Sabtu, 14 September 2013

Terror Horror di Russia


Kawasan Kremlin
“Mafia Russia terkenal rasis, suka mengancam, bahkan tidak segan-segan membunuh orang yang tidak disukai di tempat umum”, kisah seorang teman yang telah tinggal di Moscow, saat saya dan beberapa teman dari Jakarta baru sampai di kota tersebut, “namun yang lebih mengerikan dan paling tidak manusiawi adalah, mereka, lebih suka membuat korbannya cacat seumur hidup”, lanjutnya.
Mendadak bulu kuduk saya merinding. Membayangkan apa yang akan terjadi pada kami jika sampai berurusan dengan mereka. Melempar pandangan ke jalanan di sekitaran jembatan tak jauh dari Gorky Park, dan menemukan banyaknya botol Vodka berserakan serta udara yang menyentuh 15°cc, menambah aroma mengerikan tempat yang sejatinya indah tersebut. Alhasil, saya dan teman-teman lain, memilih untuk segera kembali ke Hostel.
Cerita tentang kriminalitas yang mengerikan di Moscow nyatanya belum berakhir juga. Saat sampai di Hostel, sesaat setelah saya mandi dan menunaikan sholat Isya, beberapa teman dari China yang kebetulan tinggal di tempat yang sama, bercerita bahwa sebelum kembali ke Hostel, mereka bertemu dengan mafia Russia yang terlihat tengah menodong seorang turis di sebuah taman kota, seakan menguatkan cerita teman saya sebelumnya dan membuat saya semakin tertarik untuk meninggalkan Moscow sesegera mungkin.
salah satu taman di Moscow

Esoknya, menjelang siang, saya dan beberapa teman memutuskan untuk pergi ke Izmailovsky Market, sebuah pasar tradisional yang menjual beragam souvenir khas Russia seperti Matryoshka, gantungan kunci, barang-barang militer sisa perang dingin dengan harga miring, untuk dibawa ke Indonesia. Cuaca yang cerah dengan udara yang berkisar 30°cc, cukup mengurangi aroma horror di Moscow. Namun sayang, suasana tersebut juga tidak berlangsung lama.
Selama dua jam menjelajah pasar tersebut, mata saya tergoda oleh sebuah tas antik peninggalan militer Russia. Melihat modelnya yang bagus serta tagline 1941 sebagai tanda tahun produksi barang, membuat saya langsung jatuh hati dan tanpa banyak congcong, langsung saya beli dan saya pakai saat itu juga, hingga tak terasa, jam sudah menunjukkan angka 14.00, lalu saya memutuskan untuk makan siang di sebuah Food Stall yang masih satu komplek dengan Izmailovsky, dan memilih ayam bakar yang aromanya tercium kemana-mana serta roti khas Russia yang entah apa namanya, saya tidak banyak tanya karena terlalu sibuk dengan tas baru saya. 
Salah Satu Sudut Kremlin

Saat makan sambil lalu mengecek tas kesayangan tersebut, tiba-tiba seorang nenek berumur sekitar 80 tahunan, berkostum khas orang Russia jaman dulu, datang kepada saya dan berucap beberapa patah kata sembari tersenyum. Kontan saya dan teman-teman saya yang lain hanya saling pandang satu sama lain karena tidak mengerti bahasa Russia.
Melihat kami yang kebingungan, teman saya yang sudah dua tahun tinggal di Moscow itu akhirnya menjelaskan pada kami, bahwa memandangi saya, nenek tersebut jadi teringat pada salah satu tentara Russia yang telah meninggal empat puluh tahun lalu, yang meninggal karena dibunuh. Saya dan teman-teman lain saling adu pandang, sebelum akhirnya pandangan kami tertuju pada tas yang baru saja saya beli.
St. Basil

Pikiran liar saya jadi tidak terkontrol. Jangan-jangan, pemilik orang tas yang saya pakai itu adalah tentara yang mati dibunuh itu. jangan-jangan arwahnya masih gentayangan. Jangan-jangan, apa yang dilihat nenek tadi, adalah jelmaan dari arwah tentara malang tersebut. Jangan-jangan tas tersebut ada penunggunya. Dan prasangka-prasangka tersebut semakin membuat kami ketakutan bahkan masuk pada kategori paranoid saat kami semua mendapati kondisi tubuh saya yang sangat Asian dan jelas-jelas berbeda dengan orang Russia kebanyakan yang European. Dan jadilah penjelajahan kami di Moscow di pertengahan tahun 2012 itu, syarat dengan kisah horror dan terror. Berkunjung ke St. Basil serta Kremlin yang menjadi menu wajib, tak mampu mencairkan suasana  hati saya.
Namun semua kisah horror dan terror tersebut akhirnya terbayar saat kami memilih untuk mengunjungi kota St. Petersburgh yang sangat cantik, syarat bangunan kuno dengan arsitektur eropa klasik seperti Petropalovskaya Castel di pulau Zayachi yang dibangun sejak tahun 1703, Blue Mosque yang terletak tidak jauh dari pulau Zayachi, beragam museum seperti Hermitage yang super besar dan super lengkap yang tidak akan selesai dijelajahi hanya sehari serta gereja-gereja yang lebih dari sekedar Indah, seperti Gereja Savior. 
Savior

