentang bagaimana ia mengenalkanku hangat mata hari di penghujung senja, meniti kecipak air di bibir pantai, lalu menuntunku menghitung gemintang yang mengintip malu di jingga sore itu, mengajakku berkenalan dengan ranum bulan di tangga ke lima belas itu.
Lagi-lagi aku menggelepar. Aku merasa berada di sebuah titik dimana aku tak lagi sadar tentang ruangan itu, tentang segala takut atas prasangka-prasangka masalalu yang hanya bisa membelenggu.
Sungguh, mendugapun aku tak berani! Terlebih hingga berhayal bahwa di suatu masa, kebersamaan antara kami akan kembali terulang! Maka sama dengan keterperangahan akan kejadian yang tidak diduga-duga itu, malam itu juga seakan menjadi titik kulminasi dari hubungan kami berdua. Kejadian yang ku pikir akan menjadi awal dari lembar-lembar catatan sejarah penuh warna perjalanan cintaku kelak, justru malam ini menjadi akhir dari hubungan kami. Aku kecewa dan... aku tetap sayang!
*          *          *
 “Hy, gak balik ke kosan, Bro?”, ramah seorang teman menyapaku seraya menutup notebook Aplle-nya, “Yuk, ntar lagi, Say! Tanggung tinggal dikit lagi nih!”, ucapku sembari mereka kalimat yang akan ku jadikan ending dari tulisan ini. satu persatu mahasiswa yang tadi duduk berderet di kursi spiral balkon kampus pergi, termasuk temanku yang barusan menyapaku, hingga hanya tinggal beberapa saja.
Tak terasa gerimis mulai mereda, maka harus ku sudahi cerita sore ini, sepenggal kisah tentang gerimis, tentang dera yang kerap menggugu di benak dan pikiranku, terlebih ketika siklus musim kembali berganti memasuki penghujan.
Dan hingga kini, aku masih belum tau bagaimana dia memandangku, seperti apa pandangannya tentang diriku, anggapan dia terhadap statusku. Sungguh dia abstrak sama sekali, sama abstraknya dengan perjalanan hubungan kami yang masih ambigu, sahabat, teman tapi mesra, atau pacaran. Tak pernah ada kalimat seperti itu dalam kamus perjalanan hubungan kami. Ah... Semakin abstrak saja hidupku!

