Seorang sahabat yang tak usah ku sebut namanya, terlihat
tengah meng-update status di wall Facebook-nya yang kurang lebih
isinya begini, “Selentingan kabar yang ku
dengar, acara TUNZA International Youth and Children Conference 2011 hasil
kerjasama UNEP dan Ministry of Environment Republik Indonesia ini menghabiskan
biaya triliunan rupiah. Aku jadi berpikir, seandainya uang tersebut
dipergunakan untuk menanam pohon, pasti efeknya akan lebih banyak dibandingkan
menghelat acara seperti ini”.
Sejenak lamanya saya membaca tulisan tersebut, mencernanya
serta mencoba berkontemplasi akan substansi tulisannya dan kudapati ada ketidak
samaan bagaimana cara dia memandang dengan perspektif saya dalam melihat eksisitensi
TUNZA dengan kawan saya tersebut. Demikian, saya tidak pernah menyinggung
pemikiran dia yang demikian, karena sebagai pemuda yang kebetulan juga
berpartisipasi di acara tersebut, masing-masing dari kemi memiliki hak untuk
berbicara, bisa saja pada saat tersebut pemikiran dia tengah lebih cendrung
pada paradigma post modernisme. Saya malah sangat mengapresiasi tersebut
sebagai bagian dari hak berbicara, berekspresi dan juga mengemukakan pendapat.
Lalu bagaimana saya memandang eksistensi TUNZA tersebut? Nah
bagi saya pribadi, keberadaan TUNZA memiliki banyak manfaat dibandingkan
mafsadatnya. Iya tentu saja demikian, karena beragam pengalaman yang pada
akhirnya menjadi penting bagi pembangunan personal saya serta pengetahuan akan
green economy dan lain sebagainya, bisa saya dapati di konferensi internasional
tersebut.
1. Sharing Ideas
Saat kegiatan Plenary
Session di hari ke 3, beberapa delegasi dari India Australia dan Singapore
berkesempatan untuk mempresentasikan komunitas beserta ide-ide tentang
lingkungan yang mereka bawa dari negara mereka. masing-masing dari mereka
memiliki ide-ide cemerlang dan berimplikasi besar terhadap peningkatan people awareness akan urgensitas menjaga
lingkungan.
Hal ini misalnya tercermin dari delegasi Singapore yang
menerapkan Re-Use, Reduce dan Recicle sampah-sampah non-organik seperti botol air mineral dengan menjadikannya
bahan dasar pembuatan kaos. Dan masing-masing kaos yang diproduksi, biasanya
disertai pula slogan-slogan yang melekat dengan identitas organisasi tersebut
seperti seperti cinta lingkungan hidup dan lain sebagainya. Dalam hal tersebut,
setidaknya ada dua keuntungan yang didapat; a) keuntungan secara ekonomi dan.
b) media untuk menyampaikan aspirasi untuk responsif terhadap lingkungan.
2. Sharing Experience
Beda kebun beda hewan. Entah istilah ini memang ada atau saya
yang mengarang sendiri, saya tidak begitu yakin, namun satu hal yang pasti,
istilah tersebut menurut saya juga berlaku dalam persoalan lingkungan. Jika di
negara maritim seperti Indonesia kerap mengalami persoalan abrasi, maka berbeda
dengan yang terjadi di Australia. Jika di India persoalan lingkungan adalah
perkara wasting management maka itu
tentu saja berbeda dengan yang terjadi di Inggris. Begitu juga seterusnya.
Masih terkait dengan poin pertama, keberadaan TUNZA 2011 juga
memberikan kesempatan bagi para peserta dari berbagai negara untuk sharing
tentang problematika yang tengah di alami negara masing-masing beserta problem
solving yang tengah atau akan mereka lakukan. Pada saat itu pula, semua peserta
konferensi diberikan kesempatan untuk bertanya serta klarifikasi lebih lanjut
kepada delegasi tersebut. Seperti yang dilakukan sekelompok cewek-cewek
Australia berupa pembuatan video yang diunggah ke social media untuk
meningkatkan people awareness mengenai lingkungan dengan adegan yang lucu.
3. Expand Connection
Untuk perkara yang satu ini, diakui atau tidak memang sangat
besar. Saat hari pertama di Plenary Hall, saya dan Hamli (btw,orang ini sebenernya yang
update status itu) tengah duduk dengan cewek bernama Alina dari Rusia. Lama
kami ngobrol tentang kesibukan masing-masing serta perkara remeh temeh lainnya
berikut kesan pertamakali ke Indonesia. lama ngobrol, dan tanpa disangka-sangka
ternyata si doi adalah salah satu penerjemah bahasa Rusia di acara TUNZA. Dia
juga invite saya masuk ke salah satu
group di FB (Facebook) yang bergerak dalam lingkungan dan kebetulan dia sebagai
admin serta ketuanya.
