Rabu, 22 Mei 2013

Islam, Muslim dan Gender

16.16



03 Januari 2013 kemaren, saya diberikan kepercayaan untuk berbicara di sebuah forum mahasiswa dengan teman “Problematika Gender dalam Islam” di Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang dihelat oleh BEM Universitas tersebut.
Sejenak saya mengernyitkan dahi saat pertamakali saya mendapati tema tersebut tertulis di Surat Undangan sembari bertanya pada diri saya sendiri, “Memang Islam memiliki masalah dengan Gender tah?”. Pertanyaan tersebut masih menggugu dalam benak saya hingga kemudian saya berada di ruang acara.
Seperti biasa, sebelum memulai presentasi, saya biasanya mengawali dengan candaan dan gurauan serta memberikan pemaparan singkat terkait dengan definisi Gender serta unsur-unsur lain di dalamnya. Tak lupa saya paparkan tentang Feminisme dan Emansipasi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Gender itu sendiri.
Salah satu moment menarik bagi saya pribadi adalah saat hampir memasuki closing, saya memberikan tiga pertanyaan mendasar. Pertama, apakah teman-teman tau jenis kelamin Tuhan? Ruangan tiba-tiba senyap. Tak ada seorangpun yang menjawab pertanyaan tersebut. Kedua, apakah teman-teman tau jenis kelamin Malaikat? Tidak berbeda dengan respon semula, teman-teman Mahasiswa memilih untuk tidak menjawab pertanyaan saya. Dan pertanyaan terakhir adalah, apakah teman-teman tau apa jenis kelamin Bidadari? Nah, di pertanyaan yang ketiga ini sudah mulai ada yang angkat bicara, “Wanita!” dan diikuti dengan tawa ungkapan “Huuuuuu” yang notabene dimotori oleh peserta wanita, “Duh, masak ntar gw jadian sama cewek sih?”, celetuk salah seorang diantaranya.
Well, sejauh saya mempelajari Islam, dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah yang kesemuanya hampir saya selesaikan di Pesantren, hingga kini saya belajar Universitas Islam Negeri Jakarta, tidak pernah sekalipun saya mendapati sebuah penjelasan terkait dengan jenis kelamin tersebut—apa mungkin karena saya jarang baca buku?—dan kalaupun ada, itu hanya sebatas mension bahwa Tuhan itu tidak berkelamin seperti manusia yang dikotakkan antara laki-laki dan perempuan, begitupun dengan malaikat, yang ada hanya penjelasan bahwa Malaikat itu adalah sosok yang tidak memiliki Hawa Nafsu yang kemudian, identitas ini menjadi pembeda dengan manusia.
Terkait dengan jenis kelamin Bidadari dan celetuk beberapa teman-teman di ruangan acara, saya pikir, itu hanyalah ungkapan yang hadir sebagai implikasi dari kesalahan pemahaman di masyarakat yang cenderung membayangkan serta mempercayai bahwa bidadari itu sebagai sesuatu yang cantik, anggun, lembut dengan mata yang indah. Lebih dari itu—jika tidak mau dikatakan ‘lebih buruk lagi’—kondisi ini masih diperparah dengan visualisasi di beberapa film dan sinetron tanah air yang memberikan pengejawantahan Bidadari itu dengan sosok “Perempuan”. Hal ini pada gilirannya berimplikasi pada pemahaman masyarakat bahwa yang namanya bidadari itu adalah Perempuan.
Lepas dari itu semua, bagi saya pribadi, tidak disebutkannya Kelamin Tuhan, Malaikat dan Bidadari dalam Al Quran dan Al Hadist secara komprehensif itu seharusnya memberikan kita satu pemahaman, bahwa “Islam”, sebagai ‘agama modern’, tidaklah mempersoalkan jenis kelamin dalam segala aspek yang termasuk di dalamnya antara lain Sosial, Ekonomi, Hukum serta semua aspek dalam Kebudayaan. Terkait dengan beragam persoalan yang kerap menimpa banyak Muslimah di berbagai tempat dan Negara, saya pikir, itu hanyalah persoalan “domestik” yang menyangkut kondisi Socio-Cultural dan ‘Muslim’ yang bersangkutan, dan, bukan Islam itu sendiri.
Kompleksitas dan diversitas problematika di banyak Negara seperti Afghanistan, Pakistan serta tentu Arab Saudi yang kerap memperlakukan wanita tak ubahnya ‘barang mati’ adalah sekelumit contoh serta alasan mengapa saya menyebutnya sebagai persoalan domestic yang erat kaitannya dengan kondisi socio-cultural-nya.
Akhirnya kita sampai pada satu kesimpulan, bahwa menurut saya pribadi, Gender dan Islam tidak memiliki persoalan. Yang kerap menjadikannya persoalan serta sering mempersoalkan adalah Muslim itu sendiri. Mengutip istilah Elizabeth Cady, “Status wanita adalah ukuran kemajuan dan peradaban suatu masyarakat. Posisi wanita tidak ditentukan oleh Tuhan atau Alam, tapi oleh masyarakatnya”, dan Islam telah menjawabnya.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Posting Komentar

let's share knowledge! :)

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top