Senin, 14 Juni 2010

Belajar Dari Dua Sisi Mata Uang

09.27

Suatu sore, mendung menggelayut di lelangit Pesantren Banyuanyar. Di salah satu sudut kompleks kantor yang berjejer tepat di samping koperasi pesantren, terlihat beberapa orang dengan pakaian ala santri, tengah sibuk memilah sembari menyusun berkas-berkas berisi tabel pendapatan dan omzet BMT, perbankan islam yang sepenuhnya dikelola pesantren.

Grafik menunjukkan pendapatan yang diperoleh BMT sejak pertama dibuat sekitar 1,5 tahun lalu, tepatnya awal tahun 2009, memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan, bahkan beberapa bulan belakangan, peningkatannya berada di atas kisaran 50%, sebuah pencapaian yang cukup baik mengingat umurnya yang masih sangat baru. Karenanya tak mengherankan jika kemudian BMT yang jamak dikenal masyarakat Madura khususnya kota Pamekasan dengan sebutan NURI ini kemudian mulai mengepakkan sayapnya dengan membuka cabang di beberapa kecamatan, baik di kota Pamekasan sendiri maupun kota lain semisal Sampang, Bangkalan dan Sumenep. Beberapa cabang telah diresmikan, sementara beberapa lagi masih berstatus embrio.

Membicarakan pesantren dan perbankan islam, khususnya di Indonesia, analogi yang pas agaknya memang tak lain adalah dua sisi mata uang. Dua sisi karena di satu sisi antara perbankan Islam dengan pesantren memiliki banyak persamaan; sama-sama menggunakan Islam sebagai basis keilmuan; sama-sama menggunakan Islam sebagai sumber refrensi dan tentu saja ;sama-sama memiliki tujuan holistical values, yakni tujuan yang values ketuhanannya menjadi core pergerakan visi dan misinya. Namun di sisi lain, keduanya seakan memiliki wajah paradoks, karena keduanya memilih jalannya masing-masing.

Lebih dari itu, keduanya juga mengalami perbedaan nasib yang cukup terjal. Perbankan Islam mengalam gradasi yang cukup signifikan, terlebih ketika ia mampu menjadi satu-satunya system yang ampuh dalam menghadapi resesi global beberapa waktu lalu, sementara pesantren justru mengalami degradasi, baik dalam bidang keilmuan, sumber daya manusia, hingga kepercayaan masyarakat luar terhadap pesantren.

Sejatinya, masing-masing dari keduanya memiliki nilai jual tersendiri yang jika saja dikolaborasikan dengan baik dan dibarengi dengan sinergi melalui hubungan harmonis antar keduanya, akan menjadikan perbankan Islam,khususnya di Indonesia dan pesantren menjadi semakin kuat dan tidak menutup kemungkinan menjadi mercusuar perbankan Islam di asia, bahkan dunia sekalipun.

Perbankan Islam misalnya, sebagai salah satu jenis perbankan yang banyak diminati oleh banyak costumer yang datang dari beragam latar belakang, terlepas dari agama, suku, ras dan bangsa, tentu membutuhkan pegawai yang tidak hanya mampu menghitung dan melihat peluang dalam dunia perbankan, lebih dari itu, pegawai tersebut juga harus mampu menjadikan islam sebagai bahan pijakan utama dalam mengemban amanah sebagai pegawai, sebagaimana fondasi perbankan yang berpijak pada nilai-nilai Islam, dan untuk hal ini, tentu santri memiliki kualifikasi di dalamnya. Pengetahuan mengenai ilmu agama, baik fiqih, tashowuf hingga tatakrama yang lekat dengan nilai-nilai keislaman, menjadi salah tiga alasan kualifikasi ini.

Sementara itu, santri, sebagai komponen penting dalam dunia pesantren, akan memiliki kesempatan yang begitu luas untuk mentransformasikan keilmuannya pada ranah yang lebih kongkrit dengan mengaplikasikan konsep dan theori yang didapatnya semenjak berada di Pesantren dalam satu bingkai yakni perbankan islam. Lebih dari itu juga, komunitas yang bagi sebagian besar masyarakat, orang ini dianggap sebagai kumpulan tukang baca yasinan, tahlil atau maksimal ustad dadakan ketika menjelang bulan suci Ramadhan, akan tereliminir dengan sendirinya.

Namun demikian, harus ada langkah-langkah kongkrit yang penting dilakukan oleh keduanya dalam rangka mewujudkan cita-cita luhurnya sebagai mercusuar sekaligus episentrum Perekonomian Islam di dunia. Langkah-langkah tersebut bisa berbentuk program dengan tujuan berjangka, baik panjang maupun pendek. Ada tiga contoh yang bisa penulis paparkan, antara lain:

·         Perbankan Islam goes to Pesantren

Sejauh ini, perbankan, baik konvensional maupun syariah, memang sudah banyak yang melakukan interaksi dan kerjasama dengan Perguruan tinggi, baik yang sekuler, maupun berbasis agama, baik yang negeri maupun swasta.

Secara umum, tidak ada yang salah dengan realitas tersebut, sebab ada hubungan yang mengerucut pada simbiosis mutualisme, namun demikian, realitas tersebut tidak lantas serta merta menjadi pembenaran dari “penelantaran” terhadap pesantren. Sebab pesantren sendiri juga memiliki alasan rasional untuk diperlakukan sama, setidaknya oleh perbankan islam. karenanya penting kiranya bagi pihak perbankan untuk melakukan kerjasama dengan pesantren.