Senin, 14 Juni 2010

kopi darat


Suatu sore di Sky Dining The Plasa Semanggi. Secangkir kopi hangat duduk manis di atas meja kayu minimalis yang dinaungi kanopi hijau ala Eropa, menemani hangat sore yang mulai beranjak malam.
Seorang wanita berumur 20 tahunan duduk manis menikmati udara sore Jakarta yang masih menyisa ranggas dan panas. Syarifah Alfasana nama lengkapnya, namun ia lebih senang dipanggil Reva. Lebih marketable begitu alasannya ketika ditanya kawannya di kampus.
Rambut panjangnya yang hitam pekat menambah ayu perawakannya. Matanya sesekali menatap pelanggan restoran, atau orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya, sembari sesekali membanding-bandingkan gambar seorang pria yang tersimpan rapat di salah satu folder handphone-nya.
“ Mana ya? Kok belum nongol-nongol juga? ”, ucapnya lirih sembari tetap awas melihat lalu-lalang orang di sekitarnya. Ada gurat kesal di kedalaman tatap matanya. Meski jam telah menunjukkan angka 16.45, keterlambatan selama 40 menit dari kesepakatan sebelumnya, namun ia berusaha untuk tetap sabar.
Sejauh ini, informasi yang dikantonginya tentang lelaki itu kurang lebih: manis, cakep, tampan, menarik, tajir, pintar, cerdas, talented dan tentu saja mapan, namun demikian, dia paling tidak suka dibohongi, tapi itu bukan masalah, toh dari semua informasi yang dia tanyakan saat chat, tidak ada satupun yang dijawab salah, apalagi sampai mengada-ada, dan satu lagi hal yang sangat tidak ia sukai, namun apa itu ya? Ah Reva lupa.
Beberapa pelayan terlihat tengah sibuk kesana-kemari membawa nampan yang berisi makanan, makanan yang asing baginya, karena semenjak dia pergi ke kota Metropolitan, baru kali ini dia makan di tempat seperti ini. ‘Tempat yang akan merubah hidupnya’, simpulnya. Seringai mengembang di mukanya.
Yah tentu saja, bagaimana mungkin orang yang ditunggu-tunggunya adalah orang miskin, label yang akrab dengan dirinya dan kehidupan orang-orang di desanya, jika di pertemuan pertama saja sudah mengajak bertemu di tempat senyaman ini? Ia mencoba menguatkan spekulasinya.
Tapi kenapa dia lambat? Ah mungkin saja dia tengah terjebak macet, mungkin juga dia tengah berada di dalam mobil mewahnya, mobil yang kerap dilihatnya di album foto pribadi facebook lelaki itu, lelaki impian, begitu ia menyebutnya, dan bukankah jam-jam seperti sekarang macet adalah problem yang tidak bisa ditawar-tawar lagi? Lalu mengapa dia tidak memilih naik Busway saja! Bukankah naik busway lebih cepat sampainya! atau mungkin dia tengah berada di dalam ruangan meeting bersama investor-investor asing, kesibukan yang kerap mengisi hampir tiap waktunya, seperti cerita dia ketika chating. Beragam spekulasi bergumul di benaknya, membuat pikirannya kacau. Siluet rasa pesimis kemudian menari-nari.
Dan orang yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seorang pria, berumur kurang lebih 27 tahunan datang mendekat. Umur yang matang untuk menjalin hubungan serius! Seraut wajah yang ternyata jauh lebih tampan dari foto-foto dalam album facebook yang telah dia simpan di memori handphone-nya. Debar aneh tiba-tiba menjalari tubuhnya. Finally!
“Slamat sore”, sapanya datar. Suara yang khas, berkarakter, dan merdu sekali didengarnya. Dan debar itu kian menggila, “ Reva?”, tanyanya memastikan. Diiringi senyuman manis, wanita itu mengangguk, “Maaf, tadi masih ada meeting di kantor!”, susulnya sembari meletakkan sebuah tas berisi Notebook.
Selama beberapa saat lamanya Reva masih tertegun dengan lelaki di depannya. Penyakit akut yang biasa menderanya ketika berhadapan dengan lelaki tampan kembali menyerang. Ya, meski banyak orang mengatakan tampan itu relativ, namun lelaki yang satu ini adalah pengecualian, sungguh dia mutlak tampan.
“Sudah pesan makanan?”, lelaki itu mencoba mencairkan suasana.
“Baru minuman saja”, Reva mencoba menetralisir perasaannya. Hmh, semangat Rev, ini adalah awal untuk merubah kehidupan mu. Satu langkah lagi, maka kamu akan say good bye pada dunia kemiskinan. Reva menyemangati diri.
“Nikmat sekali ya suasana di tempat ini, mengingatkan ku pada Kafe Le Procope, berkarakter dan sangat berbeda dari tempat kebanyakan di daerah sini”. Apa katanya? Kafe Le Proc? Porc? Pocropoc? Ah, susah sekali melafalkannya, sesusah mentralisir suasana sore ini. Tempat makan seperti apa itu? Abstrak. “sebuah kafe tertua di 13 Rue de l'Ancienne de comedie 6 Arrondisement Perancis”, lanjut lelaki itu panjang lebar.
Perlahan suasan mulai netral. Seperti kebanyakan kopdar yang jamak dikenal masyarakat umum, pertemuan itu dimulai dengan beberapa ‘prosesi’, semisal bertanya kabar, saling mengenalkan diri satu sama lain lebih dalam dari pada perkenalan mereka di dunia maya, berbagi cerita, dan berbagai ihwal klise lainnya. Ya klise, tapi tetap berarti sekali bagi Reva.
Agak lama berbincang-bincang, Rifat mengenalkan diri bahwa ia bekerja sebagai seorang konsultan di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Belum lama dia bekerja di perusahaan tersebut, karena beberapa tahun sebelumnya di tengah menempuh kuliah di Perancis, atas beasiswa dari pemerintah sana, serta beberapakali sempat mengikuti shortcourse di beberapa negara di Eropa dan Amerika karena beasiswa juga. Sebuah pengalaman yang sangat bernilai, tak mengherankan jika sepulangnya dari negeri Eifeel itu, ia mendapat banyak tawaran untuk bekerja di berbagai perusahaan ternama di berbagai kota di tanah air.