Di kesempatan berbeda, saya (lagi-lagi bersama Hamli) juga
berkesempatan bertemu dengan seorang bapak asal jawa tengah. Dia merupakan
pengajar di salah satu sekolah SMA di sana. Bapak tersebut bercerita mengenai
komunitas siswa pecinta lingkungan hidup yang masih baru di sekolahnya. Salah
satu kendala yang dihadapi bapak tersebut adalah minimnya koneksi yang bisa
meningkatkan student awareness mengenai
lingkungan itu sendiri. Karenanya kemudian, bapak tersebut mengajak saya dan
Hamli yang nota bene aktivis di IBBIedugreen bekerjasama dengan cara memberikan
pelatihan di sekolah tersebut.
Lebih jauh lagi, pada saat tersebut saya juga berkesempatan
dengan Miss Universe dalam hal lingkungan dan berkesempatan untuk mengambil
foto dengannya (narsis mode on) dan
masih banyak hal lain yang membuat saya pribadi semakin memiliki banyak rekan
yang memiliki kesamaan pandangan akan pentingnya menjaga lingkungan kita.
Beberapa masih terhubung hingga sekarang dan memang sih sudah lebih banyak yang
tidak lagi. J
4. Sharing socio-cultural
Persoalan terakhir ini bisa dikatakan tidak memiliki kaitan
yang jelas dengan dunia lingkungan, namun demikian saya punya sedikit cerita.
Saat pertama kali sampai di gedung konferensi, saat saya terperangah mendapati
beragam jenis kulit, kebudayaan serta kesenian yang bergerumul di aula tempat
Konferensi dihelat. Semuanya datang dengan wajah ceria, bangga dengan kostum
negara masing-masing, serta tentu saja dengan senang hati untuk diajak berfoto.
Dalam pada itu, saya jadi berpikir, seandainya tidak ikut
kegiatan seperti ini, apa mungkin saya bisa tau betapa cantiknya kebudayaan
bangsa lain tersebut? Apa mungkin saya bisa membayangkan betapa banyak ragam
kebudayaan yang ada di semua penjuru dunia ini? Dan apa mungkin saya akan
melihat dan bahkan menjamah baju-baju mereka yang sangat unik-unik itu?
Kontras dari rasa kagum saya yang sedikit lebbai tersebut, lagi-lagi
saya berpikir, masihkah kita akan menikmati semua itu jika keberadaan lingkungan
kita rusak? Masihkah kita bisa melihat teman-teman kita yang dari Papua dengan
bangga menggunakan baju adatnya dimana bahan utamanya adalah dari alam?
Masihkah kita bisa melihat senyum bocah-bocah korea yang merah pipinya itu jika
udara tak lagi bersahabat dan hanya bisa membuat beragam penyakit karena polusi
akibat industrialisasi yang tak lagi bisa dikontrol? Saya tidak bisa
membayangkan jika suatu hari nanti, manusia di dunia tidak lagi menggunakan
baju adat masing-masing, yang mereka kenakan justru baju berbahan baja seperti
yang biasa saya lihat dari film-film futuristic?
Terakhir, bagi saya pribadi, isu global warming berikut segala tetek bengek-nya tidak hanya bertumpu
pada reboisasi hutan sebagai problem
solvingnya, karena global warming
sendiri adalah persoalan yang melibatkan semua negara di dunia tanpa terkecuali
karenanya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa ia juga menjadi tanggung
jawab bersama. Lebih dari itu, keberadaan children
juga menjadi penting, sebab apa yang diflorkan pada forum tersebut juga adalah
demi masa depan mereka, sehingga adalah sangat masuk akal apabila kegiatan ini
dihelat, meski dengan menghabiskan sekian triliun rupiah. Sebab eksistensi
TUNZA sendiri, disamping dihelat dalam rangka menjelang Rio+20, ia juga bisa
menjadi media untuk meningkatkan people awareness mengenai isu lingkungan serta
problem solving yang bisa didapat dar
sharing expreriences dan sharing ideas yang biasanya berlangsung,
baik selama berada di hotel maupun saat konverensi dari seluruh peserta yang
datang dari berbagai negara.