me with our moslem folks |
Cuaca begitu terik siang itu, namun tidak menyurutkan langkah
saya dan dua sahabat saya untuk mengunjungi Muncie Islamic Center (MIC). Alasan
saya bersikukuh untuk mengunjungi MIC, karena hari itu adalah hari terakhir
saya berada di Ball State University, tempat saya kuliah, beasiswa dari U.S
Departement of State, yang memang terletak di Muncie, kota kecil di negara
bagian Indiana, sehingga akan rugi bila saya tidak mengunjungi dan menjalin
ukhwah islamiyah dengan saudara seiman.
Sesampainya di depan MIC saya disambut oleh seorang bapak
berumur sekitar 50 tahunan bernama Mumtaz, beserta seorang remaja bernama
Habeeb dan tiga anak kecil. Hangat dia menyambut kami dengan senyum
bersahajanya sembari mempersilahkan kami masuk membuat saya merasa seperti baru
pulang ke rumah sendiri dan bertemu keluarga.
Seusai menunaikan sholat ashar, saya langsung duduk bersama
mereka sembari berbincang-bincang hangat, berbagi pengalaman bagaimana saya
bisa sampai ke Muncie, dalam rangka apa, berapa lama hingga kehidupan di
Indonesia. sedikit berbagi, entah ini benar atau hanya ingin membuat saya
senang, tapi menurut pak Mumtaz, “Masyarakat Indonesia terkenal ramah!”.
Dan tidak mau ketinggalan, saya pun bertanya banyak hal tentang
kehidupan Muslim di Amerika, khususnya di Muncie dan sekitarnya, sebab sejauh
ini, info yang saya dapatkan mengenai kehidupan Muslim di Amerika, baik dari
media Mainstream maupun ecek-ecek, selalu saja tentang ketidak harmonisan,
hubungan yang destruktif dan jauh dari konsep Tasamuh Diin[1]i
yang memang diajarkan dalam Islam.
Menurut pak Mumtaz, hubungan antara Muslim dan masyarakat di
Muncie cukup baik. hubungan personal baik antar muslim dengan non muslim, MIC
dengan warga sekitar dan lain sebagainya. Hal ini misalnya direpresentasikan
dari salah satu kegiatan Open House berupa
mengajak masyarakat di Muncie, baik yang Muslim maupun Non-Muslim untuk berbuka
puasa bersama. Disamping berguna untuk menjalin hubungan yang baik dengan
masyarakat sekitar, ini juga berfungsi sebagai bentuk dakwah untuk
memperkenalkan Islam yang jauh berbeda dari informasi yang didapat di media.
Mumtaz menambahkan, adanya ketidak harmonisan antara Muslim
dengan masyarakat di Amerika memang ada, khususnya pasca terjadinya serangan
911, namun satu hal yang harus dicatat, bahwa kehidupan muslim di Amerika,
khususnya di Muncie, tidaklah separah yang diberitakan media massa, “media
memang berlebihan dalam pemberitaannya! Bahkan terkesan, karena pemberitaan di
medialah, hubungan yang awalnya baik, menjadi merenggang!” tandas pak Mumtaz.
Selama beberapa waktu di Amerika, berikut hasil perbincangan
saya dengan pak Mumtaz, saya mendapatkan tiga pelajaran berharga yang agaknya
sukar saya temui di Indonesia.
Pertama, kebebasan beragamanya. Ini tentu sangat benar, sebab
Amerika sendiri merupakan negara sekuler yang tidak pernah mempersoalkan
keagamaan seseorang. Kalaupun ada beberapa ketentuan yang diberlakukan di
beberapa lembaga—biasanya private sector—yang
mensyaratkan harus menanggalkan jilbab atau hal lain yang—mungkin—akrab dengan
nilai keagamaan tertentu, biasanya hanya perkara ketentuan dalam instansi
tersebut dan tidak terpaut urusan negara. tidak jauh berbeda dengan ketentuan
menjadi seorang pramugari yang harus memiliki tinggi badan tertentu dan lain
sebagainya.
Kedua, kebebasan melakukan ibadah. Menjelaskan poin kedua,
agaknya tidak ada salahnya jika saya cerita sedikit saat saya berkesempatan
mengunjungi New York City, tepatnya Times Square yang menjadi salah satu ikon
Amerika.
Saat saya tengah asik berfoto-foto dengan teman-teman dari
the Philippines dan Malaysia di tengah keramaian Times Square, saya tertegun
sejenak melihat seorang pedagang kaki lima dengan kopiah putih ala pak Haji di
kepalanya, yang terlihat tengah menggelar kardus, lalu beberapa jenak kemudian
ia mendirikan sholat. Ia seakan tak perduli dengan keramaian yang ada,
kesibukan orang di sekitarnya, hingga pandangan orang-orang yang berlalu
lalang, yang dia perdulikan hanya, panggilan untuk menghadap Tuhannya. Dan tak
seorangpun mencegah, apalagi sampai menahannya. Subhanallah.
Terakhir, nilai ukhuwah islamiyah. Poin terakhir ini mungkin sifatnya
subjektif, hal tersebut mungkin saja terjadi, karena pengalaman ini hanya saya
dapatkan satu kali dengan satu orang saja. Saya belum sempat mengeksplorasi
lebih jauh lagi tentang muslim di sana, namun demikian, berdasar dari cerita
pak Mumtaz, berikut kesempatan saya bertemu dengan seorang mahasiswa asal Saudi
Arabia yang semuanya ramah-ramah dan sangat bahagia karena bisa bertemu saya
yang notabene Muslim, saya dapat merasakan betapa ukhuwah islamiah di Muncie
benar-benar tinggi.
Akhirnya, karena waktu yang makin larut, kami memutuskan
untuk segera kembali ke asrama. Pak Mumtaz menyarankan agar kami diantar oleh
Habeeb. Awalnya saya menolak, dengan alasan tidak mau merepotkan serta bisa
pulang sendiri, namun pak Mumtaz justru memaksa sembari berucap, “Sesama muslim
bersaudara, tidak pernah ada kata merepotkan dan direpotkan!” akhirnya kami
pulang.
0 comments:
Posting Komentar
let's share knowledge! :)