Aih... sudah kaya, baik, pintar lagi. Nambah satu poin untuk lelaki yang satu ini. Pikir Reva. Selanjutnya berbagai topik pembicaraan mengalir diantara mereka berdua. Mulai dari keluarga, hobby hingga kesibukan masing-masing.
“ Oh jadi kamu masih kuliah?“, Rifat, nama lelaki itu bertanya lebih dalam tentang Reva.
“Iya, masih semester IV”.
“Ngambil prodi apa?”
“Komunikasi...!!!” dan Penyiaran Islam, lanjutnya dalam hati.
Nice major!”, simpul Rifat sembari mengangguk pelan. “di mana?” susulnya.
Ah, pertanyaan yang enggak penting dan bukan pertanyaan yang diharapkan Reva. Seharusnya kan tanya hal lain yang lebih menyenangkan dari pada tentang kuliah ku! Masalah aku lagi deket sama siapa kek! Aku pernah pacaran berapa kali kek! Atau aku biasanya ke salon berapa kali dalam seminggu! Atau apalah, yang penting bukan tentang kuliah ku. Gerutunya dalam hati.
“Hello!”
“Aih..., di hmh... ada deh...!”, kilahnya blingsatan sembari tersenyum malu. Disambarnya Pan Cake yang tergeletak di atas piring persegi empat, dan perlahan masuk kemulutnya “eh, mas Rifat udah punya pacar, tah?”, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ada senyum simpul yang mengembang di bibir lelaki tampan itu. Senyum yang menelisik, mencari tahu keanehan dari jawaban Reva. Seakan ada yang memberitahu, bahwa ada yang janggal dari jawabannya. Oh God!
“Pacar? Hmh... belum ada nih, belum ada yang mau!”.
“Bohong, masa setampan dan semenarik mas Rifat gak ada cewek yang mau?”.
“Beneran!, makanya sekarang lagi nyari. Gak enak juga sih sering ditanya kapan mau nikah, kapan mau tunangan, kapan mau mengenalkan calon istri dan banyak lagi pertanyaan lain sejenis. Padahal pacar saja belum ada!”
“Memang teman dekat nggak ada mas?”.
“Ada sih, tapi kan kalau udah jadi teman, terasa aneh jika kemudian berubah status menjadi Istri. Hahaha...!!!”, ia tertawa.
Reva tersenyum dikulum.
“Niatnya sih mau segera naik pelaminan, tapi kalo gak ada chemistry, susah juga kan?”, diseruputnya Coffee Latte yang sedari tadi duduk tepat di samping piring persegi empat berisi Pan Cake, “ terlebih kesibukan ku di berbagai LSM dan organisasi lain, memaksaku untuk tidak terlalu sering berpikir tentang menikah!”, matanya di lempar ke gedung-gedung pencakar langit kota Jakarta. Beberapa saat lamanya, jeda menyela perbincangan antara mereka. pengunjung Sky Dining kian banyak. “Eh kamu belum jawab pertanyaan ku, kamu kuliah dimana?”, sekali lagi ia menyeruput Coffee Latte-nya.
“Ah enggak usah lah mas, bukan kampus ternama kok!”, Reva berkilah.
“Santai saja lagi, tidak ada masalah bagiku kamu kuliah dimana saja. Kan yang penting kualitas kita pribadi!”, menyemangati.
“Umh... UIN, mas!” jawabnya malu-malu.
Sejenak lelaki di depannya terlihat berpikir, lalu mengangguk, “Oh..., Ciputat ya?”. Ia menyimpulkan. Reva mengangguk pelan. Ah... kenapa dia bisa tau sih kalau dia kuliah di sana?
“Sepengetahuan ku sih, bukannya di UIN itu yang ada hanya jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam bukan? Bukan pure Komunikasi maksudnya”, ia menelisik. Anjrit! Kok bisa sejauh itu dia mengenal UIN! Serunya dalam hati. Reva tersudut. Ia bagai maling yang kepergok mencuri ayam.
“Hehehe, iya mas, KPI maksudku!”, akunya malu-malu.
“Oh... KPI tah? Kenapa mesti malu-malu gitu sih kalo hanya untuk menyebutkan kampus dan jurusan mu itu, Rev?”.
“Malu, Mas!””
“Malu kenapa?”.
“Yang berlabel Islam suka enggak marketable!” kemudian ia tertawa. sekali kena air, mending mandi ajah sekalian. Sekali ketahuan, ya sudah kasih tau ajah semuanya. Simpulnya dalam hati.
“Oh...!”, Rifat mengerti, “Reva yakin semua spekulasi itu benar adanya?” jeda sejenak. Dihirupnya udara petang itu. “Sepertinya ada yang salah dengan kesimpulan mu sekarang”, ia melanjutkan. “Tahukah Reva bahwa peradaban-peradaban maju dari zaman dulu hingga sekarang itu terbangun karena agama kita?”.
Reva diam. Tidak mengerti dengan sikap Rifat yang kemudian berubah drastis. “Peradaban Mesir terbangun karena ada Nabi Musa disana, Peradaban Islam pun juga sama karena nabi Muhammad, kejayaan Turki Usmani pun juga sama. Bahkan orang-orang Eropa dan Amerika sekalipun patutnya berterimakasih terhadap Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, salah dua dari banyak Ilmuan Islam lainnya yang telah menyelamatkan, menjaga bahkan mengembangkan ilmu nenek moyang mereka yang mulai ditinggalkan saat negara barat mengidap penyakit Dark Age, tak terkecuali peradaban-peradaban lain yang ada di dunia ini”.
“Wah, sepertinya kak Rifat tau benar tentang agama”, Reva mencoba mengembalikan lagi suasana hangat tadi, “dari mana belajarnya? Bukankah saat ini kakak sibuk dengan kerja, organisasi dan LSM, sementara tahun-tahun kemaren kuliah di luar negeri yang nota bene masyarakatnya non-muslim?”. Rifat diam.
Reva baru tersadar, bahwa disamping kebohongan, ada satu lagi sifat yang paling Rifat tidak suka. Rasa ketidak percaya dirian. Sebab baginya, tidak percaya diri berarti tidak percaya terhadap Tuhan, tidak percaya terhadap makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan-Nya. Ah, kenapa aku bisa segoblok ini? Rutuknya. Kemudian bayang-bayang kemiskinan kembali menggerayangi benaknya. Ah kenapa ia tidak menjawab dengan benar saja, penuh dengan kepercaya dirian? Sikap yang menjadi alasan Rifat mencintai?
“ Sebab aku S1 di UIN”. Lalu ia pergi.
Sore telah tenggelam sempurna, berganti malam yang pekat. Separuh jiwanya pergi. Di tatapnya gedung-gedung pencakar langit. Ada kesal, ada sesal, namun perasaan itu kini tak lagi berguna.

