Selasa, 17 April 2012

Singapore, Tuh!!!


Well, awalnya sih gue pengen berbagi cerita mengenai kiat-kiat tentang jalan-jalan ekstra murah meriah, cuman karena udah banyak tulisan yang mengupas tentang hal serupa, makanya gue mau nulis hal lain ajah!
Umh, jadi ceritanya liburan ini Alloh, Tuhan gue yang paling gw sayang dan cintai sepanjang masa ngasih kesempatan ke gue buat nginjakin kaki ke Singapore. Dan, selama kurang lebih 4 hari di sana, ada beberapa hal yang pengen banget gue share. Apa ajah tuh?
Oke, Pertama, hal yang paling gw suka tentang Singapore nih, gak lain adalah masyarakatnya. Gue ga tau gimana cara pemerintah situ ngajarin masyarakatnya yang macem-macem itu (Melayu, China dan India) buat ngadepin pendatang, sebut saja pelancong begitu, buat bersikap ramah yang kadarnya udah kebangetan. Hahaha, lebe kali yah, tapi seriously, mereka tuh ramaaaaaaah banget, kalau kita nanya arah nih sama—hampir—setiap orang yang melintas, biasanya mereka akan dengan SANGAT, sekali lagi, SANGAT senang hati ngasih wangsit dan petunjuk ke arah mana si penanya seharusnya ngambil jalan. Gak perduli lo orang mana, kalau udah nanya, ya udah pasti dikasi banyak informasi yang lo butuhin. Bahkan nih yah, kalaupun lo ga nanya karena misal alesan bahasa inggris lo cemen atau karena alesan lainnya, biasanya orang yang ada di dekat kita akan nyamperin dan akan dengan senang hati buat ngebantu. Heran deh, kayaknya nih, masyarakat sama pemerintahnya udah berkoalisi buat nyambut ramah tiap turis yang dateng!!! Hahaha!!!
Hal kedua yang gw suka juga tentang Singapore adalah, transportasinya itu loh yang aman nyaman dan menyenangkan. Semua itu karena sistem transportasi di negara yang luasnya jauh lebih kecil dibandingin Madura itu, terintegrasi antar satu sama lain, dari Terminal Bus, Bandara hingga Mass Rapid Transit (MRT) yang Ya Alloh,,, sumpah deh, sangat sistematis!!! Ga usah takut kesasar kalau di Singapore, karena di samping wilayahnya kecil banget, ditambah dengan sistem transportasi yang terintegrasi antar satu sama lain, serta map yang mudah didapatkan, baik di pusat informasi, hotel or hostel hingga di beberapa toko tertentu yang berisi tentang info jalur MRT serta tempat-tempat menarik di Singapore, aduh, jad pengen lagi deh ke Singapore.
Hal ketiga yang gw pikir cukup unik untuk dibagi adalah, kehidupan Singapore yang paradok. Gue bilang begitu karena di satu sisi Singapore tuh yah kental banget dengan dunia modernnya, sistem transportasi yang moderen, masyarakat yang moderen, sistem pemerintahannya yang bersih, menjadi negara dengan predikat sebagai salah satu negara dengan tingkat keamanan terbaik di dunia, beberapa universitas terbaik di dunia pun juga ada di sana, belum lagi beragam hiburan yang emang paling moderen di kawasan Asia Tenggara ini, namun di sisi lain, masih aja dengan mudah gue dapetin aroma kemenyan yang hampir gue temuin di banyak tempat. Tau lah cint, gimana itu kemenyan yang identik dengan orang-orang awam dan jauh dari moderen. Sangat kontras sekali dengan identitas Singapore yang moderen! Seriusan, gue enggak mau terlalu banyak cingcong dengan kemenyan, hanya saja emang baunya itu loh ngeganggu banget, mau makan di kedai orang China atau orang India, sama-sama banyak kemenyannya, serius, bikin gue gag nepsong buat maem. L
Dari situ, gue jadi bingung, sebenernya kemenyan itu identik dengan kebiasaan orang ga berpendidikan dan jauh dari nilai-nilai modernitas, atau emang jadi bagian dari modernitas itu sendiri, atau jangan-jangan, sebenernya kemenyan itu tidak pernah tersekat oleh perkara modernitas-tradisionalitas yang sejak beberapa dekade lalu kerap dipersoalkan oleh banyak kalangan, termasuk dalam Islam sendiri? Aduh, jadi berat gini deh pertanyaannya, haha,,, gak apa-apa, sekalian ajah curhat!
Demikian, mau banyak kemenyan atau enggak, gw tetep suka sama Singapore!!! Singapore, Ai Lof Yu So Mac!!!
KL-23 Januari 2012 

