Kamis, 09 April 2009

Ada Luka Di Pelataran Aqsho

23.08


Lelaki berumur dua puluh lima tahunan itu duduk di pelataran masjid Al-Aqsho, masjid yang menjadi transit nabi dalam perjalanannya ke Sidratul Muntaha. Semilir angin bulan desember yang dingin membelai lembut kulit kasarnya, rasa dingin langsung menjalari tubuhnya dan perlahan menusuk hingga bagian terdalam tulangnya yang kokoh.
Dahulu, desember yang dingin, baginya adalah akhir dari sebuah penantian. Penantian panjang selama hampir satu tahun. Desember menjadi saat terpenting dalam hidupnya, sebab desember kerap menjawab mimpi-mimpi malamnya yang kelam. Terlalu berlebihan kiranya menyebutnya, namun itulah yang ia rasakan.
Sejak kecil, Rasheed, nama pemuda itu memang jarang sekali bertemu dan mendapatkan curahan kasih sayang dari orang tuanya, terutama dari Abynya. Saat teman-teman sebayanya bergelayut manja di dekapan Ummi mereka masing-masing, ia hanya melihat nanar nenek tua yang kerap menemani malam-malamnya yang sepi. saat temannya yang lain mulai bermain di taman dekat sekolah bersama Ummi mereka, maka ia hanya meringkuk di kamar sempitnya yang pengap. Saat petir datang di bulan-bulan pancaroba menyambar dahsyat dengan suara yang memekakkan telinga, maka ia hanya bisa menutup mata dalam balutan selimutnya yang kumal. Temannya yang lain berada hangat di dekapan ummi mereka masing-masing. Ia iri melihat keadaan yang sungguh sangat tidak adil itu. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa, langkah kakinya yang hanya dua jengkal tak akan mampu melintasi jarak antara Egypt dan Palestina.
Desember yang dingin, menjadi jawaban ketidak adilan itu. Umminya pulang rutin pada bulan tersebut. Maka Rasheed merasa menjadi satu-satunya anak yang paling bahagia yang pernah ada. Desember yang dingin menjadi saat ia memamerkan pada teman-temannya, bahwa ia juga punya Ummi, bahwa ia juga bisa bergelayut manja, laiknya anak-anak lainnya, dan bahwa senyum juga bisa mengembang dari bocah ingusan seperti dia.
Desember, adalah bulan yang tak ingin ia lewatkan meski hanya sedetik saja. Maka ia pegang erat tangan ummi, maka ia peluk Ummi dengan eratnya, bahkan kadang ia terjaga pada malam hari, hanya untuk memastikan Umminya masih ada. Selanjutnya ia memilih untuk berlindung di dekap hangat Ummi, berlindung dari udara dingin bulan Desember. Dan itu berulang hingga sebulan penuh.
Suatu malam ia bertanya pada nenek, kenapa Umminya lebih memilih tinggal di Palestina, kenapa Ummi tidak memilih untuk tinggal dan hidup bersamanya di Mesir, Nenek hanya menjawab pendek, ” Seringkali tanya tak selalu beriringan dengan jawab, Anakku! ”, jawaban yang terlalu abstrak untuk ditelannya pada saat itu, jawaban yang kelak ia ketahui sebagai imbas ambisi Ummi untuk tetap berada di Gaza karena sikap kukuhnya mempertahankan negara. Jujur ia tidak pernah merasa puas dengan jawaban itu, namun ia lebih memilih diam, menutup mata sembari berharap desember kembali datang esok pagi.
Namun, kehangatan itu telah lama sirna. Kehangatan itu perlahan berubah, meremah dan bermetamorfosis menjadi asap, menguap hilang ditelan dinginnya bulan desember. Desember yang ia harap menjadi dermaga tanya-tanya tak terjawab, justru berubah wujud, menjelma tanya-tanya lain yang kian rumit untuk terjawab.
” Ummi kemana, Nek? ”, tanyanya setelah hampir sehari semalam ia menunggu kedatangan Ummi di beranda gubuk reotnya. Nenek menjawab dengan gelengan pilu. Tragis nasib pertanyan itu, sebab jawaban tak pernah kunjung datang.
Sementara itu, radio setempat kian gencar mengabarkan ihwal invasi serdadu Israel yang kian menggila membombardir kawasan Gaza, nama daerah yang Rasheed ketahui sebagai tempat tinggal Ummi.
