Senin, 24 Agustus 2009

Curhat Tyta


Sore yang cerah, jemari gadis itu tampak piawai menari di atas tuts-tuts keyboard laptopnya, sesekali guratan senyum mengembang dari bibirnya, namun tak jarang ia juga terlihat tengah berpikir, lalu dilanjutkan dengan memencet tuts-tust keyboard lagi. Beberapa burung kenari tampak tengah asyik bersenda di dedahan pohon cemara samping kamarnya. Dan…

Kenalkan namaku Tyta Riyanita, bisa dipanggil Taty, Tyta, Atit, Tatituch, Atit ati atau apalah, yang penting enak diingat, didengar dan diucapkan, semua terserah kamu, nyaman di kamu, nyaman di aku, nyaman di aku, belum tentu nyaman di kamu, hahaha, ngelantur deh, pastinya, perspektif tiap manusia berbeda, seperti nasib tiap insan yang juga beragam.

Well, dari mana ya cerita ini mau dimulai, umh, gimana kalau dengan curhat-curhatan, kan banyak tuh tulisan atau film terkenal yang dimulainya dengan Diary, Cathar atau Agenda gitu, yah siapa tau, tulisan ini nantinya bernasib sama, maka, tanpa mengurangi ketenangan pembaca, aku ambil keputusan dengan curhat! Kue cucur, kueayaknya uenak neh curhat-curhatan!

Bermula pada suatu malam, the worst night ever, setidaknya bagiku, malam dimana semua kerahasiaanku terungkap, dimana identitasku yang sebenarnya terbongkar, malam dimana hujan tengah turun begitu lebatnya, lebih lebat dari kumis pak raden, disertai gemuruh angin, dan kilatan petir yang menjilat langit-langit kota sumenep, malam yang membuat hidupku berubah segalanya.

“ Banget!!!”, ucap si genit Reva sambil meluk-meluk boneka Patricknya, ” gue baner-bener gak nyangka dia kayak gitu!”, imbuhnya.

“ Apalagi gue, secara mukanya cakep! Gak ada dalil dia kayak gitu!”, Reggina ngomporin.

“ Kalo beradu ama burung Jalak, gue yakin si Jalak langsung KO!”, ngompor Reva lagi.

“ Ih si Jalak, Singa ajah gue yakin idzin duluan gak mau ikutan!!! Soalnya dia yakin bakalan kalah!”, Nana menimpali. Yang lain ketawa cekikikan.

“ Ih, gue tersiksa banget tau gak sih, Bo! Gila ajah, suaranya kedenger sampe lantai tiga, Bhu!!!”, Intan anak lantai tiga tak mau kalah, tangannya sibuk nyari kacang di tumpukan Marning, camilan khas Madura.

” Itu mah gak seberapa, lu enak di lantai tiga, lah gue sekamar ma dia!!!”, Mellisa, teman sekamarku yang dari tadi kuperhatikan hanya diam, kini juga ikut nimbrung, ” sumpah deh, mendingan gue denger suara mobil Jazz daripada suaranya!!!”.

“ Ngaco deh!”

“ Gue bener-bener gak bisa bayangin gimana jadinya kalo ntar dia kawin, gimana sengsaranya yak suaminya, gue berani taruhan, tiap malem pasti gak nyenyak tidur”

“ Tau kenapa??? ”

“ Ngoroknya kebangeeetaaannn!!!”, tandas mereka berbarengan sembari tertawa terbahak-bahak.

Yip, itulah sekelumit cuplikan perbincangan anak-anak asrama, kamar 104, kamar yang tak berkamus home sweat home bagiku, surga anak-anak kalo siang—secara si Mellisa suka bawa camilan pas pulang tiap weekend-nya—namun neraka kalo malem, kamarku sendiri.

Diterima di sekolah tersebut, bagiku anugerah dan bencana, atau jalan pemberian terbaik dan terburuk yang pernah Tuhan kasih ke aku, atau,,, sederhananya, dilematis, simalakamis dan penuh polemik.