Belajar Dari Dua Sisi Mata Uang

Suatu sore, mendung menggelayut di lelangit Pesantren Banyuanyar. Di salah satu sudut kompleks kantor yang berjejer tepat di samping koperasi pesantren, terlihat beberapa orang dengan pakaian ala santri, tengah sibuk memilah sembari menyusun berkas-berkas berisi tabel pendapatan dan omzet BMT, perbankan islam yang sepenuhnya dikelola pesantren.

Grafik menunjukkan pendapatan yang diperoleh BMT sejak pertama dibuat sekitar 1,5 tahun lalu, tepatnya awal tahun 2009, memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan, bahkan beberapa bulan belakangan, peningkatannya berada di atas kisaran 50%, sebuah pencapaian yang cukup baik mengingat umurnya yang masih sangat baru. Karenanya tak mengherankan jika kemudian BMT yang jamak dikenal masyarakat Madura khususnya kota Pamekasan dengan sebutan NURI ini kemudian mulai mengepakkan sayapnya dengan membuka cabang di beberapa kecamatan, baik di kota Pamekasan sendiri maupun kota lain semisal Sampang, Bangkalan dan Sumenep. Beberapa cabang telah diresmikan, sementara beberapa lagi masih berstatus embrio.

Membicarakan pesantren dan perbankan islam, khususnya di Indonesia, analogi yang pas agaknya memang tak lain adalah dua sisi mata uang. Dua sisi karena di satu sisi antara perbankan Islam dengan pesantren memiliki banyak persamaan; sama-sama menggunakan Islam sebagai basis keilmuan; sama-sama menggunakan Islam sebagai sumber refrensi dan tentu saja ;sama-sama memiliki tujuan holistical values, yakni tujuan yang values ketuhanannya menjadi core pergerakan visi dan misinya. Namun di sisi lain, keduanya seakan memiliki wajah paradoks, karena keduanya memilih jalannya masing-masing.

Lebih dari itu, keduanya juga mengalami perbedaan nasib yang cukup terjal. Perbankan Islam mengalam gradasi yang cukup signifikan, terlebih ketika ia mampu menjadi satu-satunya system yang ampuh dalam menghadapi resesi global beberapa waktu lalu, sementara pesantren justru mengalami degradasi, baik dalam bidang keilmuan, sumber daya manusia, hingga kepercayaan masyarakat luar terhadap pesantren.