Gereja Savior sendiri merupakan salah satu gereja bersejarah yang telah dibangung sejak tahun 1881 oleh N. Benois dan A. Parland, dan berdiri megah tepat di samping kanal cantik yang membelah salah satu sudut kota St. Petersburgh. Ornament dinding yang dipenuhi dengan bulatan-bulatan yang nampak seperti kelereng besar, serta interior bangunan yang syarat warna, membuat saya tidak henti-hentinya berdecak kagum. “Cocok sekali untuk tempat bulan madu!”, seru saya dalam hati.
Blue Mosque

St. Petersburgh

Hari-hari berikutnya saya habiskan di sebuah perkampungan kecil di bagian kota Tver, tepatnya di sekitaran danau Seliger karena program Summer Camp yang saya ikuti dihelat di sana. Di desa tersebut, lagi-lagi saya harus berdecak kagum, bukan pada bangunannya, melainkan pada masyarakatnya yang, subhanallah, ramahnya kebangetan, bahkan mungkin lebih ramah ketimbang masyarakat di desa-desa di Indonesia yang pernah saya kunjungi.
Keramahan mereka semakin terasa saat suatu sore, saya dan dua teman saya berkunjung ke sebuah pasar tradisional, dan bertemu dengan masyarakat lokal. Meski tidak ada satupun dari mereka yang mampu berbahasa Inggris, namun sikap hangat yang mereka tunjukkan serta senyum tulus yang disunggingkan, cukup menggambarkan betapa masyarakat di desa tersebut sangat terbuka dan ramah pada pendatang seperti saya. sempat beberapakali saya diajak berfoto, baik oleh pengunjung, maupun penjual buah Cherry yang tengah duduk manis di lapaknya, dan sebagai gantinya, kami diberi Cherry segar dengan gratis.
Dan sejak saat itu, kesan horror berubah menjadi kesan homey, sementara terror, tetap terasa hingga sekarang, namun dalam konteks yang berbeda, yakni terror untuk pergi kesana lagi dan lagi. Dan tentu saja, suatu hari nanti, saya akan pergi kesana lagi. Insyaallah