Sejak tahu kalau aku diterima di sekolah itu, beban berat serta merta kupikul, dari persoalan ngekost atau asrama, kalo kost, tempatnya dimana, anaknya asyik atau nggak, kosannya enak gak, airnya bersih dan lancar gak, dan berbagai hal lainnya, terutama sekali perihal aku bakalan ngekost sama siapa, sebab memilih teman yang mau ngerti kita, nerima kita apa adanya, dan mau menghargai segala kekurangan yang kita punya, sangat sulit dapetnya, sama sulitnya dengan mencari jarum ditumpukan jerami. Sekamar sendiri, kayaknya enggak deh, biaya hidup terlalu mahal buatku. Dengan membawa beban seberat itu, aku akhirnya sekolah juga disana, secara untuk mendapatkan masa depan yang cemerlang memang butuh pengorbanan, dan pengorbanan itu gak cuma bersifat materil. Ya gak, Cint? Makanya, dengan mencoba berpikir positive, bahwa seringkali kejadian yang kita takutkan, kenyataannya tidak terjadi, akhirnya aku capcuz—berangkat—ajah!

* * *

Awalnya sih, memang tidak ada yang curiga dengan kelainan yang aku derita, semua masih di bawah kontrolku, secara, tiap malem, aku bela-belain tidur paling akhir, aku baru tidur ketika anak-anak sekamar udah pada nyanyak, makanya, ihwal ahli ngorok kelas wahid ini tak ada yang tahu. Sempat sih beberapa kali borok ini hampir ketahuan, tepatnya pas Masa Orientasi Siswa. Acara yang full seharian, bikin aku gak kuat lagi nahan lama-lama rasa kantuk. Pengennya abis sholat isya langsung tidur, tapi mau gimana lagi, dari pada kredibilitasku sebagai cewek cakep nyaris tanpa celah dan cacat, ambruk hanya karena ketiduran, duh, ogah deh!!!

Untuk itu, aku mencoba menghilangkan rasa kantukku dengan pergi ke warung depan Asrama, cari kopi atau makanan ringan, lumayanlah buat ngusir rasa kantuk. Heran juga sih sama anak-anak di kamar, kenapa belum tidur, udah seharian dijemur pula, dasar, orang aneh! Pikirku saat itu.

Dan, emang dasar nasibku ajah kali ya yang mujur, pas mau bayar, kata si Ibu malah dibilang udah dibayarin.

“ Sama siapa, Bu?”, tanyaku oneng. Eh, ibunya malah ngelirik cowok cakep yang belakangan diketahui ketua OSIS di sekolah, nah langsung tuh aku bilang makasih.

“ Makasih ya, Kak! Duh jadi gag enak nih!!!”, ucapku salting sambil bawa plastik hitam berisi gorengan. Hihihi, malunya aku, di depan cowok segitu keren bawa-bawa kayak ginian.

“ Sama-sama” ucapnya datar. Ih, jadi pengen lekas-lekas ku embat neh cowok. Udah cakep, bibirnya sedap, sorot matanya uphz, menusuk sampe ke dalem-dalem, bohai pula! Wakakakaka, ngomongin apaan sih?! Tapi sutralah—sudahlah—yang penting aku dapet rezeki lahir batin, dan tentu saja rasa kantukku langsung hilang. Dan, ketika sampai kamar, anak-anak udah pada tiduran. Thanks God!

Dan perjuanganku gak berhenti disitu saja, malam-malam berikutnya aku harus bekerja lebih ekstra lagi, keaktivanku di OSIS, PASKIBRA, PMR, Pramuka dan lain-lain, terlalu banyak menyita waktu santaiku pas waktu siang, makanya kalo malem bawaannya pengen cepet-cepet tidur. Nah untuk menyiasati hal tersebut, aku pura-pura baca buku sebelum anak-anak yang lain pada tidur, meski mataku udah pada seret, tapi, pas inget Demi Kredibilitasku, makanya aku keukeuh dan mencoba terus bersabar.

