Selasa, 17 April 2012

A Note from USA : Detak Islam di Muncie

10.54


me with our moslem folks

Cuaca begitu terik siang itu, namun tidak menyurutkan langkah saya dan dua sahabat saya untuk mengunjungi Muncie Islamic Center (MIC). Alasan saya bersikukuh untuk mengunjungi MIC, karena hari itu adalah hari terakhir saya berada di Ball State University, tempat saya kuliah, beasiswa dari U.S Departement of State, yang memang terletak di Muncie, kota kecil di negara bagian Indiana, sehingga akan rugi bila saya tidak mengunjungi dan menjalin ukhwah islamiyah dengan saudara seiman.
Sesampainya di depan MIC saya disambut oleh seorang bapak berumur sekitar 50 tahunan bernama Mumtaz, beserta seorang remaja bernama Habeeb dan tiga anak kecil. Hangat dia menyambut kami dengan senyum bersahajanya sembari mempersilahkan kami masuk membuat saya merasa seperti baru pulang ke rumah sendiri dan bertemu keluarga.
Seusai menunaikan sholat ashar, saya langsung duduk bersama mereka sembari berbincang-bincang hangat, berbagi pengalaman bagaimana saya bisa sampai ke Muncie, dalam rangka apa, berapa lama hingga kehidupan di Indonesia. sedikit berbagi, entah ini benar atau hanya ingin membuat saya senang, tapi menurut pak Mumtaz, “Masyarakat Indonesia terkenal ramah!”.
Dan tidak mau ketinggalan, saya pun bertanya banyak hal tentang kehidupan Muslim di Amerika, khususnya di Muncie dan sekitarnya, sebab sejauh ini, info yang saya dapatkan mengenai kehidupan Muslim di Amerika, baik dari media Mainstream maupun ecek-ecek, selalu saja tentang ketidak harmonisan, hubungan yang destruktif dan jauh dari konsep Tasamuh Diin[1]i yang memang diajarkan dalam Islam.
Menurut pak Mumtaz, hubungan antara Muslim dan masyarakat di Muncie cukup baik. hubungan personal baik antar muslim dengan non muslim, MIC dengan warga sekitar dan lain sebagainya. Hal ini misalnya direpresentasikan dari salah satu kegiatan Open House berupa mengajak masyarakat di Muncie, baik yang Muslim maupun Non-Muslim untuk berbuka puasa bersama. Disamping berguna untuk menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar, ini juga berfungsi sebagai bentuk dakwah untuk memperkenalkan Islam yang jauh berbeda dari informasi yang didapat di media.
Mumtaz menambahkan, adanya ketidak harmonisan antara Muslim dengan masyarakat di Amerika memang ada, khususnya pasca terjadinya serangan 911, namun satu hal yang harus dicatat, bahwa kehidupan muslim di Amerika, khususnya di Muncie, tidaklah separah yang diberitakan media massa, “media memang berlebihan dalam pemberitaannya! Bahkan terkesan, karena pemberitaan di medialah, hubungan yang awalnya baik, menjadi merenggang!” tandas pak Mumtaz.
Selama beberapa waktu di Amerika, berikut hasil perbincangan saya dengan pak Mumtaz, saya mendapatkan tiga pelajaran berharga yang agaknya sukar saya temui di Indonesia.
Pertama, kebebasan beragamanya. Ini tentu sangat benar, sebab Amerika sendiri merupakan negara sekuler yang tidak pernah mempersoalkan keagamaan seseorang. Kalaupun ada beberapa ketentuan yang diberlakukan di beberapa lembaga—biasanya private sector—yang mensyaratkan harus menanggalkan jilbab atau hal lain yang—mungkin—akrab dengan nilai keagamaan tertentu, biasanya hanya perkara ketentuan dalam instansi tersebut dan tidak terpaut urusan negara. tidak jauh berbeda dengan ketentuan menjadi seorang pramugari yang harus memiliki tinggi badan tertentu dan lain sebagainya.
Kedua, kebebasan melakukan ibadah. Menjelaskan poin kedua, agaknya tidak ada salahnya jika saya cerita sedikit saat saya berkesempatan mengunjungi New York City, tepatnya Times Square yang menjadi salah satu ikon Amerika.
Saat saya tengah asik berfoto-foto dengan teman-teman dari the Philippines dan Malaysia di tengah keramaian Times Square, saya tertegun sejenak melihat seorang pedagang kaki lima dengan kopiah putih ala pak Haji di kepalanya, yang terlihat tengah menggelar kardus, lalu beberapa jenak kemudian ia mendirikan sholat. Ia seakan tak perduli dengan keramaian yang ada, kesibukan orang di sekitarnya, hingga pandangan orang-orang yang berlalu lalang, yang dia perdulikan hanya, panggilan untuk menghadap Tuhannya. Dan tak seorangpun mencegah, apalagi sampai menahannya. Subhanallah.
Terakhir, nilai ukhuwah islamiyah. Poin terakhir ini mungkin sifatnya subjektif, hal tersebut mungkin saja terjadi, karena pengalaman ini hanya saya dapatkan satu kali dengan satu orang saja. Saya belum sempat mengeksplorasi lebih jauh lagi tentang muslim di sana, namun demikian, berdasar dari cerita pak Mumtaz, berikut kesempatan saya bertemu dengan seorang mahasiswa asal Saudi Arabia yang semuanya ramah-ramah dan sangat bahagia karena bisa bertemu saya yang notabene Muslim, saya dapat merasakan betapa ukhuwah islamiah di Muncie benar-benar tinggi.
Akhirnya, karena waktu yang makin larut, kami memutuskan untuk segera kembali ke asrama. Pak Mumtaz menyarankan agar kami diantar oleh Habeeb. Awalnya saya menolak, dengan alasan tidak mau merepotkan serta bisa pulang sendiri, namun pak Mumtaz justru memaksa sembari berucap, “Sesama muslim bersaudara, tidak pernah ada kata merepotkan dan direpotkan!” akhirnya kami pulang.


[1] Toleransi beragam

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 comments:

Posting Komentar

let's share knowledge! :)

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top