Jumat, 30 Oktober 2009

Menakar Problematika Kesemrawutan Kampus


Gembar gembor ihwal direalisasikannya penerapan tarif parkir di kalangan civitas akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang beberapa hari belakangan santer terdengar, langsung menimbulkan pro kontra di kalangan mahasiswa. sebagian menolak dan sebagian lagi justru mengamininya dengan berbagai argumentasi yang melatarinya, sementara lainnya memilih abstain.
merebaknya isu tersebut, sebetulnya bukan hal yang serta merta mencuat tanpa alasan yang jelas. banyak kalangan elite kampus yang menilai, kuantitas kendaraan bermotor yang masuk ke areal kampus melebihi space yang tersedia, kondisi ini masih diperparah dengan banyaknya mahasiswa yang enggan mematuhi kebijakan kampus terkait persoalan ketentuan parkir--dalam hal ini, memakai jalan sebagai tempat parkir--,hal tersebut mengakibatkan jalan yang menghubungkan antara satu gedung dengan gedung lainnya beralih fungsi menjadi lahan tempat parkir karena tidak ada lagi tempat parkir yang masih tersedia.
lebih dari itu, tak sedikit jumlah mahasiswa yang juga berpikir sama, bahwa kendaraan, khusunya motor yang ada di kampus terlalu banyak, hingga terlihat begitu semrawut dan tidak nyaman sekali untuk dilihat. oleh karenanya harus diberlakukan kebijakan baru guna mengurangi pemakai kendaraan bermotor di kampus.
beragam aksipun dilakukan sebagai bentuk penolakan oleh mahasiswa yang nota benenya berada di kubu kontra, seperti penyebaran pamflet yang berisi seruan terhadap semua mahasiswa untuk menolak pemberlakuan tarif di kalangan kampus yang bagi sebagian besar aktivis dinilai sebagai contoh kongkrit komersialisasi dunia akademis. hingga pawai di depan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) yang menjadi sentra lalu lintas di kampus satu.
menyikapi persoalan dilematis tersebut, pada hakikatnya penulis berpikir kedua kubu--Mahasiswa-Elite Kampus--yang tengah berseteru sama-sama memiliki sisi negativ, tentu jika kita lihat dari sudut pandang akademis. mahasiswa misalnya, sangat tidak relevan agaknya jika protes dalam bentuk long march dijadikan langkah, masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh semisal melakukan renegosiasi--soft approache--terhadap pihak kampus, menggunakan strategi ketimbang aksi dan tentu saja menawarkan konsolidasi yang lebih relevan yang menunjukkan bahwa kita adalah insan akademis. dan bukan dengan aksi unjuk rasa seperti yang sudah sudah.
di lain pihak, kebijakan kampus juga memiliki sisi negativ yang tak kalah buruk ketimbang mahasiswanya. alasan pemungutan tarif terhadap kendaraan bermotor sebagai langkah untuk mengurangi jumlah kendaraan yang masuk kampus, bagi penulis bukanlah alasan yang rasional. ini karena beberapa indikasi yang antara lain
- dalam penerapan tarif parkir, aroma komersialisasi pendidikan sungguh sangat kental terasa. dalam problematika ini, sebetulnya pihak kampus dapat menerapkan batas jumlah kendaraan yang masuk perharinya agar kesemrawutan karena banyaknya motor yang masuk dapat ditekan seminimal mungkin (sebagai contoh penerapan di beberapa parking area di mall tertentu di jakarta)
- jikapun penerapan tarif masih keukeuh ingin dijadikan alternatif, maka pihak kampus haruslah memberikan pelayanan yang berbeda dan lebih baik tentunya,terhadap mahasiswa yang membawa motor. sebab harusnya ada timbal balik yang equal antara tarif yang diberlakukan dengan pelayanan yang diberlakukan. sebagai analoginya, perbedaan tarif antara wisma dengan harga ekstra murah dengan hotel berbintang lima.
- kesalahan yang penulis nilai sangat fatal adalah, ternyata, pemberlakuan tarif yang ada, tidak mengurangi pengguna kendaraan bermotor di areal kampus. bahkan dari hari ke hari, jumlahnya kian membeludak, tak terkecuali di kampus dua yang hanya menampung tiga fakultas saja. ini menandakan, penerapan tarif yang seyogyanya dijadikan pembendung mengguritanya jumlah mahasiswa yang membawa kendaraan, tidak memberikan efek sama sekali.
berpijak dari masalah tersebut, penulis berpikir, ada baiknya jika mencari langkah lain yang jauh lebih bijak dan dewasa sebagai cerminan insan keakademisan kita.
misalnya dengan pemberlakuan konsep Bike to Campus. statemen ini, mungkin bagi sebagian besar orang bukanlah hal asing yang baru didengar, namun kebanyakan masih belum menyadari betul arti penting slogan ini.
beberapa alasan penulis menawarkan Boke To Campus sebagai jalan alternativ antara lain.
- bersepeda ke kampus akan menjadikan tubuh lebih sehat.
- tidak menimbulkan polusi (ini juga berperan sebagai bentuk nyata insan akademis yang sadar arti penting menjaga lingkungan agar terhindar dari bencana alam dan mengurangi efek galobal warming)
- tidak membuat kampus bising. banyak dosen dan juga mahasiswa yang merasa terganggu saat proses belajar mengajar berlangsung ketika mendengar kebisingan yang terjadi.
- mengurangnya kesenjangan sosial antar mahasiswa.
dan terakhir, konsep ini haruslah dimulai dari kalangan elite kampus terlebih dahulu. agar menjadi cermin bagi mahasiswanya.
dengan ini semua, segala permasalahan yang melanda kampus akan segera terselesaikan tanpa ada satu pihakpun yang dirugikan.

About Me

Foto saya
Care Calm n' Comfortable

Pembaca Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Follow us on FaceBook

 

© 2013 wellcome to saxera's zone. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top