Tau gak sih apa khasiatnya? Disamping keonengan dan ketelmianku mulai surut, banyak anak-anak di kamar yang bilang salut sama aku, katanya udah aktiv di berbagai organisasi, eh masih sempet juga baca buku, padahal mah...! Nah, inilah yang kupikir sengsara bawa berkah. Hehehe. Namun hal itu enggak bertahan lama. Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga ke tanah, sepandai-pandai kucing mengubur ee’nya, pasti bakalan kecium juga baunya, sebanyak-banyak bang napi makai roll on, pasti amisnya tetep kecium, gak pernah mandi sih!

* * *

Sejak the worst night ever itu, kehidupanku mulai berubah, dimulai dengan mengurangnya anak-anak yang tidur di kamarku, khususnya pas malem hari, bahkan beberapa anak yang memang sekamar denganku, memilih pindah ke kamar sebelah, atau kalo nggak, ke lantai atas. Sungguh sangat menyiksa batin ini. Namun aku mencoba bertahan.

Hal kedua yang bikin aku kecewa berat adalah, saat Mellisa juga memilih bersikap sama dengan yang lainnya. Ku pikir, dia adalah teman yang bisa mengerti aku, bisa menerima aku apa adanya. Namun semua itu Bullshit! Dan aku masih mencoba tetap bertahan.

Hal terakhir yang paling buat aku merana adalah ketika Erick, kapten tim Basket di sekolah, yang merangkap jabatan sebagai pacarku mulai meninggalkanku secara perlahan, mulai jarang ngirim sms, lalu dilanjutkan dengan mengurangnya intensitas pertemuan kami, ketika kukonfirmasi, jawabannya klise; mo latihan! Dan terakhir, kami jalan sendiri-sendiri, meski masih ber-Status Tanpa Hubungan—STH—,belakangan diketahui, penyebabnya karena dia udah tau kalo aku ngorok, entah dari siapa berita itu hingga bisa sampai ke dia, aku gak tahu, dan gak mau tahu, memikirkannya terlalu menyakitkan buatku. Mau tahu gimana ceritanya? Neh omongan dia pas lagi ma anak-anak Basket.

” Cantik sih cantik, tapi kalo tidurnya ngorok, masih ileran pula, mending gue jomblo seumur hidup deh! Syukur kalo ilernya gak muncrat kemana-mana, lah kalo gue yang kena, bau jigong pula, sumpah, ngebayangin ajah bikin gue Ilfeel!”, yip, ntu cuplikannya, sumpah, shocking me bangetz. Sakit banget hati ini pas ngedengernya. Pengen banget ku gorok tuh cowok, udah gitu ku mutilasi, lalu bibirnya yang ember itu ku buang kecomberan biar gak pernah ada lagi orang yang berani ngomong kayak gitu. The second worst day ever yang ku harap become the last. Namun akhirnya aku mencoba menyikapinya lebih bijak dengan mengamininya sebagai hal tebaik yang Tuhan kasih ke aku. Bahwa, jika dia tahu hal ini nanti ketika prosesi pernikahan telah kami jalani, kemungkinan akan ada hal lebih buruk yang akan terjadi.

Jujur, semua ini membuatku bingung, tentang siapa yang patut disalahkan. Aku benar-benar marah, namun juga gak tahu harus marah sama siapa. Ingin sekali aku ngajak teman-teman untuk kembali ke kamar 104, namun aku juga gak tahu harus bilang apa, terlebih setelah ingat kembali bahwa mereka memilih pindah alasannya karena ada aku di kamar ini, karena bersamaku, membuat malam-malam mereka seperti neraka. Sungguh aku malu dibuatnya.

Dalam kebimbangan dan kekalutan itu, akhirnya aku memilih mengalah. Meski masa kontrakku di Asrama masih kurang Enam bulan, namun aku tetap memilih pindah, seperi kataku tadi, baik di kamu, baik juga di aku, baik di aku, belum tentu baik d kamu, makanya aku pasrahkan semuanya pada mereka. Yang terpenting hidupku tidak menjadi beban untuk orang lain.

Sesekali terlintas dalam benakku, gimana jadinya jika ntar gak ada cowok yang suka sama aku, tak pernah ada laki-laki yang akan memakaikan cincin di jari manisku, gimana rasanya jadi perawan tua, gimana sengsaranya ntar pas udah Nini gak ada anak atau cucu yang bakalan ngemandiin, menyuapi, mengajak jalan-jalan di sore hari. So scared!