Sejatinya, masing-masing dari keduanya memiliki nilai jual tersendiri yang jika saja dikolaborasikan dengan baik dan dibarengi dengan sinergi melalui hubungan harmonis antar keduanya, akan menjadikan perbankan Islam,khususnya di Indonesia dan pesantren menjadi semakin kuat dan tidak menutup kemungkinan menjadi mercusuar perbankan Islam di asia, bahkan dunia sekalipun.

Perbankan Islam misalnya, sebagai salah satu jenis perbankan yang banyak diminati oleh banyak costumer yang datang dari beragam latar belakang, terlepas dari agama, suku, ras dan bangsa, tentu membutuhkan pegawai yang tidak hanya mampu menghitung dan melihat peluang dalam dunia perbankan, lebih dari itu, pegawai tersebut juga harus mampu menjadikan islam sebagai bahan pijakan utama dalam mengemban amanah sebagai pegawai, sebagaimana fondasi perbankan yang berpijak pada nilai-nilai Islam, dan untuk hal ini, tentu santri memiliki kualifikasi di dalamnya. Pengetahuan mengenai ilmu agama, baik fiqih, tashowuf hingga tatakrama yang lekat dengan nilai-nilai keislaman, menjadi salah tiga alasan kualifikasi ini.

Sementara itu, santri, sebagai komponen penting dalam dunia pesantren, akan memiliki kesempatan yang begitu luas untuk mentransformasikan keilmuannya pada ranah yang lebih kongkrit dengan mengaplikasikan konsep dan theori yang didapatnya semenjak berada di Pesantren dalam satu bingkai yakni perbankan islam. Lebih dari itu juga, komunitas yang bagi sebagian besar masyarakat, orang ini dianggap sebagai kumpulan tukang baca yasinan, tahlil atau maksimal ustad dadakan ketika menjelang bulan suci Ramadhan, akan tereliminir dengan sendirinya.

Namun demikian, harus ada langkah-langkah kongkrit yang penting dilakukan oleh keduanya dalam rangka mewujudkan cita-cita luhurnya sebagai mercusuar sekaligus episentrum Perekonomian Islam di dunia. Langkah-langkah tersebut bisa berbentuk program dengan tujuan berjangka, baik panjang maupun pendek. Ada tiga contoh yang bisa penulis paparkan, antara lain:

·         Perbankan Islam goes to Pesantren

Sejauh ini, perbankan, baik konvensional maupun syariah, memang sudah banyak yang melakukan interaksi dan kerjasama dengan Perguruan tinggi, baik yang sekuler, maupun berbasis agama, baik yang negeri maupun swasta.

Secara umum, tidak ada yang salah dengan realitas tersebut, sebab ada hubungan yang mengerucut pada simbiosis mutualisme, namun demikian, realitas tersebut tidak lantas serta merta menjadi pembenaran dari “penelantaran” terhadap pesantren. Sebab pesantren sendiri juga memiliki alasan rasional untuk diperlakukan sama, setidaknya oleh perbankan islam. karenanya penting kiranya bagi pihak perbankan untuk melakukan kerjasama dengan pesantren.

Dalam rangka ini, setidaknya ada tiga poin yang penting untuk dicatat

-          Syariah for Teens

Pada poin pertama ini, “teens” yang dimaksud adalah kalangan santri yang tengah menempuh pendidikan di pesantren. Kegiatan ini dapat berupa penyuluhan maupun diklat yang dimotori langsung oleh pihak perbankan islam dengan merujuk pada kerjasama dengan pesantren.

-          Mengimbangi Kurikulum Pendidikan Ekonomi Konvensional dengan Syariah.

Sejauh ini, sistem pendidikan yang ada di lembaga islam berbasis pesantren semisal Madrasah Aliyah maupun Madrasah Tsanawiyah dan lembaga di luar yang sekuler, lebih banyak dipenuhi dengan pelajaran yang serba sekuler, termasuk di dalamnya pendidikan ekonominya.

Baik di pesantren maupun di sekolah umum, dapat dengan mudah kita jumpai materi pembelajaran ekonomi konvensional, namun sebaliknya, di sekolah umum kita tidak akan mudah, dan mungkin juga tidak akan pernah bisa menjumpai materi yang berkenaan dengan ekonomi islam, bahkan di Madrasah Aliyah yang secara kelembagaan masuk dibawah legitimasi yayasan pesantren sekalipun.

