03 Januari 2013 kemaren,
saya diberikan kepercayaan untuk berbicara di sebuah forum mahasiswa dengan
teman “Problematika Gender dalam Islam” di Universitas Muhammadiyah Jakarta,
yang dihelat oleh BEM Universitas tersebut.
Sejenak saya mengernyitkan
dahi saat pertamakali saya mendapati tema tersebut tertulis di Surat Undangan
sembari bertanya pada diri saya sendiri, “Memang Islam memiliki masalah dengan
Gender tah?”. Pertanyaan tersebut masih menggugu dalam benak saya hingga
kemudian saya berada di ruang acara.
Seperti biasa, sebelum
memulai presentasi, saya biasanya mengawali dengan candaan dan gurauan serta
memberikan pemaparan singkat terkait dengan definisi Gender serta unsur-unsur
lain di dalamnya. Tak lupa saya paparkan tentang Feminisme dan Emansipasi yang
menjadi bagian tak terpisahkan dari Gender itu sendiri.
Salah satu moment menarik
bagi saya pribadi adalah saat hampir memasuki closing, saya memberikan tiga pertanyaan mendasar.
Pertama, apakah teman-teman tau jenis kelamin Tuhan? Ruangan tiba-tiba senyap.
Tak ada seorangpun yang menjawab pertanyaan tersebut. Kedua, apakah teman-teman
tau jenis kelamin Malaikat? Tidak berbeda dengan respon semula, teman-teman
Mahasiswa memilih untuk tidak menjawab pertanyaan saya. Dan pertanyaan terakhir
adalah, apakah teman-teman tau apa jenis kelamin Bidadari? Nah, di pertanyaan
yang ketiga ini sudah mulai ada yang angkat bicara, “Wanita!” dan diikuti
dengan tawa ungkapan “Huuuuuu” yang notabene dimotori oleh peserta wanita,
“Duh, masak ntar gw jadian sama cewek sih?”, celetuk salah seorang diantaranya.
Well, sejauh saya
mempelajari Islam, dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
Aliyah yang kesemuanya hampir saya selesaikan di Pesantren, hingga kini saya
belajar Universitas Islam Negeri Jakarta, tidak pernah sekalipun saya mendapati
sebuah penjelasan terkait dengan jenis kelamin tersebut—apa mungkin karena saya
jarang baca buku?—dan kalaupun ada, itu hanya sebatas mension bahwa Tuhan itu
tidak berkelamin seperti manusia yang dikotakkan antara laki-laki dan
perempuan, begitupun dengan malaikat, yang ada hanya penjelasan bahwa Malaikat
itu adalah sosok yang tidak memiliki Hawa Nafsu yang kemudian, identitas ini
menjadi pembeda dengan manusia.
Terkait dengan jenis
kelamin Bidadari dan celetuk beberapa teman-teman di ruangan acara, saya pikir,
itu hanyalah ungkapan yang hadir sebagai implikasi dari kesalahan pemahaman di
masyarakat yang cenderung membayangkan serta mempercayai bahwa bidadari itu
sebagai sesuatu yang cantik, anggun, lembut dengan mata yang indah. Lebih dari
itu—jika tidak mau dikatakan ‘lebih buruk lagi’—kondisi ini masih diperparah
dengan visualisasi di beberapa film dan sinetron tanah air yang memberikan
pengejawantahan Bidadari itu dengan sosok “Perempuan”. Hal ini pada gilirannya
berimplikasi pada pemahaman masyarakat bahwa yang namanya bidadari itu adalah
Perempuan.
Lepas dari itu semua, bagi
saya pribadi, tidak disebutkannya Kelamin Tuhan, Malaikat dan Bidadari dalam Al
Quran dan Al Hadist secara komprehensif itu seharusnya memberikan kita satu
pemahaman, bahwa “Islam”, sebagai ‘agama modern’, tidaklah mempersoalkan jenis
kelamin dalam segala aspek yang termasuk di dalamnya antara lain Sosial,
Ekonomi, Hukum serta semua aspek dalam Kebudayaan. Terkait dengan beragam
persoalan yang kerap menimpa banyak Muslimah di berbagai tempat dan Negara,
saya pikir, itu hanyalah persoalan “domestik” yang menyangkut kondisi Socio-Cultural dan ‘Muslim’ yang
bersangkutan, dan, bukan Islam itu sendiri.
Kompleksitas dan
diversitas problematika di banyak Negara seperti Afghanistan, Pakistan serta
tentu Arab Saudi yang kerap memperlakukan wanita tak ubahnya ‘barang mati’
adalah sekelumit contoh serta alasan mengapa saya menyebutnya sebagai persoalan
domestic yang erat kaitannya dengan kondisi socio-cultural-nya.
Akhirnya kita sampai pada
satu kesimpulan, bahwa menurut saya pribadi, Gender dan Islam tidak memiliki
persoalan. Yang kerap menjadikannya persoalan serta sering mempersoalkan adalah
Muslim itu sendiri. Mengutip istilah Elizabeth Cady, “Status wanita adalah
ukuran kemajuan dan peradaban suatu masyarakat. Posisi wanita tidak ditentukan
oleh Tuhan atau Alam, tapi oleh masyarakatnya”, dan Islam telah menjawabnya.
0 comments:
Posting Komentar
let's share knowledge! :)