Lalu hari-hari berikutnya banyak ku lewati dengan teman-teman di OSIS, paling enggak mengurangi intensitas melamunku tentang ngorok. Memikirkan itu semua, bikin aku tambah pikun, depresi, dan penuh beban saja.

* * *

“ Tyta... !“, teriak seorang wanita dari lantai bawah. Lenyap sudah suasana tenang di kamar itu. Beberapa ekor burung yang sedari tadi hinggap di reranting pohon cemara samping kamarnya juga memilih pergi.

“ Ya Ma, ada apa?”, tanyanya acuh, jemarinya masih saja terus mempermainkan tuts-tust keyboard laptopnya. Beberapa boneka Teddy Bear duduk manis di depan buku-buku yang berbaris rapi dalam rak.

“ Kebawah! Nih ada temanmu! Cepat!”, teriak mama lagi. Namun alunan lagu Crush-nya David Archuleta terlalu melenakan hingga ia tak lagi ambil perduli dengan ocehan mama. “ Ih nih anak, dibilangin masih saja mainin laptop! Kebawah gih, tuh ada si Reval! Katanya udah janjian ma kamu bakalan keluar sore ini, ntar dia ngambek lagi!”.

Tyta hanya senyum gak jelas, tangannya masih saja menari-nari, “ Tanggung ma, tinggal dikit lagi nih!”, tandasnya.

“ Memang nulis apaan sih? Serius sekali, sampai-sampai si Reval kamu telantarkan!”, Mama heran.

“ Cerpen, Mah! Mau dikirim”, jawabnya singkat.

“ Kemana?”, buru Mama tak kalah singkat.

“ Panitia Lomba Mengarang Cerpen Remaja-2009 LIP ICE-SELSUN Golden Award! Siapa tau ntar menang, kan mama juga yang bakalan bangga!”.

“ Oh gitu, ya sudah, selesaikan dulu, biar mama yang akan ngobrol sama reval, tapi jangan lama-lama yah, dan jangan lupa nanti kalau sudah mau turun, bawa camilan di dekat freezer!”

“ Sipp, okeh mamaku sayang!”. Dan Tyta terus menulis.

Umhhh, pada akhirnya, semua yang aku takutkan, benar-benar tidak terjadi. Banyak teman yang tetap mau bersahabat denganku, nerima aku apa adanya, bahkan Mellisapun juga mulai akrab lagi denganku, sebab ternyata, mamanya juga memiliki kesamaan denganku, sama-sama suka ngorok. Bener banget tuh yang dikatakan orang bijak, jika ingin mengetahui siapa dirimu, maka lihatlah temanmu! Hihihi.

Terakhir, ternyata cowok yang ketemu aku di warung kopi dulu, dari awal suka sama aku, tepatnya ketika hari pertama MOS dia telah memperhatikanku, namun emang dasar aku yang oneng yah, rezeki durian runtuh di depanku sampe gak tahu. Lalu dia menembaku di pelataran Taman Bunga, pusat kota Sumenep, bahkan meski dia tahu aku ngorok. Awalnya aku enggak mau lagi berpacaran, takut kekecewaan yang dulu sempat kurasakan, kembali terulang, terlebih masa-masa muda seperti kami yang secara pemikiran masih labil, namun akhirnya persepsi itu runtuh ketika Reval bilang tak mau ambil perduli dengan keberadaanku sekarang, “ Sebab aku mencintaimu buka karena, tapi mencintaimu walaupun!”, ucapnya saat itu, sumpah alasan yang bikin aku kelepek-kelepek, pas ku konfirmasi tentang maksudnya, dia menjawab.

“ Aktivis ternyata telmi juga yah!”, candanya, lalu, “ aku mencintaimu bukan karena; karena engkau cantik, karena engkau kaya, karena engkau dari keluarga terpandang, melainkan aku mencintaimu walaupun; walaupun kamu jelek, walaupun kamu miskin, walaupun kamu dari keluarga biasa, dan terpenting walaupun mendengkur tiap kali tidur! Hehehe!”.