Bombardir oleh tank-tank biadab israel itu dikabarkan kian menggila mencari tumbal, tak perduli tua, anak-anak, wabita, mereka tetap memuntahkan lahar laknat itu dengan dalih mencari pejuang Hamas di tanah Anbiya’. Desing desau peluru dan aroma menyengat mesiu kian membubung di langit langit kota, disusul aroma anyir darah yang menggerayang pekat kota Gaza.
Maka sejak saat itu ia tidak pernah lagi merasakan hangat di tengah dinginnya bulan desember. Desember-desember berikutnya lebih sering berujung hampa, dan itu berlanjut hingga saat ini. Ummi dikabarkan telah tewas dalam serangan malam itu.
* * *
Desember yang dingin lima tahun yang lalu.
Rasa kehilangan yang begitu dalam menohok ulu hatinya, mengantarkannya pada negara konflik ini. Meski kabar yang beredar mengatakan, wanita bernama Khadijah, disebut-sebut telah meninggal dalam sebuah serangan di tepi barat beberapa tahun lalu, namun ia masih tetap keukeuh untuk pergi, toh neneknya di Egypt telah meninggal dunia, tak ada alasan lagi baginya untuk tetap tinggal di mesir, tak ada lagi keluarga yang akan menangisinya ketika duka melanda, dan tak ada lagi orang yang perduli terhadapnya.
” Untuk apa hidup, jika tiap saat hanya aroma penjajahan yang terdengar ? ”, ucapan salah seorang ulama di suatu masjid masih segar dalam ingatannya. Ucapan yang mengiringnya untuk bergabung dengan orang-orang terjajah itu. Orang-orang yang tak pernah lelah memperjuangkan kemerdekaan, atau lebih tepatnya tak pernah mengenal lelah berusaha mengambil kembali tanah mereka yang telah dicuri secara terang-terangan itu. Sejak saat itu, ia kerap bersama mereka. Hampir seluruh kegiatan mereka diikutinya. Mereka seakan menjadi keluarga nonbiologisnya.
* * *
Desember yang dingin. Kini saat penantian itu kembali lagi, namun dengan wajah yang berbeda. Beberapa buah bom rakitan dengan daya ledak tinggi membungkus rapat tubuhnya. Bom rakitan yang akan menghancurkan tubuhnya. Tubuh lelaki yang hanya hidup sebatangkara. Seorang sahabatnya mengatakan bangga dengan langkah yang diambilnya, sebab tindakan tersebut dinilai sebagai representasi pengambilan tiket ke sorga, namun benaknya justru berkata lain. Ia malu dengan pelbagai hal yang berkecamuk di hatinya, ia masih bimbang, apakah langkah yang diambilnya kini merupakan wujud nyata dari sebuah jihad, atau justru ini dikarsa tak lebih karena kesendiriannya hidup di dunia fana ini, sebagai pelampiasan atas kekesalannya terhadap serdadu israel. Ah tak tahulah, semakin dalam ia berkutat dengan gejolak batin, semakin membengkak pula rasa bimbang di dalam hatinya..
Waktu telah menginjak angka 21.00. Malam itu ia bersujud begitu lama. Ia merasa bahwa malam ini adalah saat terakhir ia bisa bercengkrama dengan Tuhan. Seusai sholat, ia kembali duduk di pelataran Masjid. Melihat orang-orang yang berlalu lalang. Sirat luka warga palestina yang dalam tak tersamar meski udara dingin mengembun. Puluhan tahun terjajah di negeri sendiri, sungguh menyakitkan.
Ia rasakan ada sesuatu yang meraba pundaknya. Ditolehnya, dan dia dapati sosok wanita, tengah memandanginya lekat. Kerutan di beberapa bagian muka tirusnya menandakan umurnya yang kian menyenja. Namun sorot mata tajamnya tak turut luntur bersama umur dan raganya yang kian merapuh. Matanya yang tajam seakan mampu meruntuhkan tembok besar yang mengisolasi warga palestina. Dia adalah wanita yang kerap ditunggunya kala desember datang, wanita itu adalah Umminya, Ummi Khadijah.
Perlahan rasa rindu yang menggerayang kuat itu mulai berriak. Mencipta kecipak di hatinya yang telah karat oleh rindu tak terperi. Maka air mata itu tak mampu tertahankan lagi, luruh, merembes tak terbedung. Dirangkulnya wanita malang itu. Wanita yang telah kehilangan suami karena serangan israel, saat umurnya baru tujuh bulan dalam kandungan..