Dalam rangka ini, setidaknya ada tiga poin yang penting untuk dicatat

-          Syariah for Teens

Pada poin pertama ini, “teens” yang dimaksud adalah kalangan santri yang tengah menempuh pendidikan di pesantren. Kegiatan ini dapat berupa penyuluhan maupun diklat yang dimotori langsung oleh pihak perbankan islam dengan merujuk pada kerjasama dengan pesantren.

-          Mengimbangi Kurikulum Pendidikan Ekonomi Konvensional dengan Syariah.

Sejauh ini, sistem pendidikan yang ada di lembaga islam berbasis pesantren semisal Madrasah Aliyah maupun Madrasah Tsanawiyah dan lembaga di luar yang sekuler, lebih banyak dipenuhi dengan pelajaran yang serba sekuler, termasuk di dalamnya pendidikan ekonominya.

Baik di pesantren maupun di sekolah umum, dapat dengan mudah kita jumpai materi pembelajaran ekonomi konvensional, namun sebaliknya, di sekolah umum kita tidak akan mudah, dan mungkin juga tidak akan pernah bisa menjumpai materi yang berkenaan dengan ekonomi islam, bahkan di Madrasah Aliyah yang secara kelembagaan masuk dibawah legitimasi yayasan pesantren sekalipun.

Ini harusnya dijadikan bahan pertimbangan bagi kalangan pemerhati maupun praktisi perbankan islam untuk mengambil peran juga dalam memperkenalkan sistem perbankan syariah secara akademis kepada kaum santri semenjak dini. Bisa disiasati dengan melakukan kerjasama dengan pihak pesantren, bahkan jika memungkinkan kerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama agar memasukkan Pendidikan Ekonomi Islam menjadi bahan pokok ajaran di sekolah, khususnya sekolah yang memiliki basis keislaman.

-          Minilab Syariah.

Sub terakhir ini, sejatinya merupakan tindak lanjut dari kedua program di atas. Jika syariah for teens baru merupakan sebuah pelatihan yang bentuknya parsial, atau pengembangan kurikulum perbankan berbasis ekonomi islam yang merupakan program berkelanjutan namun hanya merambah pada ranah teori saja, maka Minilab ini bisa menjadi wadah praktikum bagi santri yang berkeiginan kuat untuk mengetahui perbankan syariah.

Demikian, disamping program “Perbankan goes to Pesantren” mampu meningkatkan ghirah “kaum bersarung” dalam perbankan islam, ini juga akan menjadi program kaderisasi sejak dini yang dapat dipraktikkan oleh pemerhati maupun praktisi perbankan Islam guna masa depan perbankan syariah.

·         KISS : Program Santri Menabung

Mengaca pada pengadaan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang banyak diberlakukan di Perguruan Tinggi—selanjutnya PT—oleh PT yang bersangkutan sebagai hasil kerjasama dengan pihak perbankan, agaknya program ini juga akan efektif jika diimplementasikan di pesantren.

Tidak jauh berbeda dengan KTM yang jamak dikenal di kalangan PT, Kartu Identitas Santri (KISS) disini juga memiliki fungsi sebagai kartu ATM, namun sebagai bahan diferensiasi, agaknya menjadi keharusan bagi kalangan perbankan untuk melakukan innovasi semisal KISS yang tidak hanya befungsi sebagai wadah untuk transfer uang, namun lebih dari itu ada program tabungan untuk pendidikan di masa depan. Probabilitas applicable dan acceptable-nya program ini sangat tinggi, ini mendasar pada tingginya ghirah banyak santri yang berniat untuk melanjutkan studi.

·         Kerjasama Perbankan Islam dengan Lembaga Keuangan Pesantren

Poin yang terakhir ini merupakan ihwal utama yang harusnya disikapi lebih sensitif lagi oleh kalangan pemerhati perkembangan perbankan islam. Sebab dari banyak program yang ditawarkan, poin terakhir inilah yang paling preventif dan banyak memberikan hasil kongkrit, baik dalam rangka program jangka pendek dan panjang.

Banyuanyar misalnya, dengan NURI yang hingga kini omzetnya mencapai Miliaran rupiah, tentu akan semakin optimal lagi jika ada perhatian lebih dari kalangn pemerhati dan praktisi perbankan Islam.

Perhatian disini dapat berbentuk semacam kerja sama dalam melakukan perkembangan-perkembangan perbankan Islam, khususnya di pelosok-pelosok (basis pesantren) yang hingga kini belum terjamah oleh banyak pihak lain.

Jika semua ini teraplikasi dengan baik dan optimal, tentu filosofi dua sisi mata uang sebagai analogi antara perbankan syariah dan pesantren akan tereduksi dengan sendirinya, karena derap langkah keduanya menjadi spiral sehingga values sebagai dua sisi mata uang yang padu dapat berharga lagi, sama persis seperti kesatuan dua sisi mata uang.

Terakhir yang patut dicatat adalah, bahwa semua cita-cita luhur ini bukanlah perkara mudah untuk diimplementasikan, banyak kerikil yang berserak di jalan yang harus di lalui, namun jika Perbankan Islam dan Pesantren mampu untuk tetap istiqomah menjalin hubungan dengan niat yang bermuatan Holistical Values dan atas dasar kemanusiaan sebagai implementasi kongkrit Hablum Minallah Wa Hablum Minannas (hubungan dengan allah dan hubungan dengan sesama manusia), tentu secadas dan sekeras apapun rintangan yang menghadang akan terasa lebih mudah untuk dilalui.

Kini tinggal kita menunggu kapan konsep ini terealisasi.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Posting Komentar

let's share knowledge! :)

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top