“ Jahat!”, ucapku sembari mencubit lengan dan tubuhnya sampe merah-merah.

Namun alasan yang sebenarnya adalah, karena dia juga memiliki kesamaan denganku, sama-sama mendengkur kalau tidur. Well, memang benar banget ungkapan “Lelaki yang Baik untuk wanita yang baik-baik”, begitupun wanita baik, cantik, anggun namun suka mendengkur, tercipta untuk lelaki baik, tampan, kharismatik dan sama-sama suka mendengkur. Dan, kamipun jadian.

Rabu, 22 Juli 2009

asuransi cinta monyet


Brakkk!!! Terdengar suara pintu dibanting keras. Kulihat Chika dateng dengan muka masamnya masuk, lalu segera naik ke lantai atas. Ada yang tak beres pekikku dalam hati. Beberapa hari belakangan memang ada yang berubah dengan Chika. Segera kususul ke atas dan dari celah pintu yang masih sedikit terbuka kulihat Chika tampak sesengukan. Tanpa pamit, aku masuk!

”Wah, ada yang lagi nangis nih???”, kataku membuka pembicaraan, Chika diam.

”Memang ada apa sih???”, masih tetap diam, tak ada reaksi sama sekali.

”Bagi-bagi dong kalau ada masalah!!!”, buruku, tapi chika masih tetap bergeming. Bahkan perlahan dia tambah dalam membenamkan diri di balik selimut.

Beberapa saat berlalu, chika masih tak mau keluar dari selimutnya. Aku juga memilih diam. Menghadapi sodari bungsuku yang tomboy ini memang harus dengan cara yang lain. Dia tak terlalu suka dengan gaya sok care ato apalah yang cendrung girly, katanya sih gak ada kata Letoy di kamus para Rocker! Maka kucoba keluar kamar, sekedar untuk memancingnya berbicara.

”Gue putus sama Rendy!”, ucapnya tanpa membuka selimut. Binggo! Seruku dalam hati. Kuurungkan niat untuk pergi dan mulai duduk di sampingnya.

”Jadi itukah yang membuat rocker kebanggaan kakak ini menangis? Memang kenapa kok bisa putus? Sejak kapan?”

Chika membuka selimut, ” Sejak gue tahu dia mata keranjang, lebih besar dari keranjang mpok salma penjual sayuran ntu! Masak ya sih dia ngemadu gue ma temen karib gue?”

”Ck ck ck..., tragis sekali cerita cinta, loe!!!”, candaku sembari tersenyum ke arah chika, chika memandangiku dalam, lalu juga ikut tersenyum, ”Lalu loe putuskan?”.

”Ya lah,,, kawin ajah gue gak mau dimadu, apalagi pacaran!”.

Thanks God!!! Seruku dalam hati. aku tau ndiri, rendi kayak apa, jadi aku pikir, putus memang adalah hal terbaik. ”makanya, apa dulu gue bilang, pacaran yah cari yang bener, jangan yang asal, ato kalo nggak yah diasuransiin biar hidup loe tak sesengsara ini! Pacaran kok kayak yang beli sayur ajah!”.

”Cinta diasuransikan?, wah menarik tuh, tapi gimana cara kerjanya?”

“ Kayak mesin pabrik ajah pake cara kerja, yah pastinya loe mesti buat komitmen berdua, komitmen tersebut harus mengikat antara satu sama lainnya, agar ntar kalo terjadi apa-apa, ya jadi tanggung jawab bersama”.

” Tapi kan ini hanya cinta monyet, kak? ”, burunya penasaran.

” itulah kenapa penting bagi loe ntuk ngeasurasiin cinta loe, yang cimon ajah bikin loe sakit hati, apalagi cinta sejati? Bisa ajah bukan nangis lagi ntar, tapi game!!!”

Chika mangut, lalu matanya yang sembab penuh air mata disaputnya. Beberapa saat kami terdiam.

Well, apa ajah yang loe lakuin beberapa hari belakangan ini? Jarang banget dirumah! ”

Wild Race! ” jawabnya singkat.