Maka desember syarat penantian itu kini terhempas sudah. Dipeluknya wanita tua itu, tubuhnya kurus hanya disisakan sedikit daging oleh kejamnya hidup. Ah, Ummi! Serunya. Lagi-lagi ia merangkul wanita tua yang sangat disayanginya itu. Seakan tak mau kehilangan lagi untuk kesekian kalinya. Lama ia peluk, lepas sudah rasa rindu itu. Tuhan maha mendengar! Kesendirian itu kini terhempas sudah. Mimpi-mimpinya untuk bersua dengan Ummi terjawab sudah.
Namun kini ia sadar kembali, bahwa ajal telah berada di depannya. Ajal itu akan menjemputnya dalam hitungan beberapa menit lagi. Ingin sekali ia mencabut kembali bom yang telah membungkus tubuhnya itu, membuangnya jauh-jauh, atau seandainya bisa, maka ia akan merubah sejarah, merubah keputusannya untuk menhantarkan nyawa dengan inisiatif sendiri, agar ia kembali bersua dengan jawab dari tanya-tanyanya yang lapuk. Namun juntaian kabel yang terkoneksi antar satu dengan lainnya tak mungkin dapat dibuka. Bahkan oleh seorang ahli sekalipun. Bom tesebut memang telah dirancang agar meledak pada jam dan saat tertentu. Jika kabelnya dilucut paksa, maka akan memicu ledakan.
Rasa takut tiba-tiba menggerayangi jiwanya. Ia merasa jiwanya telah terbang, pergi entah kemana, yang tersisa hanya seongok tubuh tak berdaya yang beberapa detik lagi, akan melebur, menjadi serpihan daging tak berarti. Ia merasa malaikat maut telah manari pongah di kepalanya, geram untuk membawanya ke tempat antah berantah sesegera mungkin.
” Ah Tuhanku.... !”, ucapnya lirih.
Ummi kian erat memeluk tubuh putranya yang telah lama tidak bertemu. ”Maafkan Ummi, sayang !”, bisisknya. ” setelah Abymu meninggal, Ummi berjanji untuk tidak membiarkan orang yang Ummi sayangi, mengalami hal yang sama! Alhamdulillah itu terjadi. Ummi sayang padamu, Anakku! ”, tambahnya. Air mata kebahagiaan tak henti-hentinya luruh.
Di persimpangan hidup dan mati itu, Rasheed masih mengimpikan bersua dengan Ummy dan Aby, namun bukan begini caranya.! Hatinya memberontak. Ia mengimpikan bersua di telaga firdaus-Nya, menikmati nikmatnya hidangan yang telah Allah janjikan dalam Al Quran-Nya.
Dalam kegundahan itu, Rasheed memilih beranjak pergi, pergi sejauh mungkin untuk menyelamatkan Ummi. Ia tidak ingin Ummi menjadi korban dari aksi bom bunuh diri yang dikarsanya. Sempat ia menatap tatapan nanar Ummi di tengah kebingungannya. Ada luka yang menggelayuti hati Rasheed. Ummi, maafkan Rasheed! Dan
Boom...! suara ledakan hebat mengguncang kota konflik itu.
Sejenak Ummi memejamkan mata. Ada harap ledakan itu hanyalah mimpi belaka. Teriakan dan tangisan masyarakat yang disusul raunga sirene ambulance memecah dingin bulan desember, menyadarkannya, bahwa peristiwa ini nyata.
Air mata merembes tak terbendung. Entah apa artinya, bangga atau justru miris mendapati realitas yang tak beriring dengan harap.
Esoaknya.
Harian Gaza
Gaza. Sebuah aksi bom bunuh diri kembali terjadi di daerah pemukiman padat penduduk. Dua orang meninggal dan tiga lainnya luka-luka akibat terkena radiasi ledakan bom. Hingga berita ini diturunkan, belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas aksi bom bunuh diri tersebut.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

1 comments:

  1. sbnrnya ummi nya itu slama ini msh hdp ato ummi nya hanya dtg sbagai roh????




    yg jelas..
    lw pnya bkt deh tuk nuliz..
    npa ya..
    klo pnulis indonesia..
    mesir mnjd tumpuan d dlm ssbuah crta???

    kya habiburrahman el shirazi aj..
    heheheheh

    BalasHapus

let's share knowledge! :)

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top