Selasa, 03 September 2013

Mudik ke Madura, Transitnya Kemana-mana


Sebagai mahasiswa, memenuhi hasrat traveling, memang tidaklah mudah, tugas kampus yang menumpuk, seabrek kegiatan di organisasi serta yang paling krusial adalah urusan keuangan, adalah salah tiga hal penghambatnya. Jangankan ke luar negeri, berwisata ke kota-kota di Indonesiapun, mesti saya pikirkan matang-matang. Kecuali gratis, maka kemanapun dan kapanpun, akan saya jabanin, bahkan meski dalam keadaan puasa sekalipun. hehehe
Awal Agustus tahun 2012 itu, sudah memasuki hari kesepuluh bulan puasa, saat saya memutuskan untuk mudik. Sengaja saya memilih mudik lebih awal, karena disamping tidak ada lagi program di kampus dan organisasi, saya juga masih ingin jalan-jalan terlebih dahulu sebelum sampai di Madura. Dan dari sinilah petualangan itu bermula.
Usai mengepak semua barang yang akan saya bawa, akhirnya saya berangkat juga ke bandara dengan angkot dari Ciputat ke Blok M, lalu dilanjutkan dengan Bus Damri Blok M-Seokarno Hatta. Meski flight saya masih jam 20.40 malam, namun sengaja saya berangkat lebih awal, karena disamping takut kemacetan di Jakarta menggila, saya juga memburu tempat duduk yang nyaman, baik untuk berbuka puasa maupun saat di pesawat nanti.
Jam 17.00, saya baru sampai di Soetta dan langsung bergegas ke sebuah tempat makan di terminal 2, dan memesan makanan asli Indonesia untuk berbuka puasa. Kelar berbuka puasa, saya sempatkan dulu untuk sholat maghrib, sebelum akhirnya bergegas pergi ke check in counter Singapore Airlines (loh?) yang alhamdulillah sesuai dengan kursi yang saya inginkan, serta dilanjutkan ke konter imigrasi (loh loh??).
Saat pengumuman boarding untuk penerbangan SQ 967 didengungkan, bergegas saya pergi ke petugas di pintu masuk untuk boarding, berbaris dengan para penumpang lainnya yang kebanyakan bule itu, lalu disambutlah saya dengan senyum SQ Girls yang manis dan kinyis-kinyis itu sembari berujar “Welcome sir!”, melting saya! Untungnya tidak dalam keadaan berpuasa XD. Tidak berapa lama saya duduk, saat pesawat mulai pushback, SQ Girls datang lagi ke saya. Saya pikir mau ngapain, ternyata mau ngasih handuk basah hangat. Hmh, langsung deh saya usapkan kemuka, dan, viola… segarnya! Pesawatpun mulai masuk runway dan… take off. Dan sesuatu sekali, karena selama dalam perjalanan, tidak ada turbulensi sama sekali, serta makanan yang disajikan sesuai dengan selera saya yang biasanya hanya makan di warteg ini. :p
Setelah menempuh perjalanan tidak kurang dari 1.30 menit, sampai juga saya di Changi. Awalnya saya masih ingin explore dulu bandara favorit saya tersebut, namun karena waktu tidak memungkinkan, maka urung saya lakukan, dan memilih segera mencari gate untuk connecting flight saya, yakni EK 355 (loh loh loh!). lalu boardinglah saya. Karena penerbangan saat itu tengah malam, jadi, dalam perjalanan, saya lebih banyak istirahatnya, yah kecuali saat makan saja. Hehe…
Selama kurang lebih tujuh jam mengudara, lalu pesawat saya rasakan mulai descent, pertanda pesawat sudah mendekati bandara Dubai, terus turun dan turun hingga akhirnya benar-benar touch down. Dan sayapun lagi-lagi bergegas mencari connecting flight (loh loh loh loh loh!!!) dengan kode EK 191. Sesampainya di gate yang memang sudah ditentukan, saya memilih untuk rebahan di lantai. Kursi-kursi yang tersedia sudah terisi semua oleh orang-orang yang berbeda warna kulit. Ada merah, kuning, hijau (lah, ini warna balon?) eh enggak dink, maksud saya dari berbagai etnis dan kebangsaan.
Memasuki jam 08.00 pagi, akhirnya boarding untuk penerbangan EK191 didengungkan, dan lagi-lagi bergegas saya masuk. Tapi ternyata tidak dibolehin sama petugasnya. Setelah saya tanya, ternyata saya di kelas ekonomi, dan masuknya belakangan katanya. Oalaaahhh, saya pikir sama aja masuknya! Hihihi…
Saat di pesawat, saya memilih untuk tidak banyak istirahat, sekedar mencoba menyesuaikan diri dengan tempat yang akan saya kunjungi, agar tidak kena jetlag. Tiba gilirannya makanan datang, saya jadi galau, mau lanjut puasa, atau memilih membatalkan puasa! Namun setelah melakukan kontemplasi dan merefresh ilmu fiqh yang saya pelajari di pesantren beberapa tahun lalu, akhirnya saya putuskan untuk membatalkan puasa. L . sedih sih, tapi setelah melahap habis semua makanan yang disediakan, saya gak sedih lagi. Nah, agar pembatalan puasa itu tidak sia-sia, maka hampir tiap ada flight attendant melewati saya, udah pasti saya minta Apple Juice. Hohoho
Selama delapan jam tiga puluh menit mengudara, akhirnya pesawat itu mulai descent, pertanda pesawat akan segera sampai, serta dilanjutkan dengan pengumuman dari kapten yang kurang lebih kontentnya begini, “Hey ncang, ncing, nyak babeh, udah hampir nyampe nih, pasang ye sabuk pengamannye!” dan sampailah saya di Lisbon Portela Airport, yup, welcome to Portugal! ^_^.