O Em Gi,,, jadi hanya karena cowok sayko ntu loe maen balapan liar? Sarap kali loe yah? Mang gak ada kerjaan laen yang lebih bermanfaat apa? “.

“ Mulae lagi deh ceramahnya, males banget dengernya, udah deh gue pergi ajah!!!”

“ Gak gitu, cuman sayang ajah ntar kalo loe game hanya karena mikirin cowok brengsek yang gak pernah mikirin loe ntu! Ingat, cinta ntu memang penting buat hidup kita, tapi jiwa kita juga lebih penting, buat kita sendiri dan semua orang yang ada di sekitar kita”, ucap gue sok bijak.

“ Jadi mesti pake asuransi juga gitu???”

“ Ya iya lah, masak ya iya dong?! Kalau cinta monyet saja mesti diasuransikan, apalagi hidup kita yang sangat berarti ini?

”Bener-bener males denger omelan gak jelas nih!!! Capcuz ah!!!

”Kemane???”, buruku, takut ntar bunuh diri di kali ciliwung—ngarang ajah—.

”ke AJB Bumiputera, sebelum terlambat!!!”.

hati dan sepotong rembulan


Dingin malam itu. Malam yang tak berbintang, hanya sepotong rembulan

yang mengintip malu dari arakan awan yang memijar di riak air, berkecipak, seolah berdawai, searus hati kami yang tengah mabuk.

Dingin malam itu. Hatiku terpecah, menjadi beberapa bagian, sebagian bergerumun di pojok rongga dada, berkisah tentang dia, sutradara dibalik pecahnya hati ini, sebagian lagi memilih untuk diam, sebagian lainnya sibuk berdebat, mengenai efek dan dampaknya, sebagian lainnya sibuk bersikukuh mempertahankan argumennya, bahwa ini adalah cinta! Maka kurasakan hatiku membentuk blok-blok, antara yang pro dan kontra,ada pula yang memilih abstain.

Dingin malam itu. dia terdiam, sama sepertiku, yang masih bungkam seribu bahasa. Kudengar suara gemeretak di dalam rongga dadanya, sepertinya dia mengalami hal serupa, hatinya terpecah menjadi beberapa bagian, dan beberapa pecahan darinya sibuk mengambil tikar, ngobrol tentang hatinya yang tengah berserakan, sama persis dengan pecahan-pecahan hati lainnya yang tak mau kalah pamer menggelar tikar dan mengobrol sekenanya, sebagian besar lainnya juga membenarkan dugaan beberapa potong hatiku bahwa ini memang cinta.

” Aku yakin ini cinta!!!”, seru seserpih.

“Cinta? Jangan ngaco deh! Mana mungkin ada cinta disini?”, bantah salah satu serpihan hati.

” Kenapa tidak? Cinta muhammad saja datangnya pada wanita berumur separoh lebih tau darinya, kenapa ini kau bilang tak mungkin?”, bantah yang lain.

“ Itu beda kasusnya!”

“ Beda apanya? Lah ini cerita tentang dua orang yang tengah dimabuk asmara, begitupun Muhammad, begitupun cinta semua orang!”, seserpih tak mau kalah.

“Ngaca! Bagaimana dan dengan siapa cinta itu datanganya?!”, dihirupnya udara sejenak, berharap udara jadi lebih nyaman dihirup, namun tetap saja terasa sesak, ” Bapak sama Ibu kamu, Kakek sama Nenek kamu, Om sama Tante kamu, Derry sama Dinda, dan seterusnya!!!”

” Dan aku sama dia!”, ucap seserpih mantap.

” Salah! Bahkan sebelum kamu mencintainya pun, Tuhan telah mengutukmu! Dia murka padamu!”.

” Aku tidak pernah berharap alur cintaku berjalan seperti ini!”

” Kenapa kau tetap berjalan seperti itu?”

” Inilah nikmat Tuhan! Kita memang tak selalu diciptakan sama!”

” Tapi tetap saja ini melawan kodrat!”