A Note from USA : Detak Islam di Muncie


me with our moslem folks

Cuaca begitu terik siang itu, namun tidak menyurutkan langkah saya dan dua sahabat saya untuk mengunjungi Muncie Islamic Center (MIC). Alasan saya bersikukuh untuk mengunjungi MIC, karena hari itu adalah hari terakhir saya berada di Ball State University, tempat saya kuliah, beasiswa dari U.S Departement of State, yang memang terletak di Muncie, kota kecil di negara bagian Indiana, sehingga akan rugi bila saya tidak mengunjungi dan menjalin ukhwah islamiyah dengan saudara seiman.
Sesampainya di depan MIC saya disambut oleh seorang bapak berumur sekitar 50 tahunan bernama Mumtaz, beserta seorang remaja bernama Habeeb dan tiga anak kecil. Hangat dia menyambut kami dengan senyum bersahajanya sembari mempersilahkan kami masuk membuat saya merasa seperti baru pulang ke rumah sendiri dan bertemu keluarga.
Seusai menunaikan sholat ashar, saya langsung duduk bersama mereka sembari berbincang-bincang hangat, berbagi pengalaman bagaimana saya bisa sampai ke Muncie, dalam rangka apa, berapa lama hingga kehidupan di Indonesia. sedikit berbagi, entah ini benar atau hanya ingin membuat saya senang, tapi menurut pak Mumtaz, “Masyarakat Indonesia terkenal ramah!”.
Dan tidak mau ketinggalan, saya pun bertanya banyak hal tentang kehidupan Muslim di Amerika, khususnya di Muncie dan sekitarnya, sebab sejauh ini, info yang saya dapatkan mengenai kehidupan Muslim di Amerika, baik dari media Mainstream maupun ecek-ecek, selalu saja tentang ketidak harmonisan, hubungan yang destruktif dan jauh dari konsep Tasamuh Diin[1]i yang memang diajarkan dalam Islam.
Menurut pak Mumtaz, hubungan antara Muslim dan masyarakat di Muncie cukup baik. hubungan personal baik antar muslim dengan non muslim, MIC dengan warga sekitar dan lain sebagainya. Hal ini misalnya direpresentasikan dari salah satu kegiatan Open House berupa mengajak masyarakat di Muncie, baik yang Muslim maupun Non-Muslim untuk berbuka puasa bersama. Disamping berguna untuk menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar, ini juga berfungsi sebagai bentuk dakwah untuk memperkenalkan Islam yang jauh berbeda dari informasi yang didapat di media.
Mumtaz menambahkan, adanya ketidak harmonisan antara Muslim dengan masyarakat di Amerika memang ada, khususnya pasca terjadinya serangan 911, namun satu hal yang harus dicatat, bahwa kehidupan muslim di Amerika, khususnya di Muncie, tidaklah separah yang diberitakan media massa, “media memang berlebihan dalam pemberitaannya! Bahkan terkesan, karena pemberitaan di medialah, hubungan yang awalnya baik, menjadi merenggang!” tandas pak Mumtaz.
Selama beberapa waktu di Amerika, berikut hasil perbincangan saya dengan pak Mumtaz, saya mendapatkan tiga pelajaran berharga yang agaknya sukar saya temui di Indonesia.
Pertama, kebebasan beragamanya. Ini tentu sangat benar, sebab Amerika sendiri merupakan negara sekuler yang tidak pernah mempersoalkan keagamaan seseorang. Kalaupun ada beberapa ketentuan yang diberlakukan di beberapa lembaga—biasanya private sector—yang mensyaratkan harus menanggalkan jilbab atau hal lain yang—mungkin—akrab dengan nilai keagamaan tertentu, biasanya hanya perkara ketentuan dalam instansi tersebut dan tidak terpaut urusan negara. tidak jauh berbeda dengan ketentuan menjadi seorang pramugari yang harus memiliki tinggi badan tertentu dan lain sebagainya.
Kedua, kebebasan melakukan ibadah. Menjelaskan poin kedua, agaknya tidak ada salahnya jika saya cerita sedikit saat saya berkesempatan mengunjungi New York City, tepatnya Times Square yang menjadi salah satu ikon Amerika.
Saat saya tengah asik berfoto-foto dengan teman-teman dari the Philippines dan Malaysia di tengah keramaian Times Square, saya tertegun sejenak melihat seorang pedagang kaki lima dengan kopiah putih ala pak Haji di kepalanya, yang terlihat tengah menggelar kardus, lalu beberapa jenak kemudian ia mendirikan sholat. Ia seakan tak perduli dengan keramaian yang ada, kesibukan orang di sekitarnya, hingga pandangan orang-orang yang berlalu lalang, yang dia perdulikan hanya, panggilan untuk menghadap Tuhannya. Dan tak seorangpun mencegah, apalagi sampai menahannya. Subhanallah.
Terakhir, nilai ukhuwah islamiyah. Poin terakhir ini mungkin sifatnya subjektif, hal tersebut mungkin saja terjadi, karena pengalaman ini hanya saya dapatkan satu kali dengan satu orang saja. Saya belum sempat mengeksplorasi lebih jauh lagi tentang muslim di sana, namun demikian, berdasar dari cerita pak Mumtaz, berikut kesempatan saya bertemu dengan seorang mahasiswa asal Saudi Arabia yang semuanya ramah-ramah dan sangat bahagia karena bisa bertemu saya yang notabene Muslim, saya dapat merasakan betapa ukhuwah islamiah di Muncie benar-benar tinggi.
Akhirnya, karena waktu yang makin larut, kami memutuskan untuk segera kembali ke asrama. Pak Mumtaz menyarankan agar kami diantar oleh Habeeb. Awalnya saya menolak, dengan alasan tidak mau merepotkan serta bisa pulang sendiri, namun pak Mumtaz justru memaksa sembari berucap, “Sesama muslim bersaudara, tidak pernah ada kata merepotkan dan direpotkan!” akhirnya kami pulang.


[1] Toleransi beragam

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top