my suitcase

Usai melewati imigrasi, saya langsung mencari tempat pengambilan bagasi. Tidak lama menunggu, suitcase sudah di tangan, dan bergegaslah saya mencari pihak ‘berwenang’ yang sudah menuggu di dekat lobby bandara. Sampai di lobby yang sudah ditentukan, saya dapati kerumunan massa yang nampak colorful karena datang dari berbagai etnis yang berbeda. Usai “hai hai hai” dan cipika-cipiki, akhirnya rombongan kecil itu mulai beranjak keluar bandara, menuju bis yang terletak di parking lot, untuk melanjutkan ke tujuan yang sebenarnya, Coimbra City. J
Kesan pertama saat menginjakkan kaki di negara asal Cristiano Ronaldo ini adalah suasana perpaduan timur tengah dengan eropa setelah mendapati banyaknya pepohonan yang mirip pohon kurma (apa memang pohon kurma?) serta Madura. Apah? Madura? Yup! entahlah, mungkin karena tekstur tanahnya yang rada gersang serta landscape tanahnya, mengingatkan saya sama desa Batu Marmar di Madura (are you insane?). Terlebih saat dalam perjalanan dari Lisbon ke Coimbra itu, saya memilih tetap terjaga dan memandangi pemandangan sekitar yang saaaaaangat Madura (*slap!).
Coimbra, School Inside of Transit
Kota Coimbra merupakan sebuah kota yang terletak di tengah Portugal, dan butuh sekitar 3-4 jam perjalanan dari Lisbon melalui jalan darat. Disamping dikenal dengan kota yang pernah menjadi ibu kota selama masa pertengahan, kota ini juga dikenal dengan sebutan kota pelajar, sebab di kota kecil yang berpenduduk hanya berkisar 100 ribuan ini, ada banyak perguruan tinggi seperti Instituto Politécnico de Coimbra, Escola Superior de Enfermagem de Coimbra serta Universidade de Coimbra (UC) yang termasuk salah satu universitas tertua di Portugal, bahkan eropa (wikipedia).
Universidade de Coimbra

Berjubah
Selama di Coimbra, kebanyakan kegiatan saya berkutat di sekataran UC, sebab program Summer School yang saya ikuti memang dihelat di universitas tersebut. Pagi berangkat dari Dorm yang letaknya sekitar satu kilo dari kampus, dan malamnya kembali lagi ke Dorm, sahingga saya berpikir, Coimbra hanya kota kecil yang tidak jauh berbeda dengan Sumenep (Please wake me up!). Selain arsitektur bangunan yang tipikal Europe, khususnya UC sendiri yang sangat tua, serta pakaian khas yang biasa digunakan para mahasiswa berupa jubah besar hitam, yang kemudian mengingatkan saya pada sekolah sihir Hogwarts di film Harry Potter (is that a thing?), maka tidak ada lagi yang istimewa, hingga pada suatu ketika, empat teman saya dari Brunei, Egypt, Palestine dan Rumania, mengajak saya bolos kelas (I know I’m not a good student! -_-), dan memilih jalan-jalan ke belakang kampus. Guess what! I got this!
Mondego River

Salah stu sudut Coimbra
Yess, Coimbra isn’t small town! Dan yang paling penting, kota ini bukan hanya sekedar cantik, tapi cantiiiiiikkkk sekali! Mondego River yang membelah kota, tekstur tanah berbukit sehingga memungkinkan pengunjung melihat indahnya arsitektur bangunan yang menjumput di atasanya, serta toko-toko khas eropa berikut trotoar café-nya, adalah salah empat hal yang akan membuat pengunjung “sakau” kamera dan bawaannya pengen memfoto—bagi photograddict—serta difoto—bagi yang narsis—,terlebih jika datang pas sore hari, béééhhh, ndak semaput masih untung! (I’m kidding)
Lisbon, Trip Inside of Transit
Salah satu kegiatan yang sudah diprogramkan oleh panitia Summer School adalah trip ke Lisbon. Di ibu kota ini kami mengunjungi beberapa site menarik dan sangat penting dalam meningkatkan pemahaman lintas kultural seperti Gulbenkian Museum, sebuah museum yang dibangun oleh keluarga Gulbenikan asal Turki, the Ismaili Center, Gereja Cathedral, Synagogue serta tentu saja Masjid.
Dan untuk menghindari ihwal SARA di comment box, maka saya share foto-fotonya saja ya. As we know, orang Indonesia gampang terprovokasi J . Mungkin dengan melihat apa yang kami lakukan selama di Portugal, para pembaca bisa lebih memahami, bahwa ini bukan tentang mempengaruhi maupun dipengaruhi, melainkan mencoba untuk berpikir terbuka, berbagi sudut pandang dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih harmonis dan damai. #PeaceUp 
Cathedral