Ini harusnya dijadikan bahan pertimbangan bagi kalangan pemerhati maupun praktisi perbankan islam untuk mengambil peran juga dalam memperkenalkan sistem perbankan syariah secara akademis kepada kaum santri semenjak dini. Bisa disiasati dengan melakukan kerjasama dengan pihak pesantren, bahkan jika memungkinkan kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama agar memasukkan Pendidikan Ekonomi Islam menjadi bahan pokok ajaran di sekolah, khususnya sekolah yang memiliki basis keislaman.

-          Minilab Syariah.

Sub terakhir ini, sejatinya merupakan tindak lanjut dari kedua program di atas. Jika syariah for teens baru merupakan sebuah pelatihan yang bentuknya parsial, atau pengembangan kurikulum perbankan berbasis ekonomi islam yang merupakan program berkelanjutan namun hanya merambah pada ranah teori saja, maka Minilab ini bisa menjadi wadah praktikum bagi santri yang berkeiginan kuat untuk mengetahui perbankan syariah.

Demikian, disamping program “Perbankan goes to Pesantren” mampu meningkatkan ghirah “kaum bersarung” dalam perbankan islam, ini juga akan menjadi program kaderisasi sejak dini yang dapat dipraktikkan oleh pemerhati maupun praktisi perbankan Islam guna masa depan perbankan syariah.

·         KISS : Program Santri Menabung

Mengaca pada pengadaan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang banyak diberlakukan di Perguruan Tinggi—selanjutnya PT—oleh PT yang bersangkutan sebagai hasil kerjasama dengan pihak perbankan, agaknya program ini juga akan efektif jika diimplementasikan di pesantren.

Tidak jauh berbeda dengan KTM yang jamak dikenal di kalangan PT, Kartu Identitas Santri (KISS) disini juga memiliki fungsi sebagai kartu ATM, namun sebagai bahan diferensiasi, agaknya menjadi keharusan bagi kalangan perbankan untuk melakukan innovasi semisal KISS yang tidak hanya befungsi sebagai wadah untuk transfer uang, namun lebih dari itu ada program tabungan untuk pendidikan di masa depan. Probabilitas applicable dan acceptable-nya program ini sangat tinggi, ini mendasar pada tingginya ghirah banyak santri yang berniat untuk melanjutkan studi.

·         Kerjasama Perbankan Islam dengan Lembaga Keuangan Pesantren

Poin yang terakhir ini merupakan ihwal utama yang harusnya disikapi lebih sensitif lagi oleh kalangan pemerhati perkembangan perbankan islam. Sebab dari banyak program yang ditawarkan, poin terakhir inilah yang paling preventif dan banyak memberikan hasil kongkrit, baik dalam rangka program jangka pendek dan panjang.

Banyuanyar misalnya, dengan NURI yang hingga kini omzetnya mencapai Miliaran rupiah, tentu akan semakin optimal lagi jika ada perhatian lebih dari kalangn pemerhati dan praktisi perbankan Islam.

Perhatian disini dapat berbentuk semacam kerja sama dalam melakukan perkembangan-perkembangan perbankan Islam, khususnya di pelosok-pelosok (basis pesantren) yang hingga kini belum terjamah oleh banyak pihak lain.

Jika semua ini teraplikasi dengan baik dan optimal, tentu filosofi dua sisi mata uang sebagai analogi antara perbankan syariah dan pesantren akan tereduksi dengan sendirinya, karena derap langkah keduanya menjadi spiral sehingga values sebagai dua sisi mata uang yang padu dapat berharga lagi, sama persis seperti kesatuan dua sisi mata uang.

Terakhir yang patut dicatat adalah, bahwa semua cita-cita luhur ini bukanlah perkara mudah untuk diimplementasikan, banyak kerikil yang berserak di jalan yang harus di lalui, namun jika Perbankan Islam dan Pesantren mampu untuk tetap istiqomah menjalin hubungan dengan niat yang bermuatan Holistical Values dan atas dasar kemanusiaan sebagai implementasi kongkrit Hablum Minallah Wa Hablum Minannas (hubungan dengan allah dan hubungan dengan sesama manusia), tentu secadas dan sekeras apapun rintangan yang menghadang akan terasa lebih mudah untuk dilalui.

Kini tinggal kita menunggu kapan konsep ini terealisasi.

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top