Serpihan lainnya yang awalnya tampak tak begitu tertarik memperdebatkan, akhirnya angkat bicara juga, ”mau cinta mau enggak, kenapa kalian yang repot?” berhenti sejenak, ” membina cinta, selaksa hendak menuliskan kata-kata di atas kertas yang masih putih sama sekali, mau kita nulisnya dari kiri ke kanan, boleh, kanan ke kiri, tentu saja, atas ke bawah, kenapa tidak? Ada tulisan Latin, Arab dan China yang bisa kita jadikan acuan!”

” Ini sangat berbeda!”

” Beda apanya?”

” Yah... Beda saja! Tidak bisa diperdebatkan lebih panjang lagi!”

” Perbedaan itu ada dalam jiwamu! Ketika menerima masih menjadi imaji, tentu semua seakan tak selaras! Lihatlah dari mata, hati dan juga jiwamu!”

” Benar itu! ” seru yang lain, ” dimanapun dan pada siapapun cinta itu bersemi, yang mendasarinya pastilah jiwa! Sebab ia yang punya rasa!”, simpul yang lain.

” Dan, siapa sih yang mengajari kita tengtang rasa?”.

Si serpihan hanya terdiam, sama persis denganku yang mash diam, nyaris tanpa suara, bahkan bernafaspun terasa sulit.

Maka dalam perjalanan, tak banyak perbincangan yang mengalir antara kami. Dia terlalu sibuk mengemudi, sementara aku juga hanya terdiam, tak tau kata-kata apa yang harus kuperbincangkan. Ini adalah salah satu penyakit akut yang kuderita, setiap bersama dengan orang yang kusuka, pasti ada alasan lidah untuk kelu. Otak juga tak dapat diajak kompromi untuk sedikit memberikan sumbangsih ide topik pembicaraan agar menciptakan suasana tampak relaks. kami seakan hidup di satu daerah namun dengan dua kutub berlawanan. Aku sibuk dengan duniaku, dan dia juga hidup di dunianya, dan roda motor tetap berjalan. Perlahan kendaraan kami memasuki pelataran flowgard yang memang disulap menjadi parking area. Dan ...

Dingin malam itu, namun keringat mengalir deras di kening dan badanku, pakaian yang aku kenakan ternyata tidak sama dengan dresscode yang memang ditentukan, aku salah kostum! Pekikku dalam hati. lebih malu lagi ketika kudapati perbedaan antara kami dengan semua yang datang, sungguh, andai bisa mengecil laiknya semut, tentu aku akan mesuk ke lubang semut dan baru akan keluar ketika semua orang telah tiada, bahkan serpihan-serpihan hati yang tadi sibuk berdebat, sok supel dan comel juga kini memilih diam, malu yang teramat sangat memaksa mereka untuk pasrah pada nasib... oh tunggu, bukan nasib, keadaan tepatnya! Maka kami merasa seperti dua orang pesakitan, di tengah orang yang pada sehat semua.

Dingin malam itu. malam yang mulai beranjak larut, meninggalkan sepotong demi sepotong kisah kami yang hanya berdurasi 2,5, berbagai macam rasa berkecamuk, antara suka, malu, takut, rindu yang menggebu, hasrat yang bertalu-talu, entah ada tabu atau tidak, pastinya kami terkapar!

Dan, ”Berpeganglah!”, ucapnya sebelum kami meninggalkan flowgard, lalu malam itu aku lupa segala masalah yang tengah ku alami, segala pembeda antara kami, segala pemisah antara kami, segala persoalan yang kami alami, segala jenuh yang telah lama menguntiti kami, dan segala cinta yang dulu terpasung karena ketakutan yang sungguh tidak mendasar. Maka kini aku mulai tak perduli lagi dengan segala masalah yang akan menghadangku kelak, sebab bersamanya, kurasakan semua masalahku hilang, aku juga mulai tak perduli dengan pandangan semua orang tentang cerita cinta antara kami, sebab cinta ini hanya milik kami, bukan orang lain, cinta yang hanya bisa dirasakan antara kami berdua. Tak ada yang tahu, sebab hanya kami yang merasakan.

Dan dingin malam itu, kami terus berjalan, mengitari lorong dingin yang kian gelap, bersama rembulan yang terus beranjak naik.*


* inspired by Orgg Story

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top