Gulbenkian

Lisbon Synagogue

Masjid di Lisbon

Down Town Lisbon

Foto bersama usai kegiatan


Finally I Go Home
Kegiatan selesai, semua peserta akhirnya pulang ke negaranya masing-masing, termasuk saya yang merupakan satu-satunya orang dari Indonesia, dengan rute kepulangan LIS-DXB-SIN-CGK. Ada yang cerita menarik saat saya transit di Singapore. Karena delay saat transit di Dubai, akhirnya saya telat juga sesampainya di Singapore.
Memasuki disembark, saya bergegas ke keluar, mencoba menerobos jubelan penumpang lainnya, untuk mengejar flight SQ968 ke Jakarta, hingga kemudian saya mendapati seorang pria tengah berdiri tepat di depan pintu keluar garbarata sembari mengacungkan papan kecil berukuran A4 ber-tagline “Mr. Hafiz Al Asad” dengan paniknya. Hey, itu kan nama saya! Seru saya dalam hati. Untuk beberapa saat lamanya saya berasa seperti artis, yang ditunggu penggemar. Iya, merasa seperti artis, sebelum akhirnya bapak itu menginformasikan bahwa saya mesti buru-buru pindah gate jika tidak mau ketinggalan pesawat. Panik jugalah saya akhirnya.
“Gimana kalau ketinggalan? Gimana kalau enggak bisa pulang? Gimana kalau enggak bisa lebaran di rumah? Bagaimana kalau kehabisan duit? Bagaimana kalau nasib Tom Hanks di film Terminal menimpaku?” Setidaknya pertanyaan-pertanyaan itu yang menggulung di pikiran saya saat itu. terlebih saat melihat dompet yang hanya bersisa 50 serta uang IDR 50.000 untuk ongkos dari Jakarta ke Madura (what???).
Segera lah kami berdua keluar, mencari gate untuk flight berikutnya ke Jakarta. Namun ditengah kepanikan saya tersebut, jauh di dalam hati, saya bersorak ria, sebab untuk pertamakalinya, saya naik Golf Car (*Kotrok tingkat 7 -_-).
Tak lama berselang, akhirnya kami sampai di depan pusat informasi Singapore Airlines. Bapak yang mengendarai Golf Car tadi segera beringsut pergi ke pusat informasi, meninggalkan saya sendirian di Golf Car tersebut. Untuk beberapa saat lamanya mereka nampak tengah berbincang, lalu si bapak datang ke saya lagi dengan muka kuyu, menginformasikan bahwa saya masih bisa naik pesawat SQ968 malam itu juga, namun suitcase saya baru bisa dikirim ke Jakarta esok paginya.
What! Are joking?” seru saya ke bapak tadi, “I won’t fly to Jakarta without my suitcase!”, tambah saya. Tak lama bernegosiasi, akhirnya sampai pada satu kesepakatan; saya bisa mendapatkan penerbangan lanjutan ke Jakarta bersamaan dengan suitcase saya, namun flightnya diganti keesokan harinya. Dan sayapun mengiyakan. Andai saya memaksakan untuk ikut flight malam itu juga, saya tidak bisa membayangkan harus bermalam di CGK yang banyak kecoaknya, hanya untuk menunggu barang saya tersebut. Lebih baik di Changi kemana-mana, bersih, free wifi, kursi pijat serta yang paling penting, bisa spotting (*dasar Avgeek yah? ^_^), dan asli, semalaman saya tidak tidur, memilih jalan-jalan di bandara tersebut, sembari bernostalgia ke setahun silam saat saya hendak ke USA.
Esok paginya saya sampai di CGK, langsung mencari Bus ke Gelora Bung Karno, dan bergegas mencari teman-teman saya yang juga akan ikut program Mudik Gratis Bareng, yang difasilitasi salah satu partai. Istilahnya mah, apapun partainya, yang penting bisnya gratis! Dan berangkatlah saya pada hari itu juga ke Madura dan baru bisa berkumpul dengan keluarga keesokan harinya.
Catatan tentang Transit
Beberapa catatan penting yang membuat perjalanan tersebut sangat berkesan antara lain, untuk pertamakalinya saya menunaikan ibadah puasa di negeri orang, belajar bersama dengan pemuda dari seluruh dunia di lembaga Katholik, menemui saudara-saudara seiman di negeri Katholik, mendapati sahabat dekat saya yang berbangsa yahudi dari Israel menggunakan Jilbab di Masjid, serta mendapati sahabat-sahabat saya yang atheis menggunakan Kipa di Synagogue. Sungguh, perjalanan tersebut memiliki kesan tersendiri yang sangat mendalam bagi saya pribadi, khususnya dalam ihwal spiritualitas.

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top